Oleh Muhsin MK
Setiap organisasi memiliki model atau pola kepemimpinan yang berbeda beda. Model kepemimpinan organisasi Islam pun demikian. Model ini tidak terlepas dari dinamika ideologi, pemikiran, gerakan dan pengalaman masing masing organisasi.
Model kepemimpinan organisasi sekuler akan berbeda dengan organisasi Islam. Bagi organisasi sekuler tentu tidak menggunakan konsep agama dalam menentukan model kepemimpinannya. Berbeda pada organisasi Islam, tentu memakai prinsip prinsip ajaran Islam yang bersumber Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam jelas menggunakan prinsip prinsip Islam dalam menetapkan model kepemimpinannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Baik itu di tingkat pusat, maupun di tataran kepemimpinan Ranting Rantingnya.
Pertama, kepemimpinan Muhammadiyah ditetapkan melalui musyawarah atau lembaga permusyawaratan yang dibentuknya. Ini berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam Ali Imran ayat 259 dan Asy Syura ayat 38.
Berdasarkan ayat ini diadakannya Muktamar Muhammadiyah untuk menetapkan kepemimpinan di tingkat pusat. Pun musyawarah persyarikatan di tingkat wilayah, daerah, cabang dan ranting.
Kedua, kepemimpinan Muhammadiyah ditentukan dengan cara memilih 13 orang, sebagai calon ketua dan anggota pengurus lainnya. Orang orang yang dipilih adalah anggota resmi. Semua memiliki kartu Nomor Baku Anggota Muhammadiyah (NBAM). Selain itu syarat lain berkaitan dengan kualitas pribadinya. Terutama Siddiq (jujur), Amanah (dipercaya), Tabligh (kemampuan bicara benar) dan Fathonah (cerdas berilmu).
Ketiga, kepemimpinan Muhammadiyah kini berlaku hanya dua periode masa bakti dan tidak seumur hidup, seperti zaman KH. Ahmad Dahlan sebagai ketua. Hal ini diberlakukan agar ada proses regenerasi di kalangan pemimpin Muhammadiyah di semua tingkatan. Dengan demikian proses kaderisasi dapat berjalan dengan baik.
Keempat, kepemimpinan Muhammadiyah telah digariskan hanya memilih Ketua Umum atau Ketua organisasi dari kalangan laki laki, walau diantara pemilihnya ada wanita. Hal ini merujuk pada shalat berjamaah yang imamnya seorang laki laki. Adapun wanita dalam Muhammadiyah bisa menjadi pemimpin dalam amal usahanya. Pun dalam organisasi otonom (ortom) khusus wanita, yakni Aisiyah.
Kelima, kepemimpinan Muhammadiyah bersifat kolektif kolegial dalam arti semua pemimpin merupakan satu kesatuan dan bekerja sama seperti teman sejawat dan bersaudara dalam menggerakkan organisasi secara bersama sama. Baik dalam musyawarah memutuskan suatu masalah, maupun dalam melaksanakan aktifitas organisasi dan amal usaha dalam masyarakat. Hal ini berkaitan pada surat Ali Imran ayat 103- 104, Al Maidah ayat 2 dan Al Hujurat ayat 10.
Adapun yang dimaksud model kepemimpinan kolektif kolegial adalah, “gaya kepemimpinan yang berlandaskan ikatan dan interaksi yang dilakukan secara bersamaan (sebagaimana) layaknya teman sejawat”.(Pramitha:2020). Menurut Prof Dr Din Syamsuddin, “Kepemimpinan dalam Muhammadiyah kolektif kolegial, bukan Kepemimpinan tunggal. Sebab beban pimpinan persyarikatan itu begitu berat, sehingga kita menganut model kolektif kolegial, bersama sama teman sejawat dalam memimpin”.
Prof. Dr. Haedar Nashir juga mengatakan saat terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah kembali (2022-2027), “Saya sebagai Ketum posisi -nya hanya sejengkal dikedepankan dan seinci di tinggikan, tapi pada intinya tetap kolektif kolegial sesuai sistem persyarikatan”. (Muhammadiyah or.id, 20/11/22).
Karena itu model kepemimpinan Muhammadiyah ini berbeda dengan kepemimpinan ormas lainnya di Indonesia. Model kepemimpinan seperti inilah yang membuat Muhammadiyah tetap kokoh, survaival, tumbuh dan berkembang, berkeunggul -an dan berkemajuan baik organisasi maupun amal usahanya. Hal ini terbukti dengan melihat eksistensi, perkembangan dan peningkatan kuantitas dan kualitas persyarikatan, baik di tingkat nasional, maupun global. Wallahu ‘alam.