Oleh: Muhsin MK
Masalah kumpul kebo (kerbau) kembali marak di Indonesia. Ini penyakit sosial dan abnormal, kok manusia kumpul hidup bersama seperti kebo kawin tanpa pernikahan yang resmi menurut agama dan negara.
Kalau kebo kumpul sama kebo, ya maklum, keduanya sama-sama hewan, bukan manusia. Kalau manusia memiliki akal dan hati yang dapat digunakan untuk menimbang baik buruk dan menegaskan diri sebagai insan, bukan hewan, apa pantas melakukan kumpul kebo.
Penyakit sosial ini bermula dari kehidupan masyarakat di dunia Barat yang memiliki pandangan hidup liberalisme sehingga apa saja serba boleh, termasuk melakukan kebebasan seks. Tapi, anehnya, laki-laki yang memandang atau memelototi wanita sedang pakai bikini berlebihan, di sana dimasukkan sebagai pelanggaran hukum.
Bagi masyarakat dunia Barat bukan hal aneh, apalagi ideologi Hak Hak azasi manusia (HAM) yang mereka anut. Termasuk mereka juga mendukung LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dengan alasan HAM.
Bagi negara negara muslim, termasuk Indonesia, fenomena kumpul kebo menjadi keprihatinan masyarakat, khususnya umat Islam. Mereka berusaha mencegahnya sebagai perbuatan maksiat yang dipandang dapat menimbulkan aib dan bencana di lingkungannya.
Perselingkuhan saja telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Yang berujung pada penggerebekan ke lokasi pasangan selingkuh dan berakhir menjadi kasus hukum pidana setelah ditangani polisi.
Perselingkuhan juga akan berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) antara suami dan istri yang berujung pada perceraian dan pembunuhan. Ternyata KDRT saat ini tidaklah lagi dilakukan oleh seorang suami pada istrinya, tetapi juga seorang istri pada suaminya, bahkan lebih sadis.
Oleh karena itu, bukan saja perlu dibentuk Komnas dan Kementrian Urusan Perempuan, juga urusan laki laki. Sebab dewasa ini masalah kesetaraan gender seakan-akan hanya kaum wanita yang lebih diistimewakan. Seharusnya untuk semua manusia, apa pun jenis kelaminnya, terutama dalam masalah KDRT.
Di kota-kota besar, perbuatan amoral, asusila, dan asosial kumpul kebo ini makin lama semakin digemari kalangan muda yang tidak perduli pada budaya dan agamanya. Mereka yang ingin kawin, tapi enggan menikah, tentu akan memilih hidup bersama tanpa nikah atau kumpul kebo.
Padahal apa pun penyimpangan yang dilakukan dalam masyarakat dan negara Indonesia akan berhadapan dengan norma norma sosial, agama, dan hukum yang berlaku di dalamnya. Para pelaku penyimpangan termasuk mereka yang kumpul kebo tentunya akan mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial dari masyarakat maupun sanksi hukum formal dari negara.
Bagi mereka yang melakukan kumpul kebo, dalam pandangan Islam khususnya, sedemikian jelas dan tegas melarang dan mengharamkannya, karena termasuk perbuatan zina, karena melakukan hubungan seksual tanpa nikah. Berzina adalah dosa besar yang pelakunya harus dihukum, dalam syariat Islam hukumannya dilakukan dengan cara dirajam, yaitu pelakunya dilempari batu sampai mati.
Hukum negara juga mengatur bahwa kumpul kebo melanggar undang-undang perkawinan yang menegaskan bahwa setiap warga negara diharuskan menikah sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Bagi orang yang kumpul kebo, karena alasan tidak memiliki kemampuan secara ekonomi, mereka bisa mengikuti acara perkawinan massal yang dilaksanakan dalam masyarakat, sehingga hubungan suami istri mereka diakui secara resmi, karena diikat dengan ijab kabul dan diberikan surat nikah dari negara.
Aktivitas kumpul kebo sebenarnya dapat merugikan para pelaku itu sendiri. Kerugiannya bukan hanya di akhirat nanti mendapat siksaan, melainkan di dunia inipun akan mereka rasakan.
Pertama, apabila pasangan tidak setia dan berpisah, tak ada lembaga yang memberikan perlindungan hukum bagi salah seorang yang dirugikan. Apabila hal itu dilaporkan kepada lembaga masyarakat dan negara justru akan membuka aib mereka sendiri, apalagi diberitakan dalam media secara luas.
Kedua, apabila mereka memiliki anak, maka masa depan anak anak mereka menjadi tidak jelas ketika orang tuanya berpisah ketika orang tuanya berpisah. Tatkala anak anaknya hendak masuk sekolah diminta surat keterangan kartu keluarga dan kartu nikah tidak ada, justru akan merepotkan mereka sendiri.
Ketiga, dalam masyarakat, kehidupan mereka menjadi buah bibir dan perbincangan yang hangat setiap hari, sehingga hidup mereka menjadi tidak tenang. Apalagi anak anaknya disebut sebagai anak haram karena hasil zina.
Keempat, apabila mereka bekerja sebagai pegawai tentu tak dapat tunjangan dan asuransi keluarga karena tidak memiliki keterangan menikah dan kartu keluarga. Anak-anak mereka tak bisa masuk dalam jaminan pemerintah karena tidak memiliki surat resmi yang diperlukan untuk mendapatkan jaminan tersebut.
Kelima, kumpul kebo umumnya tidak berjalan langgeng dan menyenangkan karena orientasinya adalah urusan dunia, materi, dan penyaluran seksual. Kepercayaan masyarakat pun negatif dan melemah, apalagi dalam memberikan kesaksian apabila terjadi permasalahan hukum di antara kedua pelaku yang dipandang telah melanggar norma norma masyarakat, agama, dan negara.
Sudah sepatutnya masyarakat di mana pun, termasuk organisasi dan lembaga dakwah dan pendidikan Islam untuk selalu mengingatkan agar setiap anggota dan warganya menjauhkan diri dari zina, termasuk kumpul kebo. Kecuali jika kumpul menggembala kebo dan membuat kumpulan membeli kebo untuk keperluan lebaran Idul Fitri dan Idul Adha.
Kegiatan kumpulan beli kebo atau sapi untuk keperluan menyambut lebaran Idul Fitri dan penyembelihan hewan kurban dalam Idul Adha justru lebih baik dan mulia dilakukan dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi tuntunan dan kegiatan yang mendidik agar mereka sebaiknya berbuat yang membawa maslahat bagi masyarakat, daripada melakukan maksiat, kumpul kebo. Wallahu ‘alam.***