Kolom

Scientia Sacra Sebagai Jawaban dalam Problematika Pemikiran Masyarakat Modern

Oleh: Muhammad Radhi Rabbani (Mahasiswa UIN SGD BANDUNG Jurusan Sejarah Peradaban Islam)

Seperti yang kita ketahui tentang maraknya fenomena menurunnya sikap toleransi dalam bermasyarakat telah meresahkan dan acapkali mengganggu kita untuk mencapai suatu pemikiran yang adil dan bijak.

Khususnya di negara kita tercinta Indonesia yang dimana berbagai pemikiran masuk tanpa kita filtrasi terlebih dahulu.

Sementara itu salah satu penyebabnya adalah muncul dari pola Pendidikan agama yang justru mengajarkan sikap intoleran baik melalui materi dan cara menyikapi persoalan di masyarakat itu sendiri.

Disisi lain faktor utama nya adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terlepas dari nilai-nilai agama dan spiritual.

Karena itu pemikiran Sayyed Hossein Nasr akan dihadirkan sebagai solusi atau jawaban dalam menjawab persoalan diatas dengan Gagasan Scientia Sacra-nya.

Mengenal Sayyed Hossein Nasr

Sayyid Hossein Nasr lahir pada tanggal 7 April 1933, di kota Teheran, Iran, yang dimana negara tempat lahirnya para sufi, filosofi, ilmuwan dan penyair muslim terkemuka.

Sayyid Hossein Nasr sendiri seorang penulis dan merupakan salah satu pemuka yang paling menonjol di barat mengenai pemahaman islam tradisional.

Pendidikan dasarnya diperoleh secara informal dari keluarga dan secara formal dengan Pendidikan tradisional di Teheran. Pendidikan tingginya ditempuh di Amerika dan  berhasil mendapat gelar diploma B.S. (Bachelor of Science) dan M.A. (Master of Art) dalam bidang fisika dari Massachussets Institute of Technology (MIT).

Tidak puas disitu untuk belajar, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Harvard menekuni History of Science and Philosophy, disana ia berhasil memperoleh gelar Ph.d (Doctor of Philosophy).

Setelah banyak mempelajari ilmu di barat ia pun kembali ke tempat kelahirannya di Teheran dan mendalami filsafat timur dan filsafat tradisional dengan banyak berdiskusi bersama para tokoh terkemuka agama Iran.

Pendidikan dan budaya barat yang telah ia terima tidak mempengaruhi cara pandang dan pola kehidupan dengan tradisi islamnya. Sayyid Hossein Nasr tetap haus akan tradisi keislaman dan belajar tasawuf kepada seorang ulama besar Muhammad Husain Tabataba’i.

Dalam kegiatan akademiknya  Sayyid Hossein Nasr mengajar di Universitas Teheran dan menjadi dekan fakultas sastra pada Lembaga yang sama.

Selain itu ia diangkat sebagai professor tamu pada Harvard University. Hingga pada akhirnya ia diangkat menjadi direktur Imperial Iranian Academy of Philosphy, sebuah Lembaga yang didirikan oleh raja Iran yaitu Syah Reza Pahlevi pada saat itu, untuk memajukan Pendidikan dan kajian filsafat. Sayyid Hossein Nasr berhasil dalam tugasnya dan ia diberi gelar kebangsaan oleh Syah.

Pemikiran Sayyid Hossein Nasr tersebar luas di dunia timur dan barat melalui sejumlah bukunya yang terkenal yaitu Knowledge and the Sacred (1981), Man and Nature:The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), Ideals and Realitis of Islam (1966), An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964).

Sayyed Hossein Nasr  memiliki pemikiran tentang islam tradisional di tengah modernitas yang begitu kuat di zamannya.

Kritikannya terhadap pola pikir modernitas karena terlalu mengagungkan rasionalitas dalam segala hal.

Menurut Nasr pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada kebimbangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagiaan.

Scientia Sacra Dalam Pemikiran Seyyid Hossein Nasr

Manusia modern telah mengalami berbagai krisis akut, yang dimana menurut Nasr sendiri berawal dari krisis spiritual yang menimpa mereka juga.

Perkembangan teknologi barat yang tidak diimbangi dengan nilai esoteris (ikhlas dan istiqamah) membuat mereka terhempas dalam badai.

“Iptek” yang selama ini dipuja-puja justru menjadi “bumerang” bagi manusia dengan mengalirkan arus globalisasi dan informasi yang demikian dahsyat datang dari berbagai arah, menurut Hossein Nasr, ilmu akhirnya menjadi penguasa dan mendominasi alam.

Islam tradisional memandang semua sains adalah sakral, tidak ada pembedaan antara ilmu agama dan ilmu umum.

Karena semua ilmu sakral maka tidak perlu dilakukan islamisasi ilmu. Melalui penelusuran sejarah sains ia melihat suatu kesinambungan dan benang merah yang dapat ditarik dari pemikiran islam awal.

Disini Nasr sendiri melihat ulama, pemikir, filsuf dan ilmuwan dari al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina sampai al-Ghazali telah melakukan klasifikasi ilmu.

Mereka pada dasarnya mempunyai pemikiran yang sama bahwa ilmu itu tersusun secara hirarkis yang pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang “Yang Satu”.

Seyyid Hossein Nasr mengamini adanya klasifikasi ilmu dalam rangka sebagai tolak ukur untuk melihat jangkauan dan posisi ilmu secara utuh, mulai dari pengoprasian indra, daya khayal dan akal, ini tergantung ilmu yang akan dicari.

Akal budi sebagai cara utama untuk mengetahui wahyu hingga sampai pada mata hati (ain al-qalb). Nasr sendiri menempatkan ilmu pada posisi yang hirarkis bukan dikotomis.

Untuk memudahkan dalam memperoleh ilmu melalui cara berdasarkan ilmu yang diperoleh. Semua ilmu pada dasarnya terikat pada “Yang Satu”, termasuk yang disebut sebagai “ilmu umum.”

Sains filsafat dan intelektual dalam klasifikasi ilmu Ibnu Khaldun dan ilmu logika, ilmu dasar dan fisika dapat dicapai melalui akal, sedangkan pembagian metafisis al-Farabi dan sains yang disampaikan (al-Qur’an, hadits, fiqif, teologi, tasawuf, dll) untuk mencapai kebenarannya tidak cukup menggunakan akal tetapi inteleksi dan wahyu.

Ada dua sumber dari scientia sacra yaitu sumber wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang menyelimuti hati dan pikiran manusia, sehingga dimungkinkan hadirnya pengetahuan yang bersifat langsung, dapat dirasakan dan dialami, atau dalam tradisi islam disebut dengan al-ilmu al-hudluri (ilmu yang hadir).

Scientia sacra memandang semua yang ada pada dasarnya adalah refleksi dari “Yang Satu”. Hipotase Ilahi atau kemutlakan tertinggi direfleksikan dalam lima kondisi eksistensi.

Pertama, dalam ruang sebagai perluasan yang secara teoritik tidak terbatas. Kedua, dalam waktu sebagai durasi yang secara logis tidak berakhir. Ketiga, dalam materi, sebagai eter yang merupakan prinsip baik materi maupun energi yang menandakan ketidakterbatasan substansialitas material. Keempat, dalam bentuk sebagai kemungkinan tak terbatas keanekaragaman. Dan kelima, dalam rangka sebagai ketidakterbatasan kuantitas.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas scientia sacra atau ilmu suci sendiri dapat diperoleh ketika intelek berfungsi dalam diri manusia secara natural dan memiliki kesadaran akan hal yang menjadi problema di era modern ini dengan pengetahuan.

Pusat pengetahuan adalah hati. Hati ibarat matahari, sedangkan pikiran ibarat bulan. Bulan memancarkan sinarnya dari pantulan sinar matahari.

Referensi:

Sayyed Hossein Nasr, Islamic Sains: An Illustrated Study, London, 1976

Sayyed Hossein Nasr, Sains and Civillitation in Islam, New York, 1975

Ahmad  Sururi  dkk,  “Ecological  Sufism  Concept  in  Thought  of Sayyed  Hossein  Nasr”,  RSD:  Reseacrh,  Society  and  development, Vol. 9, No. 10, 2020.

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button