
Bandung — Di tengah kehidupan masyarakat yang seharusnya dihiasi nilai-nilai luhur, muncul fenomena yang mencoreng martabat kemanusiaan: kasus pelecehan seksual oleh ayah terhadap anak kandungnya sendiri yang masih di bawah umur. Fenomena ini tersurat dalam kasus Fantasi Sedarah.
Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah seorang ayah sebagai pendidik, pemelihara, dan pelindung keluarga. Islam dengan tegas menempatkan ayah sebagai pemimpin rumah tangga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keamanan keluarganya.
Rasulullah SAW bersabda, “Masing-masing kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya…” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa seorang ayah bukan hanya penanggung jawab materi, tetapi juga moral dan spiritual keluarganya. Ia adalah pagar pelindung yang seharusnya menjaga anak-anaknya dari segala bentuk kerusakan, bukan justru menjadi perusak.
Namun, realitas yang kita saksikan begitu memilukan: seorang ayah yang seharusnya menjadi pelindung justru menghamili anak perempuannya sendiri. Tindakan ini mencerminkan kerusakan moral yang sangat parah.
Tindakan sedarah semacam ini tidak dapat diterima oleh akal sehat, agama, maupun adat istiadat. Dalam pandangan Islam, hubungan antara ayah dan anak perempuannya adalah ikatan suci yang dibangun atas kasih sayang, perlindungan, dan pendidikan.
Seorang ayah yang normal tidak akan memandang anak perempuannya dengan nafsu, karena ia adalah darah dagingnya sendiri. Al-Quran dengan tegas melarang perbuatan keji, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Isra ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS Al-Isra: 32).
Zina, apalagi dengan anak kandung, adalah dosa besar yang tidak hanya menghancurkan hubungan keluarga, tetapi juga merusak tatanan masyarakat.
Lebih jauh, Rasulullah SAW telah memperingatkan umatnya tentang bahaya berkhalwat (berduaan) dengan lawan jenis yang bukan mahram, sebagaimana sabdanya:
Dari Uqbah bin Amir [diriwayatkan] bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah berkhalwat (berdua-duaan) dengan perempuan.” Maka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang kerabat suami?” Beliau menjawab, “Kerabat suami itu (menyebabkan) kematian.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan larangan berduaan dengan perempuan yang bukan mahram karena dapat menjerumuskan ke dalam perbuatan keji. Meskipun anak perempuan adalah mahram bagi ayahnya, hadis ini mengingatkan bahwa menjaga batasan dan akhlak adalah kunci untuk mencegah penyimpangan.
Tindakan seorang ayah yang melecehkan anaknya menunjukkan bahwa ia telah kehilangan akal sehat dan akhlak mulia. Orang seperti itu menjadikannya pribadi yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.
Kasus ini mencerminkan krisis moral yang mendalam di masyarakat. Tidak ada agama, budaya, atau nilai kemanusiaan yang membenarkan tindakan semacam itu. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dari semua elemen masyarakat dari ulama, pemerintah, tokoh masyarakat, hingga individu, untuk mencegah meluasnya fenomena ini.
Pendidikan agama yang kuat, pengawasan sosial, dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi langkah nyata untuk melindungi generasi muda dari ancaman predator dalam keluarga sendiri.
Terkahir, Islam mengajarkan bahwa keluarga adalah benteng utama dalam membangun masyarakat yang bermartabat. Seorang ayah harus menjadi teladan dalam menjalankan amanahnya sebagai pemimpin, bukan perusak yang menghancurkan masa depan anak-anaknya.
Firman Allah dalam Surah At-Tahrim ayat 6 mengingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At-Tahrim: 6).
Marilah kita bersama-sama menjaga amanah ini, memperkuat nilai-nilai agama dan moral, serta melindungi generasi kita dari kehancuran akibat perbuatan keji yang tidak berperikemanusiaan. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk dan kekuatan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.***
Sumber: muhammadiyah.or.id