Kabar PersyarikatanKolom

Reputasi Lulusan Jadi Pertaruhan Perguruan Tinggi

Oleh: Ace Somantri*

PULUHAN ribu setiap tahun, perguruan tinggi meluluskan ahli madya, sarjana, ataupun magister. Bahkan, tidak ketinggalan mulai banyak lulusan tingkat doktor.

Sudah menjadi perhatian bersama bahwa masyarakat, khususnya para orang tua, meyakini bahwa pendidikan adalah kunci utama agar generasi masa depan dapat bertahan dan berkembang.

Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan dengan sekuat tenaga demi bisa mengakses pendidikan, tanpa memedulikan berapa pun biayanya.

Terlebih dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah secara rutin menyediakan program beasiswa pendidikan bagi mereka yang benar-benar layak, tanpa pengecualian. 

Sebenarnya, beasiswa pendidikan tidak dimaksudkan untuk memilah atau memilih. Namun, karena keterbatasan anggaran atau faktor lainnya, selama ini beasiswa lebih diprioritaskan bagi masyarakat yang dianggap kurang mampu, memiliki prestasi akademik, atau mereka yang mampu mengaksesnya lebih cepat melalui jalur tertentu.

Hal itu semua diakibatkan karena ada indikasi manajemen pengelolaan pendidikan yang tidak amanah. Oleh sebab itu, berdampak pada pembagian dan penggunaan anggaran pendidikan yang berorientasi pada peningkatan sumber daya manusia yang adil dan beradab. 

Pendidikan adalah hak setiap warga negara tanpa diskriminasi. Jika keadilan hanya menjadi slogan dalam laporan, kita akan menghadapi konsekuensi serius berupa stagnasi kualitas sumber daya manusia.

Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia bisa terjebak menjadi ladang kepentingan bisnis dan politik yang memanfaatkan anggaran semata.

Kegaduhan yang terjadi telah membuka mata publik bahwa kementerian yang menangani urusan pendidikan kerap menjadi ladang basah anggaran.

Tak heran, berbagai kelompok kepentingan kerap bermain di balik kebijakan, sehingga dalam beberapa periode pemerintahan, struktur dan bentuk kementerian pendidikan kerap mengalami perubahan dan bongkar pasang.

Diamnya akademisi

Melihat kondisi tersebut, banyak akademisi terdiam seribu bahasa tanpa ada kajian strategis yang nyata. Sekalipun data tersebut ada, itu hanya sekedarnya untuk menjadi arsip semata, jaga-jaga suatu saat diperlukan para pihak penyelenggara negara.

Padahal, jumlah pakar dan ahli bergelar akademik di Indonesia sudah mencapai ribuan. Jumlah perguruan tinggi di Tanah Air bahkan melampaui jumlah yang dimiliki Tiongkok, meskipun penduduk negara tersebut hampir dua kali lebih banyak dibanding Indonesia.

Namun, peningkatan sumber daya manusia di Indonesia masih sebatas pada pertambahan jumlah pemilik gelar akademik. Hal tersebut belum memberikan dampak signifikan terhadap kualitas pembangunan bangsa secara menyeluruh, bahkan justru menambah beban negara akibat tingginya jumlah pengangguran terdidik.

Ironis yang membuat hati teriris, pengangguran bergelar akademik terus bertambah setiap tahun. Keseimbangan pendayagunaan lulusan akademik yang lulus dari perguruan tinggi sangat tidak seimbang.

Hal itu tidak hanya keseimbangan jumlah angka antara lulusan dengan keterserapannya. Namun, ada keseimbangan keterujian dan reputasi lulusan dalam dunia nyata.

Bukan keterujian di bangku atau kursi di dalam kelas yang terbatas ruang dan waktu. Namun, mentalitas lulusan teruji benar saat di dunia nyata.

Hingga keluar menjadi pelopor dan pemenang dalam membangun bangsa dan negara, bukan malah menjadi beban orang tua, warga, dan negara. 

Seperti yang dikatakan Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, percuma pemerintah membangun jalan raya, tol, jembatan, dan berbagai fasilitas lainnya untuk mendorong kesejahteraan rakyat jika justru yang paling banyak memanfaatkannya adalah pihak dari luar bangsa Indonesia.

Pembangunan infrastruktur publik seakan-akan menjadi upaya yang sia-sia jika hanya dinikmati oleh bangsa lain (bangsa deungeun).

Oleh karena itu, fokus utama seharusnya pada pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan agar terhindar dari lahirnya generasi berandalan yang berkeliaran hingga larut malam tanpa arah dan harapan hidup.

Semoga saja upaya KDM melakukan patroli jam malam bagi remaja, ditambah masuk sekolah lebih pagi, mampu menekan angka remaja nakal yang berdampak pada kualitas remaja usia sekolah. 

Jauh dari harapan untuk meraih generasi emas pada masa datang jika pola dan manajemen regulasi pendidikan tidak diubah secara mendasar dan berorientasi pada reputasi lulusan.

Hanya kebanggaan

Sudah menjadi tradisi lama bahwa pendidikan tinggi seringkali hanya dipandang sebagai pencapaian seremonial semata—cukup lulus dan diwisuda dengan balutan toga yang megah. Momen wisuda pun menjadi ajang kebanggaan yang penuh haru dan kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga.

Namun, di balik megahnya jubah toga wisuda, tersimpan rapat pertanyaan mendasar yang jarang disadari: sejauh mana kualitas keahlian dan kompetensi yang benar-benar dimiliki, serta apa peran nyata seorang sarjana yang telah menempuh pendidikan selama delapan semester dalam empat tahun?

Memang hampir dipastikan setiap perguruan tinggi di Indonesia tidak memberikan garansi kualitas kompetensi secara praktis dan pragmatis langsung. Namun, hanya menawarkan secara visual kepada para pembelajar, ini prodi dan kurikulumnya, sarana prasarana, dan sangat diharapkan untuk menepati janji memberi sumbangan dana nyata tanpa ada tunggakan.

Selain itu, soal garansi lulusan nyaris tidak pernah terdengar dalam proses pembelajaran di mana pun. Entah dianggap sepele atau bahkan sekadar lelucon dalam dunia pendidikan, berdasarkan pengalaman yang ada, jaminan terhadap kualitas lulusan sejatinya sangat penting.

Bahkan hal itu semestinya menjadi tanggung jawab penyelenggara dan pengelola pendidikan di Indonesia untuk merumuskan narasi tersebut secara serius.

Sebab selama ini perguruan tinggi telah membebankan biaya studi kepada setiap mahasiswa dalam satu periode pembelajaran. Maka dari itu, menjadi hal yang wajar apabila pengelola memberikan jaminan atas kompetensi lulusan yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, tanggung jawab atas amanah yang dititipkan masyarakat dapat dipenuhi secara baik dan benar. Disadari atau tidak, narasi mengenai garansi kompetensi lulusan seharusnya sejak lama menjadi topik utama dalam pembahasan oleh para penyelenggara perguruan tinggi.

Jaminan kompetensi

Reputasi lulusan perguruan tinggi, baik saat ini maupun di masa depan, harus disertai dengan jaminan kompetensi keahlian tanpa syarat. Bukan sekadar ijazah formal, melainkan bukti nyata kemampuan dan keterampilan yang membuat lulusan percaya diri serta memiliki daya saing tinggi di berbagai sektor.

Selama ini, perguruan tinggi cenderung mengabaikan aspek jaminan kompetensi lulusan. Pengelola umumnya merasa tugasnya selesai begitu mahasiswa dinyatakan lulus melalui sidang yudisium tanpa memastikan kesiapan mereka menghadapi dunia kerja secara nyata.

Di dunia nyata, yang paling dibutuhkan adalah keahlian khusus, karakter, dan bukti nyata yang memberikan nilai tambah di mata pengguna lulusan. Oleh karena itu, reputasi lulusan pasca-wisuda benar-benar dipertaruhkan.

Bukan hanya soal gelar akademik dalam ijazah, melainkan kemampuan nyata di bidang ilmunya. Jika kompetensi yang dimiliki di bawah standar, sebagaimana dikatakan Bung Rocky Gerung, ijazah hanya menjadi bukti bahwa seseorang pernah duduk di bangku kuliah.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh tim pengelola perguruan tinggi untuk secara serius dan strategis mempersiapkan mahasiswa selama masa studi agar benar-benar memiliki pengetahuan, keterampilan, wawasan, serta karakter unggul.

Dengan bekal tersebut, mereka diharapkan mampu bersaing di dunia kerja, beradaptasi dalam industri barang dan jasa, berpikir maju dalam dunia bisnis, dan menjadi agen perubahan di tengah masyarakat. Wallahu a’lam.

*Wakil Ketua PWM Jawa Barat

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button