Kolom

Ganti Judi Online Jadi Sedekah Online

Oleh Muhsin MK

Dewasa ini negara Indonesia tengah disibukkan dengan masalah judi online (judol) yang menghebohkan luar biasa. Perjudian yang dilakukan melalui teknologi digital dan ternyata jauh lebih berbahaya. Dari pada judi manual (juman) yang selama ini hidup di dalam masyarakat Indonesia.

Bahaya judol dibandingkan juman lebih besar dampak kerusakannya. Ibarat penyakit kanker yang menyerang seluruh sendi tubuh manusia. Penyakit itu berakibat fatal, bisa cacat seumur hidup atau mati dengan penuh derita.

Sekurang kurangnya ada lima bahaya judol yang dapat dikemukakan di sini, sebagai berikut: Pertama, judol bersifat massal, karena dalam sekali main bisa melibatkan ratusan ribu bahkan jutaan orang penggemarnya.

Penggemarnya bukan hanya dari kalangan the have not atau rakyat jelata. Termasuk orang orang miskin dan sengsara. Melainkan juga kaum the have, orang berharta. Diantaranya anak anak sekolah, PNS, polisi dan tentara.

Kedua, merusak hubungan keluarga dan meruntuhkan rumah tangga. Diantaranya berdampak pada tindakan KDRT, perceraian, broken home, pembunuhan dan gangguan hubungan keluarga melanda mereka.

Karena judol ini, membuat suami istri bertengkar marah, karena uang gaji dan rekeningnya terkuras sia sia. Bahkan perceraian dan pembunuhanpun terjadi karenanya. Dampaknya, anak anak menjadi korban perbuatan orang tuanya.

Ketiga, menghancurkan iman dan agama. Keimanan dalam diri pelaku kian melemah dan tak ada pengaruhnya. Demikian pula agama yang dianut pun sama sekali tidak dipedulikannya. Karena dorongan hawa nafsu dan godaan syetan yang diikutinya.

Sesudah mengalami masalah yang kritis, barulah mereka ingat pada Tuhannya. Setelah harta bendanya terkuras habis barulah sadar tentang betapa pentingnya iman dan agama.

Jika mereka kembali mengingat agama lalu meninggalkan judol, maka itu lebih baik baginya. Namun bagaimana dengan sebaliknya. Bisa saja mereka justru memusuhi agama.

Keempat, dapat menimbulkan penyakit jiwa. Mereka yang kalah dapat menguras habis harta bendanya. Lalu mereka pun jatuh miskin dan tidak sanggup menjalaninya. Sedang iman dan agama yang lemah, bahkan tidak lagi diingatnya. Dampaknya mereka alami stres, depresi dan menjadi gila atau OGDJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa).

Judol semakin menggila akan memproduksi OGDJ atau orang orang gila baru. Judol merajalela dapat merusak jiwa dan pikiran manusia. Orang gila akibat judol dapat pula merubah hidupnya. Dari diri mereka normal, lalu menjadi ab normal dan gila atau OGDJ.

Kelima, menghancurkan sendi sendi dan tatanan negara. Negara dapat dikuasai oleh bandar dan mafia judol membuat ekonomi dikendalikan mereka. Bila bandar dan mafia judol yang berkuasa tentu dapatkan menjadikan negara, sosial, ekonomi dan politiknya lemah tak berdaya.

Bayangkan, triliunan uang rakyat dikeruk dan dikuasai mereka. Lalu dibawanya entah kemana. Jika rakyat menjadi miskin karena judi online ini, maka negara akan semakin bertambah bebannya. Belum lagi berkaitan dengan hutang hutang negara dari peninggalan presiden sebelumnya.

Keenam, menjadi ancaman agama dan ummatnya, yang taat dalam menjalankan tuntunannya. Agama yang selama ini dipandang sebagai benteng rakyat dan kekuatan negara juga dapat dilemahkan dan digerogoti lewat para pemeluknya. Realitasnya, pecandu judol diantaranya, juga orang orang yang beragama.

Memang bandar bandar judol tidak akan menyerang agama secara langsung dan terbuka. Apalagi mereka orang orang yang tidak perduli pada agama. Orang orang yang punya uang itulah  menjadi sasarannya. Apakah mereka miskin atau kaya.

Di samping itu mereka juga faham jika Indonesia yang menjadi obyek dan sasarannya. Bahwa mayoritas rakyat dan penduduknya adalah ummat beragama.

Jika semakin banyak penduduk Indonesia yang menjadi obyek judol, maka dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap agama. Para pemeluk agama penggemar judol itu bukan saja merusak dirinya. Melainkan juga, mereka merusak agamanya.

Sebab ajaran agama, apalagi Islam, dengan tegas melarang bermain judi (Al Baqarah:219, Al Maidah:90-91),

Baik secara tertutup maupun terbuka. Judol adalah permainan judi yang terbuka. Itu pun melalui aplikasi yang dapat diakses oleh siapa saja.

Belajar dari judol sebenarnya bisa dicegah jika negara memiliki kemauan baik (political Will) untuk memberantasnya. Persoalannya adalah, di dalam tubuh negara sendiri masih ada penghianat penghianat yang memanfaatkan mesin uang, ATM dan rekeningnya untuk menampung uang haram judol dengan sengaja..

Pemberantasan dan penangkapan yang sedang berproses saja justru telah membuka tabir dan kotak Pandora. Ternyata aparat dan pejabat negara tidak sedikit yang terlibat judol didalamnya. Karena itu usaha yang dilakukan penegak hukum dipandang masih belum menyentuh kelas kakap, tapi kelas teri pegawai biasa.

Melihat keadaan terebut pelakunya bukanlah pemulung, melainkan penjahat namanya. Pemulung sendiri mengambilnya secara terbuka dan terang terangan di tempat pembuangan sampah.

Baik itu mereka ambil di bak bak sampah di perumahan. Maupun di kendaraan pengangkut sampah dengan ijin pengemudi dan pekerjanya. Selain itu mereka juga mengambil dari velbak atau TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Semua diketahui petugasnya.

Umumnya pemulung tahu mana barang bekas yang sudah dibuang ke tempat sampah dan yang tidak. Pun yang belum dibuang walau bekas pakai.

Mereka pun tahu mana benda yang masih milik orang dan yang sudah menjadi limbah atau sampah dan tidak dipakai lagi oleh pemiliknya.

Mereka juga dapat memilih dan memilah barang barang dan benda benda yang bisa mereka bawa tanpa dicari dan diminta kembali oleh orang orang yang telah membuangnya.

Apalagi pemulung itu berusaha dengan sekuat tenaga menguras keringat hingga bercucuran, mengumpulkan barang bekas yang laku dan bisa dijadikan uang. Mengumpulkan gelas, botol plastik dan barang bekas lainnya bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan, serta cepat dapat menghasilkan uang.

Urgensi pendampingan pemulung

Permasalahan yang dihadapi komunitas pemulung dalam melaksanakan aktifitasnya beraneka ragam. Diantaranya yang dapat dilihat secara analitis realistis antara lain sebagai berikut:

Pertama, masalah ekonomi. Mereka menjadi pemulung karena faktor ekonomi dan lapangan pekerjaan. Mereka tidak punya pekerjaan lain. Bekerja pun harus memiliki keahlian atau ketrampilan. Di samping itu syarat pendidikan masih jadi syarat diterima suatu pekerjaan. Sedangkan pemulung umumnya tidak berpendidikan tinggi atau sarjana.

Belum lagi pemulung yang tidak dapat mencari pekerjaan yang layak dan terhormat karena mantan nara pidana yang pada tubuhnya bertato. Orang orang yang drop out sekolah dan broken home. Belum lagi mereka yang difabel dan berasal dari pedesaan yang melakukan urbanisasi ke kota.

Mereka mengalami kesulitan dalam mencari lowongan kerja dan pekerjaan. Karena butuh makan mendorong mereka antara lain menjadi pemulung. Dengan memulung minimal mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kedua, masalah sosial. Bagi yang sudah lama menjadi pemulung juga menghadapi kendala dalam upaya meningkatkan penghasilan dari pekerjaannya. Di samping masalah persaingan antar mereka. Setiap hari mereka bekerja hasilnya tidak bisa langsung dijual. Apalagi secara kuantitas barang yang didapatkannya sedikit.

Selain itu sikap masyarakat terhadap mereka yang masih cenderung merendahkan. Bahkan ada pula yang melihatnya dengan penuh kecurigaan saat mereka mengais rezeki di daerah perumahan.

Kehidupan mereka yang tinggal di lingkungan yang kumuh, sempit dan tidak sehat membuat mereka kurang menjaga kebersihan dan kesehatan. Belum lagi berkaitan dengan pergaulan hidup sesama mereka tanpa batas batas moral dan agama.

Hal ini membuat mereka terjebak dalam pergaulan bebas, perjudian, minuman keras dan aktifitas seksual tanpa ikatan perkawinan dan hubungan sejenis.

Ketiga, masalah hukum. Profesi pemulung tidak termasuk dalam salah satu jenis lapangan pekerjaan yang terdaftar secara hukum dalam hubungannya dengan tenaga kerja. Karena itu mereka tidak mendapatkan perhatian dan perlindungan hukum dari pemerintah dimana mereka berada.

Tempat tinggal dan rumah mereka yang biasanya dibangun di tanah tak bertuan sedemikian mudah untuk digusur tanpa ganti rugi. Penggusuran kampung pemulung tercatat dalam media mulai tahun 1992 di Surabaya (geotims.id). Sejak itu hingga tahun 2023 penggusuran kampung pemulung terjadi di Pasar Minggu, Jakarta. (news.detik.com).

Keempat, masalah agama. Pada umumnya mereka yang menjadi pemulung termasuk awam dan pengetahuan agamanya tidak mendalam. Walaupun mereka berasal dari desa desa yang agamis dan taat ibadahnya. Karena itu mereka adalah golongan yang rentan untuk dipengaruhi berbagai ideologi dan kepercayaan.

Mereka pun dapat menjadi obyek propaganda, misi, zending Kristen dan dakwah Islam. Walaupun demikian diantara mereka masih memiliki keperdulian pada ibadah agamanya.

Pendampingan Hukum dan Agama

Umumnya pemulung termasuk kelompok marjinal yang rentan dan lemah dalam menghadapi masalah, bulan hanya ekonomi saja, melainkan juga persoalan hukum dan agama.

Untuk menghadapi permasalahan hukum dan agama yang dialami komunitas pemulung, maka diperlukan realisasi program pendampingan yang konkrit di lapangan. Baik pendampingan di bidang sosial ekonomi, hukum dan keadilan, maupun di bidang moral dan Agama.

Khusus pendampingan di bidang hukum dan keadilan serta moral dan agama ini sedemikian urgen bagi komunitas pemulung. Urgensi keduanya ini antara lain dalam rangka membela mereka dalam menghadapi kekuasaan dan pihak lain yang melakukan tindakan kezaliman dan kesewenang-wenangan.

Di samping itu membentengi akhlak, keimanan dan keislaman mereka dalam masyarakat dan lingkungannya yang tidak luput dari tempat kemungkaran dan kemaksiatan.

Pendampingan Majlis Pengembangan Masyarakat (MPM) Muhammadiyah terhadap komunitas pemulung Makaryo Adi Ngayogyokarto (Mardiko) di TPA Piyungan, Bantul Yogyakarta misalnya. Juga Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) Abadijaya bersama Pimpinan Cabang Aisyiyah (PAC) Sukmajaya Kota Depok, yang menggarap pengajian anak anak pemulung di Lembah Abadijaya hingga saat ini.

Demikian pula dilakukan Muhammadiyah dan Aisiyah di daerah daerah lainnya. Semua ini wujud dari pendampingan pada komunitas pemulung.

Baik dalam rangka penguatan ekonomi dan masalah hukum (legal) mereka. Maupun dalam usaha memperkuat keimanan dan keislaman mereka, termasuk bagi anak anak keturunannya.

Selama ini pendampingan terhadap pemulung dan kelompok marjinal lainnya banyak dilakukan oleh berbagai organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Namun tidak semua pendampingan yang dilakukannya benar benar menyeluruh (integral) yang menyentuh aspek material, moral dan spiritual. Apalagi sampai urusan kematian, keyakinan agama dan akhirat.

Keterlibatan dan kehadiran Muhammadiyah Aisyiyah dan lembaga Islam lainnya dalam aktifitas pendampingan kepada komunitas pemulung dimanapun justru dapat menjadi alternatif penting dan utama.

Tentu bukan hanya dalam memecahkan berbagai masalah yang mereka hadapi di dunia ini. Melainkan juga dalam usaha menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat nanti. Wallahu ‘alam.

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button