Kabar Persyarikatan

Kurban Adalah Wujud Ketakwaan, Bukan Sekadar Ritual

Yogyakarta — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Budi Jaya Putra menyampaikan kajian mengenai hukum dan keutamaan ibadah kurban di Masjid Sudja, Yogyakarta, pada Senin (19/05/2025).

Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa ibadah kurban dilaksanakan mulai tanggal 10 Zulhijah, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, dan berlanjut pada hari-hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah.

Budi mengutip surah Al-Kautsar ayat 2, “Fashalli lirabbika wanhar,” yang memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan salat dan berkurban.

Ia menegaskan bahwa perintah kurban dalam Al-Quran, seperti pada surah Al-Haj ayat 28 dan 34-35 serta surah As-Saffat ayat 102, menunjukkan pentingnya ibadah ini. Menurutnya, kurban memiliki makna mendalam sebagai wujud ketakwaan kepada Allah.

Budi memaparkan perbedaan pandangan mazhab mengenai hukum kurban. Menurut mazhab Maliki, kurban sangat dianjurkan bagi yang memiliki harta setara 30 dinar (sekitar Rp60 juta).

Mazhab Syafii menganjurkan kurban bagi yang mampu menafkahi keluarganya. Sementara itu, mazhab Hambali memperbolehkan berutang untuk berkurban asalkan utang tersebut dapat dibayar.

Mazhab Hanafi menyebut seseorang dianggap mampu berkurban jika memiliki harta setara 200 dirham (sekitar Rp80.000 per dirham).

Namun, mayoritas ulama, termasuk Majelis Tarjih Muhammadiyah, menyatakan bahwa kurban bersifat sunah muakadah, yakni sunah yang sangat ditekankan, bukan wajib.

Budi menukil pendapat Ibnu Hazam yang menyebut tidak ada riwayat sahih dari sahabat yang menyatakan kurban sebagai ibadah wajib.

Meski tidak wajib, Budi menyinggung hadis dari Abu Hurairah yang menyebutkan ancaman Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa yang memiliki kelapangan harta namun tidak berkurban, janganlah ia mendekati tempat salat kami.”

Hadis ini, menurut penjelasan Imam Asyauqani, merujuk pada tempat salat Idul Adha, bukan masjid secara umum. Budi menegaskan agar umat tidak salah memahami hadis ini karena ancaman tersebut bertujuan menunjukkan pentingnya kurban, bukan melarang salat di masjid.

Budi juga mengklarifikasi beberapa hadis populer tentang keutamaan kurban. Misalnya, pahala dari setiap rambut atau bulu hewan kurban atau hewan kurban sebagai tunggangan di jembatan sirat.

Ia menyebut hadis-hadis tersebut berstatus daif (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum. Namun, bisa digunakan sebagai motivasi (fadilah amal) selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadis sahih.

Mengutip surah Al-Hajj ayat 37, Budi menekankan bahwa keutamaan kurban bukan terletak pada daging atau darah hewan, melainkan pada ketakwaan yang mencapai rida Allah.

“Bukan hitungan rambut, daging, atau darah yang dihitung, tetapi ketakwaan kitalah yang sampai kepada Allah,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia mengajak umat untuk berkurban dengan niat mencapai rida Allah, bukan sekadar mengejar keutamaan duniawi.

Dalam sesi tanya jawab, Budi menjawab pertanyaan jamaah. Menanggapi pertanyaan tentang kurban untuk orang tua yang tinggal di kota lain, Budi memastikan bahwa kurban dapat dilakukan atas nama keluarga tanpa harus berada di lokasi yang sama.

Ia juga menegaskan bahwa tidak ada batasan maksimal jumlah hewan kurban. Namun, umat dianjurkan untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat sekitar, seperti membantu fakir miskin atau anak yatim.

Budi mengingatkan bahwa mulai tanggal 1 Zulhijah, orang yang akan berkurban (sahibul kurban) dilarang memotong kuku dan rambut hingga hewan kurbannya disembelih.

Ia menutup kajian dengan mengajak umat untuk bersemangat berkurban dengan niat meraih rida Allah, sekaligus memperhatikan kondisi sosial masyarakat.

“Kurban adalah wujud ketakwaan. Jika Allah sudah rida, hidup kita akan dimudahkan,” pungkasnya.***

Sumber: muhammadiyah.or.id.

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button