
Oleh: Ace Somantri*
DALAM komunitas manusia, baik itu dalam kelompok kecil maupun besar, merupakan hak alami dalam kehidupan makhluk. Adapun yang membedakan terletak pada jenis tuntutan komunitas tersebut. Sehingga dari tuntutan yang diminta akan mendorong komunitas manusia memberikan dan memenuhi apa yang diminta dan hal apa saja yang dituntut dari suatu kebutuhan tersebut.
Komunitas sosial yang terdiri atas sekumpulan individu, baik yang memiliki interest atau hal lainnya sesuai kebutuhan masing-masing berdasarkan tempat, waktu, situasi, dan kondisi. Kepemimpinan itu mutlak adanya, baik itu melalui pendekatan alami maupun nurtur yang didesain berdasarkan kebutuhan realitas sosial. Hal demikian untuk menjaga kondisi sehat sebuah tubuh institusi pada komunitas dan entitas kelompok masyarakat.
Tuntutan kepemimpinan sebuah kebutuhan, selain menjaga kesehatan komunitas dan entitas sosial. Berbagai organisasi, institusi, lembaga, dan sejenisnya harus membuat budaya dan mentradisikan kepemimpinan yang dinamis. Hal tersebut menjadi fitrah manusia secara individu maupun dalam satuan kelompok.
Andaikan tidak terjadi dinamisasi dan regenerasi kepemimpinan yang baik, teratur, dan terukur akan mengakibatkan bermunculannya berbagai masalah, baik permasalahan skala besar maupun yang kecil. Apalagi dalam satuan kelompok sosial masyarakat beragama, apa pun jenis keyakinan agamanya. Termasuk dalam komunitas muslim Indonesia yang jauh lebih banyak, terkenal dalam narasi media massa dan media yang lainnya dengan sebutan istilah ormas Islam.
Cukup banyak, tetapi hanya sedikit yang memiliki infrastruktur kuat hingga menyebar ke seluruh pelosok negeri hingga ke beberapa negara di luar Indonesia. Kapasitas, kapabilitas, dan integritas organisasi tersebut tidak diragukan keberadaannya. Hanya, perlu dicatat bahwa organisasi tersebut tetap berada dalam ruang dan waktu yang dibatasi dan terbatas di dunia.
Seratus tahun bahkan ada yang lebih mereka berdiri sebelum Indonesia merdeka. Di antara mereka ternyata hanya ada dua ormas Islam besar hingga kini mampu bertahan dan terus membesar, seperti Muhammadiyah dan NU. Fakta itu diakui oleh publik, jamaahnya dipastikan sudah merata di seluruh provinsi Indonesia.
Bahkan, pernah berseloroh seorang dari Sekretaris Umum PP Muhammadiyah bahwa Garuda Indonesia dari dua sayap kiri dan kanan adalah diibaratkan dua ormas besar tersebut. Dia meyakini, jika kedua ormas tersebut bersatu padu menjadi sayap bangsa dan negara Indonesia, Garuda Indonesia akan terbang tinggi melayang ke angkasa.
Hal itu dapat dimaknai sebagai simbol bahwa ormas tersebut menjadi kunci kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Jika kedua ormas tersebut tidak menjadi sayap negara dan bangsa Indonesia, Garuda Indonesia sulit untuk mampu terbang tinggi jauh ke angkasa, kira-kira begitu tafsir kasarnya.
Sangat penting keterlibatan ormas tersebut dalam ruang-ruang kebijakan negara, dalam skala kecil tingkat daerah maupun skala besar level tingkat pusat. Dalam menjaga marwah dan positioning institusi, ormas Islam memiliki platform organisasi yang dianut, di antaranya memiliki sistem dan mekanisme kepemimpinan yang berlaku.
Jika kepemimpinan ormas Islam sebesar itu tidak menjalankan sistem dan mekanisme organisasi yang sehat, kemudian keberadaannya menjadi dua sayap Garuda sebagai simbol kemajuan bangsa ini, hanya mimpi belaka dan sesuatu yang utopia.
Akhirnya harapan akan kemajuan dari sayap tersebut sia-sia, jika kedua sayap mengalami sakit dan sakit-sakitan akan membuat sikap malas untuk terbang jauh dan tinggi. Memang itu faktanya, jika kedua ormas Islam besar dan yang lainnya dalam menciptakan atmosfer kepemimpinannya tidak baik, maka akan berpengaruh terhadap kemajuan organisasinya dan berdampak pada kemajuan bangsanya.
Sangat mustahil bangsa ini maju, jika warga dan rakyatnya dibentuk dalam lingkungan dan lingkaran budaya pada entitas sosial berbagai aspek kehidupan yang tidak dinamis, tidak mentradisikan regenerasi kepemimpinan, terlalu piguristik atau personal center. Hal demikian akan mentransformasi budaya kepemimpinan kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan yang tidak sehat atau buruk.
Artinya dinamika kepemimpinan menjadi kebutuhan dalam menjaga kesehatan organisasi yang berdampak pada kapasitas dan eksistensi institusi. Penting dipahami, disadari, dan menjadi komitmen moral kepada setiap elite pimpinannya untuk mentradisikan dengan keteladanan. Rentang waktu dijalani dengan khusyuk dan sungguh-sungguh, sering tidak terasa tiba-tiba sudah dilewati dan akan habis masa periode waktu amanah yang diterima.
Terlebih ada suasana kenyamanan menyelimuti, kesenangan dan kebahagiaan membalut terhadap sikap diri yang kadang membuat lupa dan hilap. Bahayanya, saat sikap demikian dibiarkan berlalu akan menstimulasi menikmati zona nyaman dan lama-lama membentuk karakter kepemimpinan kurang baik, hal itu akan mengubah pola pikir dan perilaku kepemimpinan tidak kreatif, inovatif, produktif, dan juga tidak bijaksana dan mengikis kemandirian organisasi.
Akibatnya, dari perilaku tersebut akan menjadi virus keburukan yang menggerogoti eksistensi organisasi menjadi tidak sehat. Sehingga keberadaannya tidak akan mendapatkan nilai kebaikan, apalagi spirit kemajuan. Justru akan mengalami sakit yang akut, kemunduran, dan sangat mungkin mengalami kehancuran organisasi.
Tidak sedikit di antara organisasi yang dibentuk tidak bertahan lama, hancur berantakan tak tersisa, kecuali puing-puing keburukan yang tersebar antar individu yang saling berselisih tersembunyi karena saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Sangat penting menjaga tradisi regenerasi dan dinamisasi kepemimpinan dalam sebuah organisasi atau institusi apa pun dalam kehidupan sosial, baik dunia kebangsaan, keumatan, maupun kemanusiaan.
Andaikan membiarkan dan terjadi pembiaran terhadap regenerasi kepemimpinan, siapa pun mereka yang mendapatkan amanah kepemimpinan maupun yang dipimpinnya saat tidak saling mengingatkan akan pentingnya dinamisasi dan regenerasi memiliki konsekuensi sama akan sebuah keburukan.
Dari kepemimpinan yang tidak baik atau buruk, akan mendatangkan malapetaka bagi lagunya roda organisasi. Zona nyaman dalam kepemimpinan jangan dinikmati, upayakan untuk dijauhi dan dihindari agar memberikan suasana lingkungan kerja penuh dinamis dan optimis. Dari zona nyaman, faktanya selalu mendatangkan virus-virus penyakit malas dan anti kritik.
Tidak dapat dapat disanggah, fakta dan nyata ketika sebuah institusi dipimpin dengan cara-cara kepemimpinan yang berada pada suasana zona nyaman senantiasa membawa pada sesuatu yang merugikan pada institusi organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Adapun indikator dari kepemimpinan zona nyaman, di antaranya, pertama, sering menunda keputusan penting dan strategis. Kedua, sering ragu-ragu mengambil keputusan kritis dalam waktu cepat dan tepat. Ketiga, sering membiarkan masalah menumpuk. Keempat, selalu terlambat bertindak proaktif.
Konsekuensi kepemimpinan zona nyaman akan memperlambat kemajuan, ketercapaian target, dan tujuan sulit terpenuhi, dan membuat kondisi atmosfer institusi menciptakan friksi antar individu di dalam yang berakibat pada suasana kebatinan di antara mereka saling curiga yang membuat resah dan gelisah.
Lebih bahaya lagi menciptakan paksi-paksi atau kelompok yang berkepentingan sesaat yang berujung pada perebutan kepemimpinan yang tidak sehat. Akhirnya akan memutus DNA berorganisasi baik menjadi DNA keburukan hingga menurunkan dan mewarisi pada generasi berikutnya.
Zona nyaman yang dicetuskan oleh Judith Bardwick (pemikir manajemen) intinya menekankan situasi kondisi yang diciptakan tanpa resiko. Wajar bagi siapa pun yang berperilaku demikian lebih disukai karena berharap ingin dirinya terbebas dari masalah, agar dapat dinilai seorang pemimpin baik dan bijak, sementara tidak disadari institusi yang dipimpinnya bermasalah.
Ada pepatah, pelaut yang hebat dilahirkan bukan berlayar di atas air laut tenang, melainkan di atas terjangan gelombang ombak besar. Begitupun dalam berorganisasi, kepemimpinan hebat tidak lahir dalam kondisi institusi serba sudah ada, tetapi para pemimpin yang lahir dari institusi serba tidak ada dan banyak masalah.
Sosok pemimpinnya pun, bukan lahir dari lingkungan banyak komunitas zona nyaman yang mapan, melainkan sosoknya lahir dari perlawanan dan ketertekanan di antara komunitas zona nyaman. Karakter kepemimpinan zona nyaman biasanya cenderung hanya menerima amanah dari kondisi institusi yang sudah berdiri dan berjalan normal, bukan pada institusi dalam kondisi kritis dan sekarat dalam ambang kebangkrutan dan kehancuran.
Diharapkan, dalam membangun kesehatan institusi dalam organisasi apa pun, terlebih organisasi profesional yang memiliki anggaran pembiayaan. Tidak untuk coba-coba, track record pada sosok pemimpin tidak melihat pada formalitas kemasan figur yang terlihat gagah dan hebat secara visual, melainkan memiliki gairah semangat pada zona perubahan.
Orang tersebut selalu dilahirkan dalam kondisi situasi sosial yang menekan. Mereka mampu keluar dari tekanan tersebut. Sosoknya out of the box dalam mengeluarkan ide dan gagasannya. Gaya komunikasinya negosiatif. Orientasi berpikirnya maju dan memajukan. Kepedulian dan kepekaan terhadap masalah sangat tinggi. Responsif dalam menyikapi masalah sekalipun hal kecil dan sepele.
Memang pada entitas zona nyaman, sosok demikian cenderung tidak disukai banyak orang pada komunitasnya. Hal itu disebabkan ada kekhawatiran dan kecemasan pihak-pihak tertentu merasa terganggu karier jabatannya. Takut kehilangan pendapatan sekalipun kecil dan rendah. Khawatir pada gerbong dan kelompoknya terganggu tidak memiliki akses material pragmatis.
Semoga disadarkan bahwa kepemimpinan zona nyaman adalah membahayakan kesehatan dan keberlangsungan sebuah organisasi apa pun. Wallahu alam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat
Luar biasa autokritik ini mudah²an bisa menyadarkan ttg eksistensi kita sbg wsrga Perdyarikatan, terlebih sbg elit Pimopinan di setiap level.
Jika boleh saya berasumsi atas eksistensi PWM Jawa Barat, ini adalah realita yg saya rasakan sbg warga persyarikatan, dan atah sbg Pimpinan di level Cabang, sepsrtinya PWM Jabar sedang enjoy di zona nyamannya, kalapun tdk dikatakan sedang tidur pulas, hal demikian terlihat dari seberapa banyak gerakan yg dilakukan oleh PWM pasca Musywil Cirebon? Aktualisasi di lapangan tdk nampak, karena mungkin itu tadi, sedang berada di zona nyaman.
Semoga tulisan Pak Dr. Ace ini, menjadi spirit dan vitamin utk kebaikan Persyarikatan Jabar ke depan, sbg sakah satu estalase Persyarikatan secara ke Nasionalan.
Terima kasih
Wassalam