Oleh Muhsin MK
Setiap warga Muhammadiyah, baik anggota atau simpatisannya, berharap agar persyarikatan yang didukungnya tetap solid, utuh, kompak, bersatu dan tidak bercerai berai. Sebab ada pepatah mengatakan, “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.”
Sejak berdirinya, Muhammadiyah mengalami perjalanan panjang dan berliku liku, menanjak dan menurun, berkelak-kelok dan melintasi jalan terjal dalam mencapai tujuan perjuangannya. Ibarat kapal berlayar menghadapi gelombang laut, ombak besar dan angin kencang yang datang menerjang. Namun kapal tetap berlayar dan melaju, menuju pulau harapan.
Muhammadiyah pernah menghadapi tantangan di masa masa sulit, baik pada zaman penjajahan, revolusi fisik, demokrasi liberal, orla orba, maupun di masa reformasi. Semua tantangan pada masa itu dihadapinya dengan sabar dan tabah sambil terus bergerak dan berjalan lurus.
Pada masa penjajahan.Belanda dan Jepang, gerak Muhammadiyah dibatasi, bahkan dicurigai oleh mereka karena di dalam tubuhnya berhimpun para pejuang dan pemimpin bangsa yang konsisten menentang kolonialisme.
Meskipun demikian, Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah Islam, terus saja bergerak, bagai air mengalir ke daerah daerah yang bisa di suburkannya. Tiada sedikitpun dalam jiwa pemimpin persyarikatan saat itu rasa takut dan gentar, karena mereka hanya tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Walau Muhammadiyah saat itu dibatasi dan dicurigai, namun perkembangan persyarikatan tidak bisa dibendung. Akhirnya tetap menjalar pengaruh dan organisasinya ke beberapa daerah di Indonesia. Cabang cabangnya tumbuh dan berkembang, tidak hanya di kota kota, tetapi juga di lingkungan pedesaan.
Di Surabaya dan Jakarta, Muhammadiyah berdiri pada tahun 1921. Solo dan Garut tahun 1923. Semarang, Padang Panjang dan Makasar tahun 1926. Di Desa Kubang Kondang, Menes, Pandeglang, Banten tahun 1929. Banjarmasin tahun 1932 dan di daerah daerah lain sebelum kemerdekaan.
Di zaman revolusi fisik Muhammadiyah juga menghadapi tantangan, terutama keterlibatan pimpinan dan warganya dalam perang gerilya menghadapi tentara Belanda. Mereka saat itu hendak kembali menjajah Indonesia.
Warga Muhammadiyah masa itu pun banyak yang bergabung dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang dibentuk oleh Partai Islam Masyumi untuk berjihad memerangi Belanda.
Ada pula yang masuk dalam barisan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR). Kedua front perjuangan rakyat ini menjadi cikal bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Saat revolusi fisik gerakan dan pembangunan amal usaha Muhammadiyah juga mengalami hambatan dalam masyarakat. Baru pada tahun 1950, persyarikatan kembali dapat bergerak dan berkembang, dengan berdirinya cabang dan ranting ranting di seluruh Indonesia.
Namun pada saat diselenggarakannya Pemilu pertama 1955 di era demokrasi liberal, Muhamadiyah kembali menghadapi tantangan dalam gerakannya. Pertama, karena keterlibatan pemimpin dan anggotanya dalam Partai Islam Masyumi. Karena itulah sebagian pimpinan dan warganya menjadi pengurus partai politik.
Keadaan ini membuat gerakkan Muhammadiyah mengalami hambatan, dari internal dan eksternal. Hambatan internal akibat keterlibatan pimpinannya dalam politik praktis.
Dampaknya, membuat mereka lebih besar perhatiannya pada bidang politik dan pemerintahan. Roda organisasi dan aktifitas persyarikatan tidak bergerak dan berjalan maksimal.
Adapun hambatan eksternal datang dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi mantelnya. Mereka memandang pimpinan dan anggota Muhammadiyah, bagian Partai Islam Masyumi musuh ideologinya. Mereka terus mewaspadai, bahkan dalam propagandanya, berusaha meembubarkannya.
Karena itu PKI dengan kekuatan massanya, pada tahun. 1960-1965, berusaha menghadang gerakan dan laju perkembangan Muhammadiyah dalam masyarakat.
Bahkan tokoh dan pemimpin persyarikatan menjadi target penculikan dan pembunuhan, apabila PKI sukses merebut kekuasaan pemerintahan presiden Soekarno.
Setelah Gerakan 30 September (G30S) atau kudeta PKI gagal, lalu partai dan antek anteknya berhasil dibubarkan, Muhammadiyah kembali bergerak dan mengembangkan organisasinya. Kembali, di berbagai daerah persyarikatan berhasil mendirikan cabang ranting dan mengembangkan amal usahanya.
Sekolah Muhammadiyah, rumah sakit dan perguruan tinggi berdiri di beberapa daerah Indonesia. Apalagi di Jawa Tengah, gerakan misi dan zending Kristen cukup gencar setelah bubarnya PKI. Sebab anggota PKI menjadi obyek mereka.
Melihat itu Muhammadiyah melakukan antisipasi dan melakukan konter dengan menghidupkan dakwah, mendirikan amal usaha masjid dan pendidikan. Maka hasilnyapun dapat dilihat, sepanjang jalan Purwokerto-Yogyakarta, berdiri sekolah persyarikatan di dekat lokasi sekolah Kristen dan Katolik.
Pada zaman Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, walau alumni sekolah Muhammadiyah, persyarikatan juga menghadapi tantangan. Di saat menteri pendidikannya dijabat oleh Dr. Daud Yusuf, pernah bersinggungan dengan Muhammadiyah.
Soal libur bulan Ramadhan. Keputusan pemerintah tidak meliburkan sekolah sekolah di bulan Ramadhan. Sedangkan Muhammadiyah menentang dan meliburkan murid murid sekolahnya di bulan Ramadhan. Dampaknya Daud Yusuf mencabut dana subsidi sekolah sekolah Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Selain itu, Muhammadiyah dihadapkan masalah azas tunggal Pancasila yang harus menjadi azas ormas, selain partai. Persyarikatan pun ditekan pemerintah untuk mengganti azas Islam dalam Anggaran Dasarnya.
Terjadi perbedaan pendapat cukup tajam antar pimpinan dan anggota Muhammadiyah sendiri. Muncul pro dan kontra tentang azasi tunggal dalam tubuh persyarikatan.
Akhirnya Muhammadiyah terpaksa menerima Pancasila menjadi azas organisasinya dalam Muktamarnya di Solo tahun 1985. Namun sebelum pasal azas Pancasila dimasukkan dalam AD, ditetapkan lebih dahulu pasal tentang, “Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar, yang beraqidah Islam”..
Meskipun demikian, Muhammadiyah tetap bergerak. Cabang dan Rantingnya terus tumbuh dan berkembang, termasuk amal usaha semakin bertambah jumlahnya di seluruh Indonesia.
Pada masa BJ. Habibi sebagai presiden, 1998-1999, Muhammadiyah tidak menghadapi tantangan berat. Pada masa transisi ini pimpinan persyarikatan, Prof. Malik Fadjar diangkat menjadi Menteri Agama RI.
Memasuki era reformasi, saat Abdurrahman Wahid, Megawati. SBY dan Jokowi sebagai presiden, Muhammadiyah terus maju dan berkembang dalam masyarakat di Indonesia. Di era ini persyarikatan tidak mengalami tantangan dan hambatan yang berat dalam pergerakan, hingga berhasil membangun pusat pusat keunggulan.
Universitas Muhammadiyah berdiri dengan megah dan berkembang di seluruh Indonesia dan satu di Malaysia. Demikian pula rumah sakit, sekolah, pesantren dan masjid. Bahkan persyarikatan berhasil membeli masjid di Spanyol, Eropa, sebagaimana dilakukan oleh PWM Jawa Timur.
Tantangan muncul saat menjelang akhir jabatan Jokowi sebagai presiden. Adanya tawaran ormas mengelola tambang. Muhammadiyah menyambut tawaran itu, sehingga timbul pro kontra di kalangan pimpinan dan anggotanya.
Masalah tambang mereda setelah pergantian pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo. Apalagi dengan masuknya kader kader Muhammadiyah dalam pemerintahan. Termasuk Sekretaris Umum PP menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI.
Terlepas dari tantangan dan dinamika yang dialami dari masa penjajahan hingga reformasi saat ini, Muhammadiyah makin lama semakin kokoh dan solid organisasinya. Hal ini dapat dilihat dengan tertibnya manajemen, administrasi, keuangan, leadership dan permusyawaratannya.
Bahkan, sistem pemilihan pimpinan dan permusyawaratan Muhammadiyah pun sudah baku, sehingga memiliki konsep demokrasi yang berbeda dengan negara dan organisasi lainnya. Sistem baku yang berlaku di persyarikatan selama ini terlihat nyata.
Pertama, Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik sejak berdirinya. Hanya pernah menjadi anggota istimewa Partai Masyumi di zaman demokrasi liberal. Namun kemudian persyarikatan menyatakan melepaskan diri dari partai politik hingga saat ini.
Walau ada desakan Muhammadiyah menjadi partai, namun itu tidak berhasil dan terwujud. Apalagi pesan KH. Ahmad Dahlan tetap dipegang teguh. “Hidup hiduplah Muhammadiyah, tidak mencari hidup di Muhammadiyah”.
Jika persyarikatan menjadi partai politik, maka pesan ini akan menjadi sebaliknya. Karena partai dalam realitasnya adalah tempat mencari penghidupan bagi aktifisnya.
Namun demikian, Muhammadiyah tidak melarang individual pimpinan dan anggotanya masuk partai apapun, tanpa membawa bawa organisasinya. Hanya saja mereka diharapkan, tidak menjadikan persyarikatan sebagai alat dan sarana untuk mencapai tujuan politiknya.
Kedua, administrasi termasuk keuangan Muhammadiyah diterapkan secara tertib dan tercatat secara baik. Sejak berdirinya persyarikatan benar benar menertibkan administrasi organisasi dan keuangannya. Semuanya benar benar tercatat dengan baik, tersimpan dalam arsip dan dokumentasi yang rapih, tertib dan transparan.
Contoh sederhana tentang tertibnya administrasi dan keuangan dapat dilihat dari prasasti pembangunan gedung PP Muhammadiyah, di Jl. KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Tertulis dalam prasasti di bagian tembok gedung itu tentang biaya pembangunan, yang tercatat sebagai berikut:
Dari Hasil Konggres ke 29/1940 sebesar: 2.500.
Dari saldo C.PPK-M & Derma-2 sebesar: 2.500.
Jumlah 5000
Prasasti ini bukti betapa tertibnya administrasi dan keuangan Muhammadiyah. Belum lagi arsip dan dokumentasi organisasi, termasuk administrasi keanggotaan atau NBAM (Nomor Baku Anggota Muhammadiyah) hingga hari ini.
Ketiga, administrasi kegiatan dan permusyawaratan Muhammadiyah tercatat dengan rapih di tingkat pusat hingga daerah. Hanya di tingkat cabang dan ranting masih belum semuanya rapih, sehingga LPCR-PM berusaha untuk menertibkan administrasi cabang dan ranting dengan berbagai pendekatan. Diantaranya menyelenggarakan LPCR-PM Award.
Tertibnya administrasi ini dapat dilihat, Muhammadiyah secara teratur mengeluarkan buku “Berita Resmi Muhammadiyah”. Isi buku ini memuat berbagai keputusan resmi persyarikatan termasuk majlis majlis yang berada dibawah naungannya.
Keempat, permusyawaratan berjalan secara tertib dan teratur, sesuai keputusan yang telah ditetapkan oleh musyawarah pimpinan Muhammadiyah disemua tingkatan. Muktamar dilaksanakan lima tahunan tetap berjalan normal, kecuali saat pandemi covid 19 telah dimajukan dua tahun.
Tanwir Muhammadiyah juga diselenggarakan rutin dan konsisten setahun sekali dengan berpindah pindah tempat dan lokasi daerahnya. Tahun 2024 ini Tanwir Muhammadiyah akan dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kelima, pemilihan pimpinan Muhammadiyah dilakukan dengan sistem yang baku, tertib, rapih, teratur dan transparan, tanpa bisa di intervensi oleh siapapun. Para calon pemimpin yang akan dipilih diseleksi secara ketat, sesuai AD-ART persyarikatan, sehingga tidak ada calon luar dan titipan bisa masuk, apalagi tanpa memiliki NBAM.
Dewasa ini pemilihan pemimpin Muhammadiyah saat pemungutan suara sudah menggunakan sistem digital, sehingga dapat lebih cepat dan transparan diketahui hasilnya, walau tetap perlu diawasi dan diterapkan secara ketat dan terkontrol, agar tidak ada kecurangan dan penyimpangan. Sistem ini sudah diterapkan hingga pimpinan daerah dan cabang, walau masih perlu belajar dan persiapan yang matang.
Di samping itu, sistem memilih calon Pemimpin Muhammadiyah sejumlah 13 orang. Ini pun menunjukkan bahwa persyarikatan benar benar ketat dan demokratis, agar menghasilkan Ketua dan pimpinan yang berkualitas.
Angka 13 di satu sisi adalah untuk menghilangkan kepercayaan takhayul dan khurafat dalam masyarakat. Sebab sebagian mereka berpandangan bahwa angka itu membawa sial dan buruk.
Pada sisi lain, angka 13 itu ganjil, seperti pelaksanaan shalat tahajud atau qiyamullail, yang dilakukan jamaah Muhammadiyah. Termasuk shalat taraweh di bulan Ramadhan, yang dilakukan sebanyak 11 rekaat, dan diawali shalat iftitah 2 rekaat.
Terlepas dari itu, dengan menggunakan sistem tersebut, Muhammadiyah dapat melahirkan kepemimpinan yang berwibawa, kuat, solid, kompak, kolektif dan kolegial tanpa mengabaikan perbedaan suku, daerah, usia dan pendidikan. Ketua umum persyarikatan yang terpilih selalu muncul dari kader kader berkualitas terbaik yang layak dan pantas memimpin organisasi Islam terbesar ini lima tahun ke depan, walau tetap dibatasi AD-ART, maksimal dua periode.