
Yogyakarta – Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki struktur utuh memiliki mekanisme untuk menjaga ideologinya dari infiltrasi gerakan lain atau luar. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui putusan atau produk Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang menjadi landasan utama dalam menyelesaikan perbedaan pendapat di antara warganya.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Agung Danarto menegaskan bahwa jika terjadi perbedaan di kalangan warga Muhammadiyah, solusinya harus merujuk pada putusan Majelis Tarjih. Hal tersebut ia sampaikan dalam Kultum Bakda Salat Duhur di Masjid AR Fachruddin, Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, pada Selasa (08/01/2025).
“Kalau ada perbedaan dengan sesama warga Muhammadiyah, tolok ukurnya adalah putusan Majelis Tarjih,” ujar Agung. Ia menekankan bahwa mengikuti hasil keputusan organisasi, termasuk produk Majelis Tarjih, adalah keharusan bagi setiap warga Muhammadiyah.
Agung menjelaskan bahwa meskipun ada dalil tertentu yang digunakan di luar Muhammadiyah, warga Muhammadiyah sebaiknya tetap merujuk pada putusan Tarjih. “Kalau toleransi dengan non-Muhammadiyah bisa menggunakan dalil itu karena ada dalilnya. Namun, kalau di Muhammadiyah, kita usahakan untuk sesuai dengan putusan Majelis Tarjih,” lanjutnya.
Ia juga menyoroti adanya keragaman sosiologis dalam tubuh Muhammadiyah, seperti Muhammadiyah murni, Muhammadiyah rasa Salafi (Mursal), Muhammadiyah NU (Munu), hingga Marhaen Muhammadiyah (Marmud). Menurutnya, perbedaan ini tidak harus dilihat sebagai penyimpangan atau sempalan, tetapi lebih sebagai bentuk deviasi yang tetap berada dalam kerangka Muhammadiyah.
Namun demikian, Agung berharap setiap anggota Muhammadiyah dapat mengikuti ajaran dan ketentuan organisasi secara murni. “Kalau sudah di Muhammadiyah, harus bermuhammadiyah murni, Muhammadiyah yang mengikuti putusan organisasi, Muhammadiyah yang mengikuti ketentuan-ketentuan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa meskipun sulit untuk memiliki identitas tunggal sebagai manusia, fakta sosiologis tersebut tidak bisa serta merta dihukumi sebagai bagian luar dari Muhammadiyah. Identitas yang fleksibel, menurut Agung, justru membuat gerakan Muhammadiyah lebih luwes dan inklusif.***