Kabar PersyarikatanKolom

Meneguhkan Perjuangan Mewujudkan Kesejahteraan Semesta

Oleh: Agus Rahmat Nugraha*

Bersyukurlah atas segala nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita sekalian dalam besaran luas yang tak pernah bisa dihitung. Wa in tauddu nikmatallahi laa tuhsuha, “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS An-Nahl: 18).

Di antara nikmat besar yang patut kita syukuri bersama adalah keberadaan Persyarikatan Muhammadiyah, rumah perjuangan sekaligus ruang transmisi nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, keumatan, dan kemanusiaan semesta.

Organisasi tempat kita berkhidmat ini—wadah para pembaru bangsa dan penggerak pencerahan—telah memasuki usia 113 tahun pada November 2025 dalam kalender miladiah. Atas karunia tersebut, sekali lagi kita lafalkan, alhamdulillahil-ladzi bi ni‘matihi tatimmu ash-shalihat.

Setiap rumah berjuang memiliki ciri keunikannya tersendiri (distingsi) dan satu hal yang selalu menarik dan kerap ditunggu di setiap perhelatan milad tahunan dan atau apa pun momen penting di Muhammadiyah, adalah topik yang diusung dalam momentum penting tersebut.

Tahun ini ternyata tema besar milad Muhammadiyah 113 adalah “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”. Tema ini sangat penting (crusial) sekaligus strategis secara prinsip (principal strategic).

Tema ini krusial karena telah menjadi impian panjang yang telah lama ditunggu oleh bangsa-negara secara institusional dan juga seluruh warga masyarakat di NKRI ini. Impian yang dimaksud antara lain adalah “kesejahteraan.”

Hadirnya kesejahteraan adalah sesuatu kondisi utama yang menjadi “the ultimate concern” dalam bentuk rupanya secara hakiki. Kesejahteraan yang tentu tidak terjebak hanya soal material bendawi, ekonomik-duniawi atau politis semata.

Namun, hal yang dimaksudkan kesejahteraan di sini adalah kesejahteraan lahir dan batin-spiritual hadir sekaligus, bersama-sama, dan dapat dinikmati semua kalangan.

Kesejahteraan merupakan inti dari harapan umat manusia. Namun, nilai-nilai ketuhanan yang seharusnya menjadi landasan kehidupan justru sering ternodai oleh kelalaian dan ketidakadilan manusia, ketika ucapan dan tindakan tidak lagi sejalan.

Dalam lingkup paling dekat sekalipun, prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab masih sulit terwujud; persatuan sering hanya menjadi slogan, musyawarah tersisihkan, dan keadilan sosial—sebagai inti kesejahteraan—hanya tampak sebagai bayangan yang sulit diwujudkan dalam kenyataan.

Di sinilah urgensi menghadirkan kesejahteraan secara nyata menjadi semakin penting. Kesejahteraan bukan hanya soal materi, tetapi rasa aman dan tenteram lahir batin.

Meski jalan menuju cita-cita tersebut penuh tantangan, Muhammadiyah terus berupaya mewujudkannya melalui berbagai gerakan, program, dan kontribusi nyata bagi kehidupan masyarakat.

Tata nilai ideal sedang terus berhadap-hadapan dengan kuasa destruktif yang semakin menggila dalam segala aneka perilaku korup, kolutif, manipulatif, dan nepotis di segala penjuru.

Sejahtera publik, sejahtera bangsa, bahkan sejahtera kesemestaan dikooptasi oleh sejahtera kelompok, oligarki, dan kaum borjuis.

Mereka menjelma menjadi minoritas yang mayoritas, yang terlalu lama lupa dan melupakan bahwa semua kuasa itu akan ada habisnya dan pastilah kembali kepada pemilik sahnya, inna lillahi wainna ilahi raji’un.

Prinsip strategis dalam tema sejahtera, selain diawali kata “memajukan” sebagai spirit utama Muhammadiyah dalam perisai Risalah Islam Berkemajuan, juga menjadi strategis jika tema ini hidup dan dihidupkan oleh semua warga persyarikatan.

Sebab, man ahyaha kaannama ahya an-nasa jami’a, “barang siapa yang memelihara seorang manusia, maka seakan-akan sedang memelihara kehidupan semua manusia.” (QS Al-Maidah: 32).

Kesejahteraan adalah menghidupkan dan dihidupkan. Ada hidup. Ada mati. Semua yang hidup akan mati.

Kematian sudah pasti sehingga tak usah minta mati atau berkata siap mati, atau mati-matian, sebab mati tanpa diminta atau kita lari menghindarinya, maka kematian itu pasti datang menghampiri bagi siapa saja.

Berbeda dengan hidup bahwa betul kehidupan adalah kuasa Allah, tetapi kehidupan ini bisa menjadi hidup akan sangat bergantung kepada orang-orang yang telah diberi hidup tadi.

Artinya, kita semua, termasuk kader-kader Muhammadiyah, wajib dan harus berjuang untuk menghidupkan kehidupan ini dalam makna menghidupkan nilai-nilai Islam sebenar-benarnya.

Kesejahteraan dalam kehidupan tidak hanya diukur dari aspek material, tetapi juga dari komitmen sadar dan sistematis untuk menghadirkan kader-kader terbaik yang mampu menjaga nilai-nilai kehidupan.

Hal itu diwujudkan melalui upaya terus-menerus untuk menghidupkan dan menjaga agama, memelihara jiwa (nafs), mengembangkan akal, melestarikan keturunan melalui proses kaderisasi, serta mengelola harta secara amanah.

Selain itu, kesejahteraan sejati juga tercermin dalam perlindungan terhadap lingkungan dan pemeliharaan seluruh aspek kehidupan lainnya.

Dengan demikian, perjuangan menegakkan kesejahteraan menjadi bagian dari misi peradaban dan amanah moral yang harus dijalankan secara berkesinambungan.

Sejahtera tetap strategis jika ada dalam proses hidup sampai proses itu berakhir. Di sinilah pentingnya hadir tenaga inti, pasukan terlatih plus terdidik, yakni manusia permanen, tak lain dan tak bukan adalah kader-kader Muhammadiyah yang akan terus membela agama, kemanusiaan, dan kesemestaan.

Ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian sebagai penutup agar para kaum pembaru tetap konsisten memperjuangkan kesejahteraan.

Pertama, perlawanan nyata terhadap mental block. Semangat menghidupkan kehidupan secara mendasar perlu diawali dengan cara berpikir besar berjiwa besar. Makna berpikir adalah kesadaran dan keinginan membaca pesan Ilahi, memahami alur, dan mencari hikmah di setiap kejadian.

Makna berjiwa tentu saja dimaknai sebagai beragama itu sendiri, yakni berislam yang progresif, dinamis, dan selalu inovatif dengan terus beradaptasi dengan arah zaman.

Adapun besar dalam makna pikiran dan jiwa lapang serta selalu mau bertumbuh berkembang, siap dikoreksi, dikritik, dan mengkritik, serta selalu siap berbagi ilmu dan amal kemajuan dalam bentuk nyata kepemimpinan yang melayani (servant leadershif).

Di sinilah pentingnya membuka mainset dalam mengidentifikasi diri dan organisasi tentang hambatan utama saat langkah dimulai. Mental block adalah keadaan umum sekaligus spesialis yang selalu menjadi ‘barrier’ ketika memulai amal.

Rasa tidak percaya diri, ragu, labil, mudah rapuh, merasa lemah, pesimis, sampai situasi reaksioner adalah anasir-anasir sikap mental yang senantiasa menggejala dan menggurita. Inilah yang paling awal untuk segera diatasi.

Landasan utamanya tentu saja iman dan takwa sebagai fondasi yang ditanam kuat dalam melahirkan ilmu, amal, dan tanggung jawab sosial secara universal.

Kedua, upaya memperkuat kesadaran kolektif. Hal berharga di saat manusia semakin terpolarisasi, terserak dimakan zaman, dan sebagian lagi tidak mampu melawan digitalisasi plus kultus manusia atas manusia lain. Di sinilah manusia permanen dituntut tampil mengembalikan khittah manusia seutuhnya.

Coba perhatikan pernyataan ini: “I am because we are“, sebuah filsafat Ubuntu (Afrika Kuno), bahwa seseorang adalah manusia melalui orang lain.

Makna dalam filosofi ini, hikmahnya adakah ruang untuk bisa maju dan berkemajuan jika hanya sendiri, lalu mengandalkan “aku”, ego sentrisme atau sekadar berkumpul dalam kelompok penyembah fanatisme buta?

Tentu tidak demikian. Terlebih bagi Muhammadiyah sebagai rumah besar dengan kekayaan sumber daya manusia, jangkauan wilayah yang luas, serta nilai-nilai utama yang berorientasi pada kemaslahatan semesta.

Dalam konteks sebesar ini, modal terpenting yang harus senantiasa dijaga adalah kebersamaan, keikhlasan, dan keluasan jiwa untuk bersikap inklusif dan konstruktif, dengan semangat pengorbanan sebagai landasan ruhiyahnya.

Berjalan bersama saja sudah menjadi tantangan, apalagi jika bergerak sendirian. Kebersamaan dengan satu visi tidak selalu mudah diwujudkan, terlebih ketika masih ada sikap yang berpura-pura loyal, hati yang tidak terikat dalam tujuan yang sama, dan keyakinan keliru yang terus dipertahankan.

Oleh karena itu, kesadaran kolektif menjadi kunci untuk menguatkan tekad memajukan kehidupan dan mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa ini.

Setiap zaman melahirkan pelakunya, dan setiap insan memiliki panggung waktunya. Ungkapan ini tampak sederhana namun sarat makna, mengajarkan kita untuk terus memelihara harapan, yakin pada masa depan, dan berupaya menghadirkan kesejahteraan sesuai kemampuan dan daya yang kita miliki.

Selamat Milad Muhammadiyah, gerakan milik kita semua; semoga limpahan berkah Ilahi senantiasa menyertai setiap langkah perjuangan kita.

*Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Garut

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button