Kolom Muhammadiyah Jabar—
Jika menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), filantropi diartikan sebagai cinta kasih pada sesama. Menelisik lebih jauh, biasanya filantropi merujuk kepada sifat dan perbuatan dermawan.
Membicarakan perbuatan dermawan, sebenarnya Indonesia memiliki catatan apik perihal perbuatan yang mulia ini.
Indonesia menduduki peringkat satu negara paling dermawan menurut data dan analisis laporan World Giving Index (WGI) 2022 dari lembaga nirlaba Internasional Charities Aid Foundation (CAF).
Selama 5 tahun sejak 2018 hingga 2022 CAF menobatkan Indonesia sebagai peringkat teratas negara paling sering berderma.
Pada laporan WGI tahun 2022, terdapat kenaikan skor kedermawanan Indonesia dari 59 persen pada 2018 kini sudah ada di angka 68 persen pada tahun 2022.
Prestasi ini tentulah tak lepas dari pengaruh Muslim di Indonesia yang memang diajarkan Agama Islam untuk mudah berderma dan berzakat.
Pada akhir tahun 2023 bukan tak mungkin hasil penghitungan angka kedermawan di Indonesia akan semakin melejit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Kemungkinan tersebut berangkat dari banyaknya aksi dermawan sebagai bentuk peduli pada Palestina yang dilakukan sejak Oktober lalu hingga sekarang.
Data di atas menunjukan, menyoal Masyarakat Muslim dan filantropi masyarakat muslim Indonesia sudah sangat unggul.
Lantas apakah lewat catatan gelimang ini sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Indonesia adalah masyarakat Islam berkemajuan? Tentu tidak.
Kenapa demikian? karena tingkatan dermawan masyarkata kita kebanyakan masih terhenti di dermawan level satu.
Dermawan level satu adalah kondisi ketika seseorang banyak berderma, akan tetapi di saat yang bersamaan masih sering pula saling menghina.
Kondisi Muslim Indonesia Sebenarnya
Pernahkah melihat ada orang yang sering salat tapi bermulut keji? Sering puasa namun saling benci di medsos? Bibir sering berdzikir tapi sering pula menghardik kafir mereka yang berbeda pendapat? Atau tahfidz 30 juz tapi melakukan perbuatan mesum? Kenapa seringnya ibadah tak menjamin kebagusan akhlak pelakunya?
Menjelaskan hal tersebut, Jalaludin Rakhmat dalam bukunya “Islam Alternatif” mengatakan bahwa Islam memiliki tiga dimensi: Dimensi ritual, dimensi sosial, dan dimensi intelektual.
Pada kenyataannya, Masyarakat Muslim Indonesia masih terlalu berfokus pada Islam dimensi ritual dan sedikit sekali memahami Islam sebagai agama sosial.
Inilah yang terjadi pada fenomena dermawan di negeri ini. Pemahaman sifat kedermawanan Masyarakat Muslim hanya sampai di level dermawan bentuk uang (ataupun barang sekali-kali).
Berhenti di level itu. Padahal masih ada tingkatan sikap dermawan lain yang lebih utama dicapai: cinta kasih pada sesama.
Dermawan Level Selanjutnya
Kembali pada pengertian awal, dermawan adalah sebentuk perbuatan cinta kasih pada sesama. Berarti dermawan tak melulu tentang memberikan uang melainkan lebih dari itu, yakni cinta kasih.
Berakhlak baik seperti menolong, memberikan ilmu bermanfaat, bahkan berkata baik atau sekadar diam tak mengganggu orang lain jugalah termasuk sikap dermawan berbentuk cinta kasih pada sesama.
Islam sangat menekankan perihal ibadah sosial ini. Rasulullah SAW saja mengingatkan dalam hadits:
“Sesungguhnya seseorang yang melakukan ibadah malam dengan rutin, ia juga bersedekah, tapi ia menyakiti tetangga-tetangganya dengan mulutnya, ia tak memiliki kebaikan sama sekali. Dia termasuk ahli neraka,” (HR Baihaqi).
Atau hadist lainnya yang berbunyi:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, tak sedikit Masyarakat Muslim Indonesia yang hanya sampai pada konsep dermawan level satu, yaitu bahwa inti dermawan adalah yang penting memberikan uang.
Dari sini dapat dikatakan bahwa predikat negara paling dermawan tak seketika menjadikan negara tersebut juga negara yang penuh kasih.
Banyak yang dermawan, tapi hanya karena memberikan harta saja. Mereka bukan dermawan karena menyebarkan rasa cinta kasih pada sesama.
Alih-alih cinta kasih, tak jarang yang tersebar malah rasa saling menghardik atau menghinakan mereka yang dianggap olehnya salah.
Mereka gagal untuk memahami hakikat dermawan, sehingga pada akhirnya tak beranjak pada dermawan tingkat paling dasar, yakni hanya memberi tanpa peduli hubungan sosial pada sesama.
Muhammadiyah Sebagai Instrumen Gerakan
Melihat kondisi ini, yang harus dilakukan Muslim Indonesia adalah memahami kemudian melakukan aksi peningkatan level dermawan atau filantropi ke ranah lebih lanjut: mempraktikan agama penuh kasih.
Sikap dermawan seseorang akan sia-sia jadinya jika di saat yang sama masih melekat sifat-sifat seperti menghujat orang lain sampai orang tersebut —meminjam istilah Nabi SAW— tak selamat dari mulutnya (atau jarinya jika menyesuaikan zaman sekarang).
Lantas apa yang bisa Muhammadiyah tawarkan? Ada beberapa hal yang bisa Muhammadiyah lakukan sebagai solusi.
Pertama, memberikan pemahaman. Ya, fenomena miris tentang dermawan terjadi karena luputnya pengetahuan.
Gus Dur dalam bukunya “Islamku, Islam Kita, Islam Anda,” mengatakan salah paham dalam beragama terjadi musabab adanya “pendangkalan agama.”
Cara ampuh agar pendangkalan agama tak terjadi adalah dengan belajar dan sering-sering buku. Muhammadiyah bisa mengupayakan itu dengan memanfaatkan sekolah-sekolah yang dimilikinya.
Lewat ratusan ribu SD, SMP, SMA hingga pesantren yang Muhammadiyah punya misalnya. Bisa dibuat program satu atau dua jam khusus untuk membaca. Jadi para siswa memiliki waktu khusus untuk membaca di sekolahnya.
Dengan adanya kegiatan membaca para siswa kelak bisa berpikir kritis dan menjadi seorang bijak dalam menginterpretasi dan implementasi agama.
Kedua, lewat dakwah para ulama Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki banyak ulama-intelektual maupun intelektual-ulama.
Para ulama bisa turut berperan aktif mendakwahkan tentang bagaimana dakwah yang hakiki ditegakan. Memberikan pemahaman bahwa dermawan harus diikuti dengan sifat mulia lainnya, misalnya.
Ketiga, melalui media sosial. Muhammadiyah dengan medsos yang dimilikinya bisa menyebarkan perihal konsep bagaimana dermawan yang sebenar-benarnya.
Memanfaatkan kanal Youtube, Instagram, hingga Tiktok efisien menyebarkan dakwah ini demi merapikan pemahaman kusut masyarakat tentang dermawan.
Terakhir, adalah dengan melakukan diskusi lintas agama dan mazhab. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi aksi saling merendahkan serta takfiri.
Seperti yang sudah dibahas, yang jelek dari sikap kedermawanan kebanyakan orang Indonesia adalah karena sikap dermawan masih diikuti perbuatan buruk, terutama saling cemooh karena benci.
Biasanya rasa benci timbul karena tak ada rasa saling kenal. Dengan adanya forum diskusi ini bisa saling membukakan mata tentang identitas satu sama lain, sehingga salah paham dapat dihilangkan.
Ketika kita sudah mencapai tahapan saling kenal dan saling menyayangi, niscaya perbuatan menghinakan orang lain bisa direduksi.
Keempat hal inilah yang menurut penulis dapat membawa Muslim Indonesia menciptakan lingkungan yang lebih baik, sebab untuk menjadikan Islam berkemajuan, haruslah dibuat terlebih dahulu lingkungan yang menunjang itu.
Jika lingkungan baik sudah terbuat, pemahaman sudah meningkat, barulah kita dapat berperan dalam peradaban Islam berkemajuan.
*Kontributor: Moh Aqbil WAK