*Oleh: Dr. H. Yana Fajar FY. Basori, S. Ag., M
UUPA No. 5/1960 Diundangkan pada 24 September 1960, UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, atau UUPA, menjadi penanda perombakan total dari sistem agraria kolonial Belanda menyatukan dan menyederhanakan hukum pertanahan terutama yang didasarkan pada hukum adat, dan jaminan kepastian hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat. UUPA adalah penegasan bangsa Indonesia atas kekayaan sumber-sumber agraria yang dimilikinya.
UUPA merupakan Upaya menyempurnakan kemerdekaan Indonesia yang secara politik telah dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Bukankah kemerdekaan ini diperjuangkan agar bangsa Indonesia dan seluruh rakyatnya bisa berdaulat menikmati kekayaan agrarianya secara berkeadilan? Sebagai jalan bangsa ini mencapai kemakmurannya?
Kebijakan Land Reform
Kebijakan Land Reform merupakan upaya sungguh-sungguh menangani penataan ulang kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah.
Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan peraturan yang seluruhnya mengatur tentang pelaksanaan Land Reform seperti UU No. 1/1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, UU No. 2/1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 56 Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 224/1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian.
Arah politik agraria Indonesia pada masa awal kemerdekaan adalah menghilangkan sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme untuk memberi jalan bagi sistem ekonomi nasional bekerja atas prinsip Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, ‘Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.
Land Reform fokus pada urusan membatasi penguasaan tanah-tanah pertanian rakyat, melarang penguasaan tanah swapraja dan tanah-tanah guntai, redsitribusi tanah-tanah negara dan pengaturan bagi hasil.
Land Reform kemudian bergeser dari agenda bangsa untuk mewujudkan keadilan agraria berubah menjadi isu politik yang membelah pengelompokkan sosial-politik dan membuat perebutan tanah menjadi basis dari pertarungan di pedesaan Jawa, Bali, sebagian Sumatra dan sebagian Nusa Tenggara, termasuk dengan melibatkan aksi-aksi sepihak, pembunuhan massal, penangkapan dan pemenjaraan puluhan ribu rakyat yang digolongkan komunis.
Menurut Farid (2005) keseluruhan rangkaian kekerasan itu perlu dimengerti sebagai bagian dari primitive accumulation, proses awal kembalinya kapitalisme bekerja di Indonesia. Hal serupa dikemukakan oleh Sam Moyo (2011) untuk proses the destruction of African peasantries
Politik agraria Orde Baru tertuju kepada kebijakan ‘tanah untuk pembangunan’, ‘an open for investment policy’ yang memberikan ijin pada investor asing dan domestik memanfaatkan alokasi tanah untuk bisnis kehutanan, pertambangan, perkebunan.
Menurut Kartodihardjo (2011) UUPA tidak sepenuhnya dijadikan dasar pedoman peraturan perundang-undang untuk sumber-sumber agraria. Politik agraria Orde Baru ditandai dengan tiga kebijakan, pertama pelaksanaan agenda land reform hanya berhenti pada masalah teknis administratif, kedua pengingkaran atas keberadaan kebijakan pokok yang mengatur masalah agraria di Indonesia yang termaktub dalam UUPA No. 5/1960 dan UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, dan ketiga menghapuskan legitimasi partisipasi dari organisasi massa rakyat tani dalam proses pelaksanaan agenda landreform di Indonesia.
Kebijakan tersebut tertuang di dalam beberapa kebijakan yang dikeluarkan seperti UU Republik Indonesia No.15/1997 tentang Ketransmigrasian, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya.
Orde Baru perlahan meminggirkan UUPA dengan mengabaikan ketentuan yang tidak sejalan dengan kepentingan Orde Baru, menghapus ketentuan alat perlengkapan reforma agraria, selain menghidupkan stigma komunis bagi pejuang reforma agraria.
UUPA menjadi disfungsional dengan terbitnya berbagai peraturan yang memecah pengaturan sumbersumber agraria Indonesia. Politik agraria ‘tanah untuk rakyat’ (land for the people), dan ‘tanah untuk penggarap’ (land to the tiller) yang dijalankan melalui land reform, berubah menjadi sekedar perbaikan administrasi pertanahan dan rutinitas pekerjaan administratif, pemetaan dan pendaftaran sertifikasi tanah, serta memberi jalan bagi kemudahan pengalihan hak atas tanah.
Secara bersamaan legislasi sektoral atas ekstraksi sumberdaya alam mengeluarkan areal tanah yang termasuk dalam kawasan hutan dari ketentuan UUPA sekitar 70% dari total daratan Indonesia. UUPA 1960 dibajak oleh Undang-Undang No. 5/1967 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang memfasilitasi pemberian ijin usaha pertambangan.
Dengan konfigurasi politik-ekonomi seperti itu prinsip ’hak menguasai negara’ ditafsir-praktekkan sebagai ‘hak memiliki negara’ atau dengan sebutan ‘tanah negara’ dengan maksud ‘hak milik negara’. UU No. 5/1967 tentang Kehutanan persis mencerminkan prinsip ‘domein verklaring’ sebagaimana regulasi kolonial tentang Undang-Undang Kehutanan 1927 dan Peraturan Kehutanan 1932.
Kebijakan Pembaruan Agraria
Kebijakan Pembaruan Agraria Krisis ekonomi 1997-1998 berkontribusi pada perubahan dramatis rezim politik. Dikepung oleh masalah perekonomian domestik yang akut dan tekanan internasional yang kuat, Soeharto tidak bisa lagi mempertahankan kekuasaannya. Fragmentasi di dalam lingkaran dalam pendukungnya menyediakan suatu peluang bagi gerakan oposisi untuk menjungkalkan Soeharto.
Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dan setahun berikutnya, pemilu demokratis pertama digelar, yang menandai dimulainya proses demokratisasi politik setelah lebih dari tiga dekade represi rezim otoriter. Demokratisasi yang dibarengi dengan liberalisasi ekonomi, dengan deregulasi dan privatisasi untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.
Tuntutan dari gerakan agraria untuk mendorong peninjauan kembali perundang-undangan warisan Orde Baru yang berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber agraria, serta menyelesaikan warisan tumpang tindih ketentuan dan peraturan yang terkait dengan UUPA.
Akhirnya bermuara pada lahirnya TAP MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang akan memayungi pembentukan peraturan dan ketentuan yang mengakhiri konflik agraria, praktik pembelaan hak-hak petani, maupun memperkecil ketimpangan struktur kepemilikan dan pemanfaatan lahan.
Presiden Abdurachman Wahid (1999-2001) menyatakan hendak membagi tanah perkebunan yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara, yang belum sempat direalisasikan. Mandat land reform yang diingatkan kembali di masa Presiden Megawati melalui Tap MPR No. IX Tahun 2001 juga mengalaimi kemandegan, Pemerintah Megawati Soekarnoputri (2001-2004} cenderung untuk meneruskan perspektif Bank Dunia melalui Proyek Administrasi Pertanahan, bahwa masalah serius pertanahan adalah tanah yang tidak produktif akibat spekulasi, serta kecilnya prosentase tanah-tanah yang telah bersertifikat yang diyakini jadi penyebab utama dari maraknya konflik maupun sengketa pertanahan.
Pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) memberikan harapan dengan mencantumkan pelaksanaan reforma agraria (Bahasa Spanyol) yang diterjemahkan dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (2006) yang disebuit oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) ‘hanya janji manis rezim SBY, tidak ada komitmen yang jelas untk melaksanakannya’. Penggiat lingkungan hidup dan agraria menyebut PPAN sebagai ‘reforma agraria palsu’, selain tidak sama dengan reforma agraria.
Sertifikasi tanah dalam sejarahnya, dinilai lebih menguntungkan petani kaya yang telah memiliki tanah atau investor yang berkehendak untuk melakukan akumulasi kekayaan secara mulus. Secara implisit sertifikasi tanah juga mengandung tujuan ideologis untuk melegitimasi gagasan hak kepemilikan pribadi.
PPAN berencana meredistribusi 9,5 juta hektare tanah yang terdiri atas 1.1 juta hektare tanah yang ditetapkan sebagai objek lan reform menurut ketentuan yang erlaku, serta 8,15 juta hektare lagi merupakan tanah yang berstatus kawasan hutan produksi. si konversi Hingga satu dekade pemerintahan SBY berakhir, ketentuan terinci tentang reforma agraria dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang reforma agraria seperti yang telah dijanjikan
Kebijakan Reforma Agraria (Agrarian Reform)
Kebijakan Reforma Agraria (Agrarian Reform) Upaya mempertemukan gagasan pembaruan agraria dan pengelolan sumber daya alam yang berkedi adilan dan berkelanjutan mendorong konsolidasi gerakan lingkungan hidup dan agraria untuk menempatkan agenda reforma agraria (agrarian reform) pada pemerintahan Jokowi sebagai agenda utama pertanian. Tuma (1965), menunjukan ‘reforma agraria’ (agrarian reform) dengan pengertian yang lebih luas meliputi land tenure reform dan land operation reform dari sekedar land reform yaitu ‘redistribusi tanah’.
Menurut Wiradi (1984), reforma agraria merujuk pada perubahan struktur agraria yang berkeadilan yang melampaui pengertian land reform. Reforma agraria sejati dicirikan pertama berdasarkan ‘tujuan’ yaitu menghilangkan atau sedikitnya mengurangi ketimpangan struktur/susunan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan; kedua, ‘program’ reforma.
agraria adalah bukan ‘kerja rutin’; ketiga, tahapan awal pelaksanaannya bukan ‘sertifikasi’ tanah, yang justru merupakan tahap akhir, tetapi ‘registrasi’ untuk memperoleh gambaran tentang tingkat ketimpangan penguasaan lahan; dan keempat, tanah objek reforma agraria yang utama adalah ‘surplus land’, yaitu luasan tanah yang dipotong dari tanah yang luasnya melampaui batas maksimum yang ditetapkan UU.
Menurut Saluang, Surya (2019: 314- 3432), bersama Sediono Tjondronegoro, GWR (1984) menerbitkan buku Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, yang memperkenalkan istilah ‘reforma agraria’ (agrarian reform) untuk pertama kalinya, yang dibedakan maknanya dari land reform. Penelusuran GWR menemukan bahwa sejak 1880 ‘reforma agraria’ adalah land reform ditambah dengan program penunjang.
Inti reforma agrarian adalah land reform atau melakukan land reform saja tanpa program penunjang, masih bisa disebut sebagai reforma agraria. Sebaliknya jika hanya program penunjang tanpa land rerform tidak dapat disebut reforma agraria.
Prioritas Presiden Jokowi dalam Nawacita menegaskan reforma agraria menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan dalam kesatuan enam aspek, yaitu penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agrarian, penataan penguasaan dan pemilikan tanah obyek reforma agrarian, kepastian hukum dan legalisasi hak atas tanah objek reforma agrarian, pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah obyek reforma agraria, pengalokasian sumberdaya hutan untuk dikelola oleh masyarakat, dan kelembagaan pelaksana reforma agraria pusat dan daerah. Tanah yang menjadi obyek reforma agraria (TORA) berasal dari 4,1 juta hektare area hutan, dan 4.9 juta hektar area non-hutan.
Warisan Nawacita Catatan Akhir Tahun 2023 KPA, menuliskan judul laporan tahunannya: ‘Dekade Krisis Agraria: Warisan Nawacita dan Masa Depan Reforma Agraria Pasca Perubahan Politik 2024’. KPA menguraikan secara komprehensif catatanya, yaitu: tentang Lokasi Prioritas Reforma Agraria, Reforma Agraria tanpa penyelesaian konflik agraria, tidak mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah, tidak ada reform di Kawasan Hutan, tiada reform terhadap konsesi perkebunan, tidak ada reform di Wilayah Pesisir, Pulau Kecil, dan Laut, tidak ada reform bagi pengakuan wilayah adat, masalah agraria dan migrasi perempuan pedesaan, bencana ekologis akibat kegagalan reforma agraria, impor pangan terus mengalir, dan gagal berdaulat pangan.
Edisi Khusus Tempo 10 Tahun Jokowi (29 Juli-4 Agustus 2024) menulis judul, Nawadosa Jokowi. Selama dua periode memimpin Indonesia, Jokowi meruntuhkan demokrasi dan harapan-garapan reformasi. Nawacita menjadi bencana yang berlipat ganda.
Tempo mencatat 18 dosa Jokowi sebagai berikut: Dinasi dan oligarki politik, pelemahan institusi demokrasi, TNI di ranah sipil, konflik Papua tak kunjung padam, runtuhnya sistem pendidikan, watak patron-klien kepolisian, politisasi kejaksaan, pelemahan KPK, kegagalan menangani pelanggaran HAM berat, karut-marut mengelola APBN, runtuhnya independensi Bank Indonesia, pemaksaan IKN, ketergantungan pada utang Cina, gimik diplomasi politik luar negeri, keruksakan lingkungan, konflik agraria, kriminalisasi atas nama PSN, kebesan sipil yang menyempit.
Warisan yang diperoleh bangsa saat ini adalah sebahagian dari tanah air yang porak poranda dan berada dalam situasi krisis sosial ekologi sehingga keutuhan fungsi-fungsi faal ruang hidup terganggu, tidak ada jaminan keselamatan dan kesejahteraan bagi petani tidak bertanah, dan produktifitas rakyat yang rendah. Reorganisasi ‘ruang hidup’ yang memerdekakan dan berkeadilan adalah niscaya.
Kebijakan Reforma Agraria (Agrarian Reform)
Refleksi 64 Tahun Hari Tani Hari Tani 24 September 2024 hanya menyisakan beberapa pekan untuk pelantikan Presiden-Wakil Presiden terpilih. Berdasarkan dokumen pemaparan visi dan misi Calon Presiden/Calon Wakil Presiden, dapat dipahami, Pilpres 2024 melahirkan rezim pelanjut kebijakan reforma agraria pemerintahan sebelumnya.
Memperbaharui hutang Bank Dunia untuk percepatan reforma agraria, peraturan dan kelembagaan yang berpihak pada kaum pemodal, fokus pada sertifikasi, dan tentu saja mengikuti logika perbankan.
Program pembentukan ‘petani keluarga’ dengan penguasaan dan pemilikan lahan kecil, atau program ‘regenerasi petani’ untuk memastikan swasembada pangan, mungkin sulit diwujudkan.
Motivasi seluruh aktor gerakan agraria perlu terus diperbaharui. Kesadaran etik amanah dan adil perlu terus diperkuat. Soliditas gerakan organisasi rakyat petani, akan terus diuji.
Terus mengembangkan pengetahuan, data dan fakta pengurusan reforma agraria, atau berhenti bergerak? Kelompok sarjana-aktivis perlu memperkuat gerakan penyadaran sistemik yang mendekatkan pada bentuk-bentuk kongkrit refoma agraria sejati. Kajian terhadap permasalahan sumber-sumber agraria terdekat, perlu dan penting diselenggarakan dengan cara-cara yang menggembirakan.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 169/1963 tentang Hari Tani, ditetapkan sama dengan tanggal pembentukan UUPA yaitu, 24 September, dan diperingati secara nasional sebagai bagian dari pengakuan dan penghargaan yang tulus terhadap perjuangan rakyat petani dalam memerdekakan RI. 64 tahun Hari Tani, 24 September 2024, menjadi momentum untuk melakukan refleksi, memperhatikan kembali kiblat perjalanan bangsa dalam mengurus sumber-sumber agraria, seperti telah diuraikan.
Mengemukakan pertanyaan-pertanyaan: Apakah rakyat tani sudah makmur melalui penguasaan dan pemilikan tanah yang berkeadilan? Apakah keadilan sudah benar-benar dinikmati oleh seluruh golongan rakyat? Terutama mereka yang selama ini hidup dan penghidupannya bergantung pada tanah dan sumber-sumber agrarian? Wallahu a’alam.