Bandung – Konsep Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) telah memicu berbagai kritikan. Para kritikus menilai bahwa pemaksaan kalender Hijriah yang seragam secara global bertentangan dengan prinsip ilmiah dan praktik rukyat. Menurut mereka, penerapan KHGT bisa menyebabkan beberapa wilayah harus memasuki bulan baru meskipun hilal belum terlihat, sedangkan wilayah lain harus menunggu hari berikutnya meskipun hilal sudah terlihat sehari sebelumnya.
Salah satu kekhawatiran utama para pengkritik adalah potensi terjadinya bulan baru di suatu kawasan padahal hilal masih di bawah ufuk. Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar “liru’yatihi atau melihat hilal” sebagai tanda masuknya bulan baru. Jika hilal masih di bawah ufuk, maka mustahil hilal dapat dilihat, sehingga memaksakan penerapan bulan baru dalam kondisi tersebut dianggap tidak sesuai dengan sunnah.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, menanggapi kritik tersebut dengan menegaskan bahwa KHGT harus memenuhi dua syarat fundamental. Pertama, tidak boleh menunda suatu wilayah memasuki bulan baru jika sudah memenuhi syarat imkanu rukyat (5-8) di mana pun di permukaan bumi. Kedua, tidak boleh memaksa suatu wilayah memasuki bulan baru jika belum terjadi konjungsi.
Dengan demikian, kalender harus memastikan bahwa wilayah di ujung barat tidak dipaksa menunda masuk bulan baru hanya untuk menunggu wilayah di ujung timur, sementara hilal sudah terlihat di ufuk mereka. Sebaliknya, kalender juga tidak boleh memaksa wilayah di ujung timur memasuki bulan baru jika konjungsi belum terjadi. “Dua syarat ini begitu fundamental, apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka KHGT tidak bisa diterapkan,” ucap Syamsul pada Rabu (10/07/2024).
Terkait hilal yang masih di bawah ufuk, Syamsul menjelaskan prinsip “transfer imkan rukyat” dalam KHGT. Orang yang berada di sebelah barat, seperti Amerika Serikat, memiliki peluang lebih besar untuk melihat hilal pada hari pertama kemunculannya. Sebaliknya, orang di wilayah ujung timur, seperti Selandia Baru, kurang beruntung dalam hal ini. Kondisi ini membutuhkan “transfer imkan rukyat”.
Transfer imkan rukyat berarti memindahkan hasil rukyat atau imkan rukyat dari satu tempat ke tempat lain yang belum mengalami rukyat atau imkan rukyat. Prinsip ini diterapkan secara global untuk memastikan bahwa wilayah bagian timur tidak dipaksa memasuki bulan baru sebelum terjadi ijtimak, sesuai dengan QS Yasin [36] ayat 39.
Syamsul menjelaskan bahwa transfer imkan rukyat ini sebenarnya sudah lama digunakan di Indonesia. Misalnya, jika hilal sudah terlihat di ujung barat Indonesia, tetapi masih di bawah ufuk di timur Indonesia, maka wilayah timur tetap ikut memasuki bulan baru. Oleh karena itu, transfer imkan rukyat tidak menimbulkan masalah, justru menjadi solusi yang sudah terbukti efektif dalam menjaga keseragaman penentuan awal bulan Hijriah.
Muhammadiyah menerima setiap kritik dengan terbuka, namun sebaiknya setiap kritikus menelaah terlebih dahulu konsepsi Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang telah disebar luas melalui berbagai media. Dengan pemahaman yang komprehensif, kritik yang disampaikan akan lebih konstruktif dan berdasar.***