Oleh: Yandi, Ketua PCM Ciawi-Tasikmalaya
Seorang kader menuturkan sudah setahun berlalu, namun hatinya masih belum sepenuhnya released menerima hasil Musyda.
Pimpinan terpilih yang telah dikukuhkan dan diambil sumpahnya dianggap cacat secara organisatoris karena diduga rangkap jabatan dengan organisasi lain.
Kecewa, kesal, dan jengkel menyelimuti hatinya karena segala masukan dan teguran tidak digubris.
Meskipun tetap menjalani rutinitasnya sebagai kader di pimpinan cabang, namun secara jujur diakuinya pasca Musyda semangatnya dalam bermuhammadiyah berada di titik nadir.
Kisah di atas membawa ingatan penulis pada seorang sahabat yang tak bisa menutupi rasa kecewanya dengan keputusan Buya Syafii Maarif karena tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai formatur dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di Malang.Â
Buya Syafii Maarif, sosok yang sangat dikaguminya, sebenarnya masih berpeluang untuk kembali memimpin PP Muhammadiyah, tapi kesempatan itu tidak diambilnya karena ingin memberikan kesempatan kepada kader yang lebih muda untuk tampil memimpin.Â
Kekecewaan pun berlanjut tatkala PP Muhammadiyah yang akhirnya dinahkodai oleh Din Syamsudin sebagai Ketua Umum terpilih merilis secara lengkap jajaran unsur pembantu pimpinan (UPP) yang  terkesan “bersih” dari kader yang dianggap sebagai bagian dari “circle” Buya Syafii yang sering diasosiasikan sebagai kelompok liberal di Muhammadiyah.Â
Nomenklatur majelis tarjih dan pengembangan pemikiran Islam (MT PPI) yang oleh pihak tertentu sering diplesetkan menjadi “pengambangan” pemikiran Islam diubah menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT).
Kekecewaan dan kemarahan para kader baru-baru ini merebak di mana-mana. Pemicunya tiada lain adalah soal izin usaha tambang (IUP) yang akhirnya setelah melalui forum musyawarah bernama “Konsolidasi Nasional” diterima oleh PP Muhammadiyah.Â
Hal ini menyebabkan silang pendapat yang cukup tajam di internal Persyarikatan antara yang pro dan kontra.
Berbagai bentuk reaksi berupa hujatan dan bullying mengalir deras di media sosial. Ada yang menuduh Muhammadiyah kini telah menjadi penjilat sama dengan yang lain. Â
Tokoh senior Amin Rais mengumpamakan Muhammadiyah telah menelan kail beracun dengan menerima tambang yang para pemainnya bandit tanpa moral.
Yang mengejutkan adalah munculnya “infiltrasi” gaya partai politik dalam menyikapi persoalan “ikhtilaf” tambang ini. Sebuah aksi demo digelar di depan kantor PP.
Muhammadiyah di Yogyakarta, yang diwarnai dengan pembakaran kartu anggota Muhammadiyah.
Hal yang hampir serupa terjadi di Trenggalek, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) melakukan konferensi pers dan menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan PP Muhammadiyah saat ini.Â
Muhammadiyah Berbasis Sistem
Muhammadiyah telah menorehkan kesuksesan dalam mengemban amanahnya sebagai organisasi dakwah. Kontribusi Muhammadiyah dalam membangun-meminjam istilah Zakiyudin Baidowi–praksis peradaban di berbagai ranah kehidupan yang didedikasikan untuk umat dan bangsa tidak ada yang meragukan.
Dengan kiprahnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan peran kemanusiaannya, Muhammadiyah tampil menjadi gerakan Islam terdepan.
Semua pencapaian Muhammadiyah yang mengantarkannya sampai pada level ini tidak terlepas dari adanya sistem yang menggerakan roda Persyarikatan, dari pusat sampai akar rumput.
Hal ini ditegaskan oleh ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir bahwa salah satu kekuatan Muhammadiyah terletak pada sistem organisasi yang mengikat seluruh anggotanya dalam sebuah Persyarikatan. Tempat kader bergabung dengan berbagai latar belakang, yang di dalamnya ada landasan, aturan, mekanisme, hingga syarat mengambil keputusan.
Pengkhidmatan seorang kader panduannya adalah sistem. Bukan pada figur atau tokoh tertentu yang menjadi panutannya.
Amanah sebagai pimpinan di Muhammadiyah dan di AUM hanya sampai dua periode. Setelah itu akan berganti seiring dengan kebutuhan sirkulasi dan regenerasi organisasi, sedangkan komitmen seorang kaderakan melekat selamanya sampai tarikan napas terakhir.
Jiwa Besar Kader
Tidak mudah memimpin ormas sebesar Muhammadiyah dengan prediksi total jamaahnya sekitar 40 juta orang, yang di dalamnya berkelut kelindan berbagai kecenderungan corak pemikiran. Jumlah kepalanya banyak, namun isi kepalanya jauh lebih banyak.
Dari tiga belas orang anggota pleno, bisa jadi terdapat lima belas pikiran dan pendapat yang berkembang, dan itu hal biasa terjadi di Muhammadiyah.
Karena itu dibutuhkan jiwa besar seorang kader dalam menyikapi silang pendapat di Muhammadiyah maupun AUM. Seorang kader yang hatinya luas dadanya lapang. Dia tangguh tidak “baperan” jika aspirasinya tidak didukung.Â
Komitmennya tak akan goyah hanya karena tidak sejalan dalam mengartikulasikan langkah bermuhammadiyah. Loyalitas kader selamanya embedded pada Muhammadiyah.Â
Disanalah cintanya yang tanpa reserve berlabuh, tulus murni dan ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah. Â
Menyikapi riuhnya persoalan tambang Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti memberikan klarifikasi yang disampaikan dalam acara Baitul Arqam (BA) di PCIM Britania Raya dan Irlandia Utara.Â
Menurutnya kader adalah person yang membela apa yang menjadi keputusan organisasi bukan membelot dari keputusan organisasi.
Selanjutnya Abdul Mu’ti menambahkan, dalam menyikapi perbedaan ini semestinya kader belajar dari Din Syamsudin.
Tokoh Muhammadiyah yang pada awalnya menentang, tapi akhirnya setelah Muhammadiyah memutuskan untuk mengambil tawaran itu dan memahami semua reasoning-nya dengan tegas menyatakan: “apa yang sudah diputuskan organisasi harus dilaksanakan.” Kalimat itu menunjukan sebuah kearifan, wisdom dan jiwa besar seorang kader.
Sebenarnya dalam mengelola “konflik” para kader bisa mengambil ibrah dari kisah perseteruan Buya Hamka dan Farid Ma’ruf yang terjadi pada tahun 1960.
Sebagaimana diketahui keduanya pernah terlibat perseteruan yang nyaris menimbulkan friksi di Muhammadiyah menyoal diangkatnya Mulyadi Djojomartono sebagai menteri sosial oleh Bung Karno.Â
Buya Hamka yang masih merasakan “luka” hati umat Islam akibat partai Masyumi dibubarkan Bung Karno berseberangan dengan Farid Maruf yang memandang posisi menteri akan memberikan benefit bagi kerja-kerja dakwah Muhammadiyah.
Namun friksi antara keduanya itu berakhir indah dalam sidang tanwir di Yogyakarta pada tahun yang sama.
Meskipun di awal acara seluruh peserta dibuat tegang dengan pernyataan pengunduran diri Farid Maruf yang dibalas dengan sikap yang sama oleh Buya Hamka.Â
Tidak lama berselang ada sebuah pemandangan dramatis dimana keduanya dengan jiwa besar saling memaafkan lalu berpelukan erat sambil menangis. Momen ini membuat para Musyawirin yang menyaksikan terhanyut dalam suasana yang mengharu biru.
Penutup
Ala kulli hal, sebagai kader jangan pernah kehilangan perspektif dalam bermuhammadiyah, dan selalu berpikir positif bahwa apa yang telah diputuskan pasti bagi kebaikan Persyarikatan dan kemaslahatan umat.
Ketidaksetujuan tidak lantas  disikapi secara berlebihan dengan membakar kartu anggota dan mosi tidak percaya kepada PP Muhammadiyah. Langkah kader seperti itu jelas kontra produktif dengan pola dasar gerakan Muhammadiyah.
Jika ditemukan perbedaan selama itu masih dalam bingkai Muhammadiyah sikapilah dengan jiwa besar. Hindarilah gesekan di antara kader, mari kita rawat perbedaan dengan penuh kearifan sebagai kekayaan khazanah yang menambah kematangan kita sebagai kader.Â
Lapangkanlah hati anggaplah riak-riak perbedaan itu sebagai “bunga-bunga” dalam bermuhammadiyah.
Wallahu ‘alam bishawab.