Oleh: Mursin (KBM Abadijaya Depok)
Pada zaman Belanda tidak mudah melaksanakan dakwah. Pemerintah Belanda berusaha membatasi ummat Islam bebas bergerak dan beribadah. Setiap pergerakan ummat Islam dalam masyarakat dicurigai dan diawasi melalui intel Melayu yang menjadi kacung penjajah. Apa yang dilakukan Belanda itu sebagai bagian politik Devide et-Impera (pecah belah).
Haji Mustafa, tokoh Islam asal Kukusan Depok, menjadi pintu masuk Mualim Soe’aib Al Wahidy datang berdakwah di kampungnya. Awalnya, tahun 1930, ia diberhentikan sebagai khatib di masjid At Taqwa Kukusan, masjid Jami satu satunya. Karena merasa adanya perbedaan sikap jamaah terhadap Habib yang diundang mereka. Saat habib datang mereka lebih menghormatinya. Tentu Mustafa mempersoalkannya. Tapi ia yang malah disingkirkannya.
Menjadi Guru Madrasah
Sebagai tokoh agama di daerah Poncol Kukusan, Mustafa tak berdiam diri. Bersama masyarakat, ia berusaha mendirikan masjid sendiri. Namun saat proses pembangunan berjalan, jamaah masjid At taqwa menolaknya sesuka hati. Bahan bangunan yang sudah disiapkan, mereka bawa pergi. Karena itu tokoh masyarakat yang mendukungnya berusaha meminta advokasi.
Tokoh masyarakat yang bekerja di Jakarta meminta bantuan temannya. Dia dipertemukan dengan Moh Roem yang sudah menjadi pengacara. Roem datang ke Kukusan tahun 1931, untuk menyelesaikan masalah dengan pengurus dan jamaah masjid At Taqwa. Akhirnya bisa diselesaikan melalui musyawarah dan damai diantara mereka. Masjid pun dibangun sekaligus mendirikan madrasah di sebelahnya.
Madrasah yang didirikan tahun 1932 bernama Hidayatul Islam, tentu memerlukan ustadz yang memimpin sekaligus mengajarnya. Tokoh masyarakat Poncol Kukusan kembali lagi meminta bantuan temannya di Jakarta. Temannya lalu mengirimkan ustadz So’eaib Al Wahidi asli Betawi (Batavia). Ustadz kelahiran Tomang ini saat datang masih muda. Dialah yang mengajar di madrasah sekaligus mengisi kegiatan di masjid, yang berada di sampingnya.
Menanam faham Muhammadiyah
Saat mengajar, berkhutbah dan mengisi pengajian Soe’aib sudah menggunakan Bahasa Indonesia. Ini salah satu perjuangan Muhammadiyah di zaman sebelum Indonesia merdeka. Padahal waktu itu ada larangan dari Pemerintah Belanda. Apalagi ia menjelaskan ayat ayat Al Qur’an dengan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti jamaah yang mendengarkannya.
Murid madrasah angkatan pertama antara lain M. Usman. Kosim, Sanim. Marullah dan Misan. Pelajaran yang diberikan Soe’aib adalah Bahasa Arab, Aqidah, Ibadah, Adab atau Akhlakul Karimah, menulis Arab Melayu dan membaca Al Qur’an. Bangunan madrasah saat itu masih sederhana, menggunakan atap rumbia dan papan. Kursi dan meja belajarnya dibuat dari bambu yang tumbuh di Kukusan.
Melalui masjid dan madrasah di Poncol Kukusan Depok inilah Soe’aib menanamkan faham Muhammadiyah. Tentu ia tidak menyampaikan langsung tentang Muhammadiyah kepada jamaah di masjid dan murid muridnya di madrasah. Namun dari materi kajian, khutbah dan pelajaran itulah. Materi yang diberikan berdasarkan Al Qur’an dan as Sunnah. Baik dalam menjelaskan Aqidah, Ibadah dan Adab atau Akhlakul Karimah.
Belanda menutup Masjid-Madrasah
Dua tahun Soe’aib (1932-1934) mengajar di madrasah dan aktif di masjid, disaat murid bertambah banyak, didatangi tentara Belanda. Mereka meminta masjid dan madrasah itu ditutup dan distop kegiatannya. Mereka melarang masjid lebih dari satu di suatu desa. Mereka juga melarang menterjemahkan Al Qur’an dan berkhutbah dengan Bahasa Indonesia. Khutbah harus menggunakan Bahasa Arab tanpa diterjemahkan.
Saat itu Soe’aib tidak berhenti berdakwah. Ia tetap melakukan aktivitas dakwahnya dalam masyarakat melalui pengajian dari rumah ke rumah. Beberapa tahun kemudian menjelang Belanda diusir Jepang (1942), kembali masyarakat membangun masjid dan madrasah.
Lalu Soe’aib kembali diminta mengajar, mengisi pengajian dan berkhutbah. Murid muridnya di madrasah angkatan pertama yang telah mampu mengajar dan berdakwah. Mereka diminta membantunya mengajar di madrasah. Diantaranya Usman, Kosi
Kosim, Sanim dan Marullah yang kelak meneruskan tugasnya di Kukusan Depok, dan mendirikan Muhammadiyah. Usman mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kukusan (1953).
Bersama Merintis Muhammadiyah
Sementara Soe’aib sendiri merintis Muhammadiyah di Kampung Cipedak, Pasar Minggu, Jakarta Selatan (1942). Saat itu ia sudah berkeluarga dengan gadis asli Cipedak yang masih perawan.
Muhammadiyah Kukusan yang dirintis muridnya, Usman dan teman temanya, berkembang ke desa desa lainnya, seperti Pondok Cina, Beji, Jemblongan dan Pancoran Mas, hingga berhasil mendirikan beberapa madrasah dan sekolah. Dari tingkat dasar dan menengah. TK, SD, SMP, SMA, Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (M.Ts.).
Usman bersama teman teman seperjuangannya, diantaranya Camat Depok, berhasil membentuk Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kecamatan Depok, Kabupaten Bogor (1961). Hingga berdirinya Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Depok pada saat menjadi Kota Administratif (Kotip), di bawah binaan Kab. Bogor.(1990). Lalu berkembang menjadi PDM Kotamadya Depok, lepas dari Bogor (1999).
Adapun Soe’aib berhasil merintis Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Cipedak (1953), Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Setelah ia bersama murid muridnya di madrasah dan pengajian berhasil mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Cipedak Barat, Cipedak-Kelurahan Serengseng Sawah dan Ciganjur, lalu berhasil mendirikan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Cipedak Pasar Minggu (1965), sekarang PCM Cipedak Jagakarsa.
Adab dan Takzim Muridnya
Meskipun tinggalnya di Cipedak Jaksel, yang berbatasan dengan Kukusan Depok, namun Soe’aib tetap mengisi pengajian di Kukusan. Ia bergiliran dengan murid kesayangannya yang sudah menjadi ustadz, yakni Mualim Usman. Muridnya ini juga kerap datang membantu gurunya mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, Hidayatul Islam, berkhutbah di masjid Muhammadiyah At Taqwa Cipedak, dan mengisi pengajian.
Sesuai adab dan Akhlakul karimah yang ditanamkan Soe’aib, Usman sedemikian takzim pada gurunya. Selalu bersilaturrahim, apalagi setiap hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha. Saat gurunya wafat, ia yang memimpin shalat jenazahnya di masjid At Taqwa. Lalu saat penguburannya, ia memberi sambutan dan membacakan doa. So’aib wafat pada tahun 1977, tetap dikenang jasa jasanya oleh murid murid dan jamaahnya.
Tentu Soe’aib tidak dapat menyaksikan saat muridnya, KH. M. Usman, mendapat penghargaan dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat (22 Desember 2023) atas jasa dan perjuangannya. Baik yang dilakukan pada Muhammadiyah, maupun pada bangsa dan negara. (Depok, 30-3-24).
*Sumber tulisan, Biografi KH. M. Usman (2018) dan Sejarah Muhammadiyah Cipedak Jagakarsa (2023).