Oleh: Ace Somantri*
Bandung – Menarik untuk dicermati oleh para ilmuwan Indonesia, terutama praktisi pendidikan tinggi. Selama ini, pendidikan tinggi di Indonesia sangat didominasi oleh partisi yang terlalu membagi bidang dan rumpun ilmu secara ketat dengan tujuan utama untuk fokus pada ketercapaian keahlian tertentu.
Memang benar, ketika kita fokus pada disiplin ilmu tertentu, kita akan mendapatkan nilai-nilai keilmuan yang lebih khusus dan spesifik yang dikenal dengan spesialisasi. Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa hal tersebut begitu diwajibkan hingga menjadi keharusan akademik dalam lingkup pendidikan tinggi, baik secara institusional maupun individu? Hal ini sering kali menyebabkan parsialitas yang tidak integratif dan tidak komprehensif.
Contohnya dalam dunia pendidikan kedokteran, di mana ada dokter umum, dokter spesialis, dan dokter sub-spesialis. Anehnya, dalam beberapa kasus pemeriksaan pasien di rumah sakit, semakin spesialis seorang dokter, semakin terbatas pengetahuannya tentang bidang lainnya. Padahal, tubuh manusia adalah satu kesatuan yang saling terkait.
Begitu juga dengan pemberian nomenklatur istilah disiplin ilmu dalam berbagai bidang dan rumpun ilmu, sering kali terkesan berbeda padahal sebenarnya sama. Yang lebih parah, disiplin ilmu sains dan teknologi sering kali dianggap sangat berbeda dengan disiplin ilmu sosial dan humaniora, seperti air dan minyak yang sulit disatukan. Akibatnya, sering muncul arogansi antar ilmuwan dalam bidang dan rumpun ilmu masing-masing.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, sebenarnya kemunculan berbagai bidang ilmu memiliki titik singgung yang sama sehingga tidak ada dikotomi yang terlalu jauh. Perbedaan yang ada hanya pada paradigma yang dianut oleh masing-masing ilmuwan dalam mengembangkan keilmuannya. Hal ini terjadi ketika cabang-cabang dan ranting-ranting ilmu muncul yang sering kali menimbulkan egosentrisme dalam bidang ilmu, baik pada individu maupun kelompok ilmuwan.
Seharusnya hal ini tidak terjadi karena dampaknya tidak baik terhadap transformasi budaya ilmiah. Banyak hasil riset yang hanya menumpuk dan berhenti pada kertas, buku, serta jurnal untuk kepentingan pragmatis karir pribadi.
Hal ini menarik untuk disikapi dan direnungkan, terutama dalam artikel berjudul “Ke Mana Para Ilmuwan Kampus?” yang ditulis oleh Sulistiyowati Irianto. Tulisan tersebut secara lugas dan kritis memberikan kritik yang tajam kepada para ilmuwan, khususnya ilmuwan kampus yang terkesan sudah tidak lagi berada di jalur yang semestinya.
Mereka berlomba-lomba memenuhi syarat administrasi jabatan fungsional demi karir dosen, padahal amanat para pendiri bangsa menegaskan bahwa pendidikan tinggi adalah kunci cepatnya perubahan sebuah bangsa dan negara menuju kemajuan. Namun, di Indonesia, sistem pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sebagai kawah candra dimuka segala bidang ilmu, belum mampu melahirkan hasil riset ilmiah yang up to date dan mampu memprediksi kehidupan yang akan datang.
Termasuk dalam fenomena integrasi interdisipliner yang masif dan akseleratif, tidak lagi tabu atau merasa arogan bahwa cabang ilmunya lebih hebat dari yang lain. Cara berpikir dan berperilaku demikian bukan karakteristik ilmuwan sejati, melainkan perilaku seseorang yang mempertahankan nilai-nilai kejahiliyahan yang sudah usang.
Parsialitas dan dikotomi ilmu di masing-masing bidang selama ini telah menjadi sikap dan budaya yang tidak baik, tak ubahnya seperti “orang autis” yang tekun dan sibuk dengan keilmuannya sendiri tanpa mau mengenal keilmuan lainnya.
Tidak heran, budaya riset di Indonesia saat ini masih terjebak dalam cengkraman penjajahan riset yang berhenti pada template dan publikasi jurnal. Sementara output dan outcome dari setiap riset sering kali tidak lebih dari sekadar formalitas, dengan inovasi yang dikembangkan banyak yang tidak solutif dan berkelanjutan, hanya berganti-ganti lokasi riset dengan tema pokok yang tidak berubah substansial.
Autisme disiplin ilmu sudah lama menjangkiti, di mana masing-masing disiplin ilmu sibuk dengan entitasnya sendiri dan sangat jarang berkolaborasi lintas bidang. Banyak alasan yang dikemukakan, merasa sudah cukup dan kadang-kadang merasa lebih baik dari yang lain. Sekalipun banyak hasil riset atau penelitian, dampaknya terhadap kemajuan lingkungan sekitar tidak begitu terasa, dan ujung-ujungnya menyalahkan pihak lain.
Sementara hasil riset tidak dievaluasi secara jujur dan komprehensif, hanya untuk memenuhi tugas tri darma perguruan tinggi yang tercatat dalam sistem administrasi akademik kementerian terkait. Anehnya, kadang-kadang hasil riset-riset liar yang tanpa pakem justru banyak dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Alih-alih masyarakat terpelajar gemar mendirikan institusi pendidikan hingga perguruan tinggi, sangat jarang ada yang benar-benar mempersiapkan lulusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Selama ini, kesannya hanya meluluskan tanpa merancang dengan baik langkah apa yang sebaiknya diambil setelah tamat.
Para pejabat pengelola institusi sering kali hanya fokus pada kelancaran keuangan tanpa melakukan evaluasi yang baik dan benar terhadap kondisi lulusannya. Mereka puas dengan informasi lisan dan data seadanya bahwa para lulusan sudah bekerja. Mereka tidak peduli jenis pekerjaan tersebut atau apakah keilmuan dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan pekerjaan dan kesejahteraan yang diterima.
Tugas dan tanggung jawab seorang ilmuwan memang banyak, apalagi ditambah dengan beban administrasi yang sangat membebani. Saat ini, riset dan penelitian di Indonesia cenderung lebih menekankan pada tuntutan beban administrasi, bukan pada kebutuhan kemajuan dan peradaban. Konstruksi paradigma riset yang dikembangkan tidak kuat, hanya cukup melengkapi hasil riset orang lain yang lebih dahulu ditemukan atau dikembangkan.
Selain itu, masalah akar ilmu di bidang sains dan teknologi tidak dipelajari secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kurikulum yang dikembangkan di berbagai disiplin ilmu yang sering kali tidak mempelajari secara rinci epistemologi, ontologi, dan aksiologi dari cabang dan ranting ilmu tersebut.
Selain pemerintah yang kurang memahami dan peduli terhadap peradaban, mereka hanya menginginkan kelanggengan kekuasaan, jabatan mentereng, dan gelar-gelar sosial lainnya. Bahkan, jika ada hasil riset anak bangsa yang memiliki reputasi dunia, sering kali tidak dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Saat ini, kooptasi pemerintah terhadap kemerdekaan ilmuwan hampir tidak ada. Berbagai regulasi yang muncul justru memandulkan kreativitas ilmuwan dan generasi anak bangsa. Sebut saja pengembangan motor dan mobil listrik; sebelum teknologi ini ramai digunakan oleh masyarakat, anak bangsa sudah mengembangkannya secara mandiri namun berakhir tragis. Ironisnya, produk yang diperjualbelikan kepada rakyat Indonesia saat ini adalah karya bangsa lain.
Pertanyaan dalam artikel “Ke Mana Ilmuwan Kampus?” sangat beralasan. Ratusan hasil riset yang dipublikasikan hanya untuk memenuhi syarat kenaikan pangkat fungsional, bukan untuk menambah peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi.
Saatnya penggerak kampus di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berdiri di atas kaki sendiri dan melebarkan sayap ilmu dengan berkolaborasi lintas bidang dan rumpun ilmu tanpa batasan. Sinergikan dengan masyarakat sekitar untuk saling memanfaatkan setiap hasil karya karena terbukti ada beberapa desa yang maju pesat berkat kolaborasi dan sinergi kampus dengan pemerintah desa.
Bangunlah yang berselimut! Masyarakat terdekat menunggumu. Hilangkan sikap dan perilaku “autisme disiplin ilmu” yang hanya menambah dan menumpuk hasil riset yang tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Keprihatinan dan kekhawatiran muncul terhadap ilmuwan kampus yang dianggap tanpa arah, sebagaimana diungkapkan dalam artikel Sulistiyo di media Kompas. Kesadaran kita tergugah, malu dan merasa diri tidak berdaya meskipun memiliki sederet gelar akademik, tetapi miskin pembaruan dalam pemberdayaan umat dan masyarakat untuk kemajuan.
Setiap tahun, puluhan ribu lulusan sarjana lahir dari rahim kampus, tetapi kritik tajam membuat gedung-gedung megah kampus bergetar tanda malu terhadap kehidupan nyata. Bagi yang menyadari, ini menjadi alarm penting, sementara yang masih tidur lelap akan terus mengalami autisme berkepanjangan. Akibatnya, keberadaan kampus akan mati dimakan rayap-rayap autisme dan egoisme para ilmuwan dan bukti menunjukkan satu per satu kampus mulai berguguran.
Ada harapan besar bahwa konsep “kampus merdeka” benar-benar merdeka tanpa intervensi dan penetrasi politis pragmatis yang hanya mengeksploitasi masyarakat, seperti kontroversi rencana kenaikan UKT beberapa waktu lalu. Bukan heboh tentang peningkatan jumlah dan kualitas riset aplikatif yang mengubah masyarakat sekitar.
Diharapkan sinergi antara berbagai pihak, baik industri skala kecil hingga besar serta kolaborasi dengan pemerintah setempat, menjadi benar-benar genuin dengan program dalam skala proyek besar yang mampu mengubah situasi dan kondisi masyarakat secara signifikan. Ini sekaligus mempersempit tradisi penggunaan anggaran negara yang hanya sekadar terserap. Jika saat ini ada kolaborasi, sering kali hanya syarat, dengan anggaran fokus pada penguatan jejaring pengamanan politis yang terbatas dan tertutup. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar