Kabar Muhammadiyah Jawa Barat

Muhammadiyah dan Tradisi Literasinya Yang Menakjubkan

Muhammadiyah adalah organisasi dengan lautan literasi. Dalam Muhammadiyah sangat ditekankan sekali tradisi literasinya. Tradisi ini terus terjaga bahkan hingga sekarang. Tak ayal hingga kini budaya membaca dan menulis terus digaungkan Muhammadiyah.

Itulah salah satu kesimpulan dari wakil ketua MPI PP Muhammadiyah, Roni Tabroni saat dirinya mengisi kajian dalam program “Gerakan Subuh Mengaji” atau GSM dengan tema “tradisi literasi Muhammadiyah” pada Senin (31/1/2022).

 Lebih lanjut, dirinya menjelaskan bahwa tradisi literasi Muhammadiyah dapat dibagi menjadi 3 gerakan utama, yakni tradisi penerjemahan, dokumentasi di berbagai kegiatan dalam hal administrasi, dan dengan menerbitkan media.

Tradisi penerjemahan dilakukan Muhammadiyah demi memfasilitasi masyarakat pribumi agar bisa membaca buku-buku dari luar negeri yang memang belum ada terjemahannya.

“Banyak buku-buku dari barat termasuk eropa yang tidak bisa dibaca oleh masyarakat pribumi, maka kemudian oleh Muhammadiyah lalu diterjemahkan” ujar Roni.

Perihal dokumentasi dan administrasi, bisa dibilang Muhammadiyah sejak awal berdiri memiliki kebiasaan untuk mendokumentasikan atau mencatat hasil rapat. Mulai dari daftar peserta yang hadir rapat, hasil rapat, peserta yang tidak hadir, bahkan sampai alasan  mengapa sang peserta tidak hadir pun tak luput jadi catatan.

“Hebatnya lagi, catatan ini begitu rapi dan masih terjaga keasliannya hingga sekarang. Ini menunjukan bahwa sejak awal tradisi Muhammadiyah untuk mencatatkan setiap aktivitasnya sudah dilakukan dengan sangat baik.”

“Bisa dibilang mungkin Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang memiliki catatan yang sangat lengkap dan manuskrip yang paling banyak di perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, kita bisa berbulan-bulan hanya untuk membaca saja,” tambah Roni.

 Terakhir, tradisi literasi Muhammadiyah tumbuh berkembang lewat media. Bentuk literasi melalui media diwujudkan dengan diterbitkannya majalah yang paling pertama dan utama di Muhammadiyah:  Suara Muhammadiyah.

“Ini menjadi pembuktian Muhammadiyah sebagai organisasi modern pembaharuan, ketika pada masa itu orang lain entah berbicara apa, Muhammadiyah sudah bicara modernisasi di bidang informasi, yaitu Suara Muhammadiyah.” Imbuhnya.

Suara Muhammadiyah muncul pertama kali pada tahun 1915 sebagai media pendukung dalam berdakwah. Sejak awal muncul hingga sekarang majalah Suara Muhammadiyah terus terbit dan masih eksis, bahkan sampai-sampai majalah ini diberikan rekor Muri sebagai Majalah Islam Yang Terbit Berkesinambungan Terlama.

Kemudian seiring berjalannya waktu, muncul pula majalah-majalah lain yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Sebut saja seperti majalah Menara Koedoes (1925), Suara Aisyiyah (1926), brosur Halal bihalal (1930), Majalah Adil (1932), dan lain-lain.

“Dalam sejarahnya tak kurang ada 32 media yang diterbitkan oleh Muhammadiyah selain Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiyah, yang diterbitkan mulai dari pimpinan pusat, wilayah, daerah, termasuk oleh korkom juga banyak,” pungkasnya.

Ketiga tradisi literasi inilah yang sejak dahulu dikembangkan KH Ahmad Dahlan sebagai strategi dakwah cum pembaharuan di kalangan masyarakat. Tradisi atau kebiasaan-kebiasaan ini mutlak mesti terus diduplikasi dan dijaga kelestariannya sebagai identitas organisasi sekaligus upaya mencerdaskan bangsa. 

*Berita ditulis oleh Mohamad Aqbil W Abdul Karim

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button