
Oleh: Nashrul Mu’minin*
REVOLUSI digital telah menjadi jantung denyut kehidupan abad ke-21. Teknologi informasi bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan ruang hidup baru di mana semua aspek kehidupan manusia bersinergi.
Pendidikan, sebagai fondasi peradaban, tidak bisa tinggal diam dalam pusaran ini. Ia harus melakukan adaptasi radikal.
Maka lahirlah sebuah gagasan strategis: literasi digital berbasis sains. Inilah medan kontribusi besar Muhammadiyah yang sejak awal telah menjadikan pendidikan sebagai arus utama gerak dakwahnya.
Kini, Muhammadiyah ditantang bukan hanya mencetak kader, tetapi juga mencetak pemimpin peradaban digital—sebuah langkah menuju Indonesia Emas 2045.
Pendidikan Indonesia masih menghadapi berbagai problematika klasik: ketimpangan akses, kualitas pembelajaran yang timpang, hingga minimnya integrasi antara teori dan praktik sains. Menurut laporan World Bank (2023), skor literasi sains siswa Indonesia berada di bawah rata-rata negara ASEAN.
Ini menjadi sinyal bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya menyentuh esensi kompetensi abad 21, khususnya dalam sains dan teknologi.
Bahkan, Laporan Global Education Monitoring UNESCO (2022) menyebutkan bahwa hanya 17% sekolah menengah di Indonesia yang mampu mengakses pembelajaran sains berbasis digital secara konsisten.
Muhammadiyah, melalui ribuan amal usaha pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, memiliki peluang besar untuk menjadi pionir transformasi digital berbasis nilai.
Bukan sekadar menerapkan teknologi, tetapi menjadikannya sebagai instrumen dakwah dan pendidikan yang berkeadaban.
Digitalisasi pendidikan dalam konteks Muhammadiyah berarti mengintegrasikan scientific spirit dengan nilai-nilai keislaman, menjadikan literasi digital sebagai alat untuk memperkuat iman, ilmu, dan amal.
Konsep EduTechnoNesia yang berangkat dari kebutuhan untuk menata ulang pendidikan berbasis sains melalui digitalisasi sangat sejalan dengan semangat literasi digital yang kini digalakkan oleh Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah.
Literasi digital di sini tidak hanya bermakna melek teknologi, tetapi juga kemampuan untuk menyaring informasi, berpikir kritis, dan bertindak etis dalam ruang maya. Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah dapat menciptakan learning ecosystem yang berbasis pada integrasi antara akal dan akhlak.
Transformasi digital bukan semata-mata urusan alat atau jaringan. Ia menyangkut cara berpikir, cara belajar, dan cara membentuk karakter.
Oleh karena itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah dapat menjadi model bagi satuan pendidikan nasional lainnya dalam menerapkan pembelajaran sains berbasis teknologi, mulai dari laboratorium virtual, pembelajaran berbantuan AI, hingga integrasi IoT dalam proyek penelitian siswa.
Di sinilah letak pentingnya etika digital Muhammadiyah—nilai-nilai yang menjaga agar digitalisasi tidak menjadi sekadar efisiensi, tapi juga penguatan nilai dan karakter.
Kurikulum Merdeka Belajar yang saat ini diterapkan oleh pemerintah perlu diharmonisasikan dengan pendekatan literasi digital ala Muhammadiyah. Ini berarti pembelajaran tak lagi dibatasi oleh ruang kelas, melainkan diperluas melalui diskusi daring, proyek riset kolaboratif lintas daerah, hingga dakwah digital yang membumikan nilai-nilai Islam dalam sains dan teknologi.
Muhammadiyah dapat mendorong lahirnya e-learning berbasis ideologi, di mana murid bukan hanya dididik untuk cerdas, tetapi juga berintegritas.
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2024) menunjukkan bahwa program digitalisasi sekolah telah menjangkau 83.217 sekolah. Namun, hanya 34% di antaranya yang memanfaatkan teknologi untuk pembelajaran sains secara maksimal.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah memiliki potensi untuk memimpin karena telah lebih dahulu membangun infrastruktur pendidikan yang kuat dan jejaring kepemimpinan sekolah berbasis nilai.
Literasi digital Muhammadiyah menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam pembelajaran. Mereka didorong untuk tidak hanya memahami konsep sains secara teoritik. Namun, mampu merefleksikan nilai-nilai Islam di dalamnya.
Dari sini lahir generasi muda yang mampu berpikir saintifik, berperilaku digital yang etis, dan berkontribusi pada peradaban. STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) bukan lagi sekadar kompetensi, melainkan amanah ilmu.
Transformasi ini menuntut pelatihan literasi digital yang masif bagi guru dan tenaga kependidikan Muhammadiyah. Guru bukan digantikan oleh teknologi, tetapi diperkuat oleh teknologi. Mereka menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi.
Maka, perlu dikembangkan pusat pelatihan literasi digital Muhammadiyah yang tidak hanya mengajarkan cara pakai, tetapi juga membentuk cara berpikir dan bersikap dalam dunia digital.
Menuju 2045, Indonesia akan menghadapi bonus demografi dan persaingan global yang ketat. Literasi digital berbasis nilai menjadi strategi jangka panjang yang inklusif dan adaptif.
Muhammadiyah dengan tradisi pendidikannya yang progresif harus mengambil peran sebagai pemimpin transformasi ini—bukan semata dalam jumlah sekolah, tetapi dalam visi dan dampaknya.
Menata ulang pendidikan berbasis sains melalui digitalisasi bukan proyek instan. Ia membutuhkan visi, kolaborasi, dan kesadaran spiritual.
Muhammadiyah harus terus mengembangkan ekosistem belajar yang menggabungkan kekuatan ilmu dan keadaban. Dengan sinergi antara teknologi, nilai, dan strategi nasional, Muhammadiyah bukan hanya menjadi penggerak pendidikan, tetapi penjaga akhlak peradaban digital masa depan.
*Content Writer Yogyakarta