Kabar Muhammadiyah Jawa Barat

Hisab vs KHGT: Merangkul Perbedaan dalam Menyambut Idulfitri

Oleh: Nashrul Mu’minin*
(Kader Muhammadiyah Lamongan & Content Writer Yogyakarta)

Sebagai seorang kader Muhammadiyah yang aktif menulis di Yogyakarta, saya kerap menerima pertanyaan menggelitik dari berbagai kalangan, terutama generasi muda: “Kenapa sih Muhammadiyah sering berbeda dengan pemerintah dalam menentukan Idulfitri?” Pertanyaan sederhana ini sebenarnya menyimpan khazanah keilmuan Islam yang sangat kaya, sekaligus menjadi cerminan dinamika pemikiran dalam tubuh umat Islam sendiri.

“Dua Metode, Satu Kebenaran”

Perbedaan penetapan Idulfitri antara Muhammadiyah dan pemerintah berakar pada dua pendekatan yang sama-sama memiliki dasar kuat dalam Islam. Muhammadiyah konsisten menggunakan metode hisab wujudul hilal, sementara pemerintah mengandalkan rukyat.

Allah SWT berfirman dalam QS. Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”

Ayat ini menjadi landasan filosofis bagi metode hisab yang digunakan Muhammadiyah. Sementara itu, hadis riwayat Bukhari-Muslim:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (Idulfitri) karena melihat hilal.”
menjadi dasar bagi metode rukyat.

“Perbedaan Kriteria yang Signifikan”

Muhammadiyah menggunakan kriteria hisab yang ketat:

  • Ketinggian hilal minimal 2 derajat
  • Umur bulan minimal 8 jam setelah ijtimak
  • Bulan harus telah terbenam setelah matahari

Sementara pemerintah melalui Kementerian Agama menggunakan kriteria rukyat yang berbeda:

  • Ketinggian hilal minimal 3 derajat
  • Jarak elongasi (sudut antara bulan-matahari) minimal 6,4 derajat
  • Mempertimbangkan visibilitas hilal secara global

“KHGT: Upaya Harmonisasi yang Terus Berkembang

Kriteria Hilal Global Terpadu (KHGT) muncul sebagai solusi untuk menyatukan berbagai metode. KHGT menggabungkan:

  1. Data astronomi modern yang presisi
  2. Konsensus negara-negara Islam
  3. Parameter visibilitas hilal global

Namun, Muhammadiyah tetap mempertahankan metode hisabnya karena beberapa alasan mendasar:

  1. Kepastian : Hisab memberikan kepastian jadwal ibadah jauh hari sebelumnya
  2. Konsistensi : Tidak tergantung pada kondisi cuaca atau geografis
  3. Keilmuan :Didukung oleh perkembangan astronomi modern
  4. Sejarah : Telah menjadi tradisi keilmuan Muhammadiyah sejak era KH Ahmad Dahlan

“Dinamika Pemikiran yang Sehat”

Perbedaan ini sebenarnya menunjukkan kekayaan intelektual dalam Islam. Sebagaimana dalam fiqh ada berbagai mazhab, dalam penetapan kalender pun ada berbagai pendekatan yang sama-sama memiliki dasar kuat.

Di era digital ini, perbedaan seharusnya menjadi media edukasi. Generasi muda bisa mempelajari:

  • Dasar-dasar astronomi Islam
  • Sejarah perkembangan hisab dan rukyat
  • Kontekstualisasi metode penetapan hilal di era modern

“Membangun Sikap Toleransi”

Sebagai kader Muhammadiyah, saya melihat ini sebagai momentum untuk:

  1. Memperkuat pemahaman keagamaan yang inklusif
  2. Menghindari sikap fanatik terhadap satu metode
  3. Mengedepankan ukhuwah islamiyah dalam perbedaan

“Pelajaran dari Sejarah: Warisan KH Ahmad Dahlan yang Tetap Relevan

Metode hisab yang dipegang Muhammadiyah sebenarnya merupakan warisan intelektual KH Ahmad Dahlan yang visioner. Pada awal abad 20, beliau sudah menyadari pentingnya memadukan ilmu agama dengan sains modern. Kini, di era satelit dan komputasi quantum, prinsip ini semakin terbukti kebenarannya. Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih terus melakukan penyempurnaan metode hisab dengan mengadopsi temuan astronomi terkini, membuktikan bahwa tradisi keilmuan Islam tidak pernah stagnan.

“Tantangan di Era Digital: Literasi Astronomi untuk Milenial “

Generasi Z dan milenial sering kali terjebak dalam debat tanpa dasar di media sosial tentang perbedaan Idulfitri. Padahal, ini adalah momentum emas untuk meningkatkan literasi astronomi Islam. Platform digital seperti aplikasi penghitung hilal, simulasi pergerakan bulan, atau webinar astronomi Islam seharusnya dimanfaatkan maksimal. Muhammadiyah melalui Lembaga Falakiyah-nya sudah mulai mengembangkan konten edukasi astronomi Islam yang kekinian, seperti filter AR untuk simulasi hilal dan podcast kajian falak.

“Menyongsong Masa Depan: Kolaborasi untuk Persatuan Umat”

Ke depan, diperlukan forum ilmiah yang melibatkan semua pihak – dari Muhammadiyah, NU, pemerintah hingga akademisi – untuk menyusun roadmap kalender Islam Indonesia. Kolaborasi ini bisa dimulai dari penyamaan database astronomi, standarisasi parameter hisab, hingga edukasi masyarakat. Dengan semangat “Bersatu dalam Ilmu, Beragam dalam Metode”, perbedaan penetapan Idulfitri bisa menjadi kekuatan kelemahan bagi umat Islam Indonesia.

Refleksi Akhir:
Perbedaan hisab dan rukyat adalah rahmat
Dua jalan menuju ridha Ilahi
Mari sambut Idulfitri dengan hati lapang
Sebab persatuan lebih berharga dari kemenangan pendapat

HarmoniDalamIjtihad #IdulfitriPenuhToleransi #GenerasiMudaPemersatu

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button