KolomKolom Kader Muhammadiyah Jawa Barat

Wahai Perempuan Lawanlah Politik Uang

Tulisan Neni Nurhayati

PEREMPUAN yang kerap dianggap sebagai “kaum marginal” perlahan harus mulai bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap politik uang yang dilakukan oleh kandidat kepala daerah pada tahapan kampanye hingga menjelang hari pemungutan dan penghitungan suara. Tak bisa dimungkiri bahwa pemilih perempuan adalah kelompok yang paling rentan dan dirugikan akibat politik uang. Mereka seringkali dijadikan sebagai obyek pemberian politik uang. Selain posisinya yang bisa mendulang perolehan suara pasangan calon, juga akan bungkam terhadap pelanggaran yang terjadi.   Hal ini terbukti berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan penulis pada salah satu kota yang mengikuti Pilkada 2017. Saat itu terjadi adanya pembagian tabung gas, sembako, dan batik kepada kader PKK yang diberikan pasangan calon tertentu pada saat tahapan kampanye. Sebagian besar penerimanya adalah kaum perempuan hingga mereka harus berurusan dengan panwaslu setempat untuk menjalani proses klarifikasi. Meski kasus itu tidak dilanjutkan dan terhenti di gakkumdu (penegakan hukum terpadu) karena unsur pidananya tidak terpenuhi, namun kasus itu menjadi catatan tersendiri dalam penyelenggaraan pilkada. Sementara itu, berdasarkan data yang dilansir dari Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Jawa Barat, tren pelanggaran money politics pada tahapan kampanye Pilkada 2015 menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan pelanggaran lain. Jumlah pelanggarannya 32 kasus. Adapun pada Pilkada 2017 yang diikuti tiga kabupaten/kota, money politics menempati urutan kedua setelah netralitas aparatur sipil negara yang berjumlah 8 kasus. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 ayat 1 sudah sangat jelas menyebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Jika terbukti melanggar, sesuai Pasal 187 A, pemberi dan penerima akan dikenai sanksi pidana. Meski aturan telah dibuat, akan tetapi hal ini acapkali dilanggar oleh pasangan calon untuk memengaruhi dan menggiring pilihan serta opini masyarakat dalam memilih pasangan calon tertentu.

Politik uang tidak hanya diartikan dalam bentuk uang, tetapi juga materi lain berupa bingkisan, sembako atau suvenir bahan kampanye lain yang jumlahnya melebihi Rp 25.000. Hal ini biasanya dinilai efektif untuk memengaruhi calon pemilih. Kadangkala pemilih perempuan tidak mengenal bahwa hal ini adalah politik uang. Sehingga mereka menerima saja apa yang diberikan. Kurang sosialisasi Harus disadari bahwa sosialisasi kepemiluan bagi kaum perempuan, terutama kalangan ibu-ibu rumah tangga di pelosok daerah, masih sangat kurang. Fakta memperlihatkan adanya pemberian dari pasangan calon tertentu yang diasumsikan sebagai bantuan kepada masyarakat. Padahal, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai politik uang. Kasus tersebut merupakan akibat dari ketidakpahaman mereka tentang adanya regulasi yang berkaitan dengan pelanggaran pemilu.   Hal tersebut juga terjadi karena minimnya keterwakilan perempuan di tingkat penyelenggara pemilu. Bahkan, di beberapa kabupaten/kota ada yang tidak memiliki keterwakilan perempuan. Padahal, menurut Dewi Petalolo (2017), keterlibatan perempuan dalam penyelenggara pemilu dapat memastikan perempuan sebagai salah satu basis utama sosialisasi dan pendidikan pemilih sehingga mereka tidak menjadi korban atas pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para calon kandidat seperti politik uang, politik identitas, manipulasi, dan kekerasan. Beberapa kondisi yang terjadi pada kaum perempuan tentu sangat memprihatinkan. Untuk itu, diperlukan adanya upaya peningkatan peran perempuan guna memerangi politik uang sehingga dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan penyelenggaraan  pemilu. Pertama, pemilih perempuan tidak memilih pasangan calon yang jelas melakukan politik uang.

Tingginya biaya politik yang dikeluarkan oleh kandidat pasangan calon dalam pelaksanaan tahapan pemilihan tentu harus kembali modal pada saat terpilih. Hal tersebut dapat memicu terjadinya praktik korupsi. Jika ini terjadi, tak terbayang berapa banyak ibu yang memiliki anak putus sekolah, tidak memiliki beras, akses kesehatan yang lamban akibat kepala daerah korupsi. Kedua, seorang ibu sebagai madrasatul ula harus senantiasa membiasakan dan memperkenalkan budaya demokrasi di tingkat keluarga. Seperti menanamkan rasa tanggung jawab dan toleransi kepada anak.   Ketiga, optimalisasi pendidikan politik dan pendidikan pemilih perempuan. Tujuannya membentuk dan menumbuhkan orientasi politik pada setiap individu dan kelompok. Proses pendidikan politik ini dimaksudkan agar pemilih perempuan dapat menjadi warga negara  yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Keempat, KPU dan Bawaslu harus mengalokasikan anggaran khusus untuk sosialisasi kepada kaum perempuan. Sosialisasi ini harus intens dilakukan, agar informasi kepemiluan terdistribusikan secara merata sampai ke pelosok daerah. Sosialisasi yang dimaksud bisa berupa roadshow atau penyebaran bahan sosialisasi berupa stiker ke pengajian ibu-ibu, pusat-pusat keramaian, dan posyandu. Di samping itu juga pemasangan alat peraga sosialisasi yang berisikan “Tolak dan Lawan Politik Uang” sebagai bentuk pencegahan dini dalam memerangi politik uang. Kelima, pelatihan dan penguatan keterampilan politik dengan membentuk forum komunikasi perempuan penyelenggara pemilu di KPU dan Bawaslu. Forum ini juga yang akan mengawal kebijakan afirmasi (affirmative action) untuk meningkatkan keterwakilan dan kualitas perempuan dalam pemilu. Keenam, membentuk Posko Pengaduan Perempuan di Bawaslu tingkat kabupaten/kota.

Dengan adanya posko tersebut, kaum perempuan yang akan melaporkan dugaan pelanggaran dapat dilayani secara maksimal dan terjaga keamanannya. Posko tersebut dapat dijadikan sebagai tempat diskusi kaum perempuan dengan mengadakan pertemuan rutin satu bulan satu kali, bisa melibatkan gabungan organisasi wanita, organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan yang concern di bidang perempuan. Hal tersebut dinilai efektif untuk menguatkan posisi kaum perempuan dan meningkatkan solidaritas terhadap sesama kaum perempuan.

Sumber
Kompas.com
Tampilkan Lebih Banyak

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button