Oleh: Muhsin MK
Pemuda Muhammadiyah itu badan otonom persyarikatan yang diharapkan menjadi kader dan penerus kepemimpinannya.
Di organisasi ini ditanamkan jiwa fastabiqul khairat, berlomba lomba dalam berbuat kebaikan. Bahkan dalam kaderisasi kepemimpinannya disampaikan tentang trilogi kader. Sebagai kader Muhammadiyah, kader umat, dan kader bangsa.
Sebagai kader Muhammadiyah diharapkan menjadi pemimpin Muhammadiyah di kemudian hari. Seperti yang dicontohkan oleh KH Azhar Bashir dan Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Selain itu, yang aktif di PP Muhammadiyah adalah Fachrurrazi, Lukman Harun, Sutrisno Muchdam, Habib Chirzin, Hajriyanto Thohari, Abdul Mufti, Imam Addaruquni, dan Izzul Muslimin.
Sedikit sekali yang menjadi kader umat, diharapkan menjadi pemimpin umat Islam, baik nasional maupun internasional. Ini juga dialami oleh Din Syamsuddin yang pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Lukman juga pernah menjadi pengurus MUI Pusat. Din bersama seniornya, Lukman dan Habib Chirzin, juga aktif dalam aktivitas dunia Islam. Selain itu, Imam Addaruquni di PP Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Ternyata cukup banyak yang menjadi kader bangsa dengan masuk dalam pemerintahan pada eksekutif dan legislatif. Mulai dari Fachrurrazi (Ketum ke 3) yang pernah menjadi Anggota DPR MPR GR 1966-1971 dan DPR MPR RI 1971-1977.
Kemudian Lukman Harun (Ketum ke 4) menjadi Anggota DPR MPR GR 1966-1971, DPR MPR RI (1997-1999). Sutrisno Muchdam (Ketum ke 5 & 6) menjadi pejabat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Din Syamsuddin (Ketum ke 8) juga pernah jadi Dirjen Depnaker RI (1998-2000).
Lalu, Hajriyanto Thohari (Ketum ke 9) Anggota DPR MPR RI 1997-1999, 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan Duta Besar di Lebanon (2019-2024). Imam Addaruquni (Ketum ke 11) Anggota DPR MPR-RI (1999-2004), Saleh Partaonan Daulay (Ketum ke 12) Anggota DPR MPR RI (2014-2019, 2019-2024), Daniel Simanjuntak (Ketum ke 13) menjadi Jubir Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI, dan Sunarto (Ketum ke 14), Jubir Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Mengapa elite Pemuda Muhammadiyah lebih tertarik menjadi kader bangsa dan masuk dalam pemerintahan eksekutif dan legislatif? Tentu ada yang menarik dan menggiurkan mereka. Bukan karena kursi empuk dan uang menumpuk.
Namun, kedudukan, fasilitas, dan penghormatan duniawi yang menggoda iman. Karena itulah yang menjadi perebutan pemimpin sebagai Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah di tingkat pusat antara kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah dalam perjalanan sejarahnya memang menjadi ajang perebutan kepentingan politik.
Baik dari para alumninya yang sudah sukses sebagai kader bangsa maupun yang ingin menjadikan kepemimpinannya sebagai batu loncatan.
Hal itu terjadi pada saat diselenggarakannya Muktamar Pemuda Muhammadiyah ketika pemilihan Ketua Umumnya.
Apalagi pada era reformasi ini kecenderungan Pemuda Muhammadiyah menjadi kader bangsa lebih besar setelah melihat contoh dari mantan ketua umumnya yang dipandang sukses.
Di kalangan sebagian kader Pemuda Muhammadiyah, apalagi dari kalangan papa, memang mengalami krisis idealisme setelah kecenderungan mantan ketua umumnya kepada aktivitas politik praktis dan pragmatisme.
Karena itu diikuti oleh para junior dan penerusnya. Hal ini dapat dilihat dari sikap dan hubungan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah terhadap presiden dan pejabat pemerintah. Mereka sudah tidak kritis lagi dan berusaha mencari simpati.
Walau tidak perlu dikhawatirkan karena kader Muhammadiyah tidak hanya dari Pemuda Muhammadiyah saja.
Namun, sikap praktis pragmatisme ini akan berdampak buruk kepada pergerakan Pemuda Muhammadiyah ke depan. Setidaknya lama kelamaan membuat Pemuda Muhammadiyah tidak menarik lagi bagi generasi muda Islam untuk berkecimpung di dalamnya.
Apalagi generasi muda Islam dewasa ini lebih cenderung untuk mendalami ajaran Islam secara baik lewat kajian dan taklim, bukan organisasi. Hal yang tidak mungkin mereka dapatkan dari Pemuda Muhammadiyah.
Itulah sebabnya pengaruh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Indonesia yang menjelma menjadi partai dan sayap organisasinya yang mulai menyaingi persyarikatan di bidang pendidikan dan sosial.
Pendidikan Islam terpadu bagian dari konsep dan gerakannya, termasuk beberapa lembaga zakat yang dikelola kader kader militannya.
Pengaruh Hizbut Tahrir (HT) dan Salafiyah juga cukup deras di kalangan generasi muda, termasuk anak-anak dari keluarga besar Muhammadiyah. Tak terkecuali di dalam tubuh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).
Apalagi usaha kader ideologis IM, HT, dan jamaah kajian Salafi masuk ke masjid-masjid dan tubuh persyarikatan di tingkat ranting dan cabang.
Hal ini dapat menjadi penghalang gerakan Pemuda Muhammadiyah, baik secara organisatoris maupun aktivitasnya dalam masyarakat.
Namun, seleksi Allah dan alam tentu tidak akan berpengaruh besar pada gerakan Muhammadiyah yang berusaha untuk istikamah dalam tataran perjuangan ideologis dan islamis ketimbang praktis pragmatisme. Pasalnya, kader persyarikatan bukan hanya dari Pemuda Muhammadiyah.
Ada kader yang lebih lama mengikuti proses pengkaderan dalam persyarikatan di antaranya Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). IPM dibandingkan dengan IMM dan Pemuda Muhammadiyah jauh lebih solid dan real kaderisasinya dari bawah ketimbang kedua ortom persyarikatan tersebut.
Namun demikian, Muhammadiyah dan Aisyiyah perlu senantiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada angkatan mudanya.
Berikan teguran bila IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Tapak Suci Putera Muhammadiyah, Komando Kesiapsiagaan Muhammadiyah (Kokam), dan Pandu Hizbul Wathon (HW) melangkah terlalu jauh, seperti menjadi satpamnya presiden atau pejabat pemerintah.
Dari kalang Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) lainnya juga bisa saling menolong dan mengingatkan agar tidak mengedepankan kepentingan individual daripada persyarikatan, apalagi perjuangan Islam. Wallahu ‘alam.***