
Oleh: Yandi*
SEBAGAI kader yang bukan pemuda lagi, sebenarnya penulis tidak ingin “nimbrung” mengenai urusan kader-kader muda, termasuk soal Musywil Pemuda Muhammadiyah (PM). Biarlah itu menjadi urusan para pemuda, dari awal hanya berharap dan berdoa semoga Musywil berjalan dengan lancar dan sukses.
Namun, tiba-tiba seorang kawan aktivis mengirim video yang berisi rekaman suasana Musywil ke-18 PWPM Jabar yang di selenggarakan pada tanggal 21-22 Desember 2024 lalu di Universitas Muhammadiyah Bandung.
Setelah menyimak video tersebut, ada semacam dorongan adrenalin untuk menulis catatan ringan ini. Dalam video yang berdurasi 52 detik itu tampak jelas bagaimana jalannya musyawarah yang tidak terkontrol dan penuh emosi. Para peserta saling tunjuk dan berteriak-teriak sambil membanting kursi, tak ubahnya tawuran antar suporter sepak bola.
Sebagai orang tua, penulis kecewa dan prihatin melihat sepak terjang kader muda dengan “behavior” seperti itu. Sebuah forum permusyawaratan yang melibatkan para kader muda seharusnya diwarnai oleh kontestasi ide, gagasan, dan program bukan menjadi panggung kekerasan.
Aksi tersebut tidak mencerminkan moralitas dan kepribadian sebagai kader Muhammadiyah. Sangat kontradiktif dengan gegap gempita perhelatan muktamar ke-18 Muhammadiyah di Solo yang mengundang banyak kekaguman, pujian, apresiasi, dan respek publik.
Kejadian ini membawa ingatan penulis pada momen muktamar ke-17 PM di Yogyakarta tahun 2018 silam. Ketika itu Cak Nanto terpilih sebagai Ketua Umum PP PM. Namun, kemenangannya menghembuskan kabar adanya politik uang dan pihak eksternal yang ikut bermain. Suatu hal yang tidak pernah terdengar dalam sejarah muktamar PM sebelumnya. Di mana kontestasi antar kandidat relatif berjalan sesuai dengan aturan, penuh adab, demokratis tanpa ada terpaan isu tak sedap.
Dalam catatan penulis, sejak itulah kader Ortom PM dan IMM–tidak termasuk IPM–atau yang dikenal sebagai Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) menunjukKan kecenderungan dan dinamika yang berbeda dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai aktivis. Ada semacam “manhaj” baru dalam pergerakan yang merasuki internal AMM terutama para pimpinannya. Setiap muktamar dan musywil AMM kerap kali diwarnai gesekan dan polarisasi yang cenderung mengeras seiring munculnya sikap pragmatis yang menjangkiti sebagian elite AMM.
Fenomena yang dulu lumrah terjadi di acara kongres parpol, dalam beberapa tahun belakangan menginfiltrasi gerak dan dinamika para aktivis belia Muhammadiyah.
Musywil PWPM Jabar kali ini mengusung tagline “Menjabarkan Gerakan Pemuda Negarawan”. Jika dicermati, tema negarawan atau gerakan pemuda negarawan secara implisit menyiratkan sebuah pandangan visioner yang jauh ke depan tentang haluan dan idealisme gerakan PM khususnya di Jabar. Sayang frasa tersebut hanya pajangan tanpa pemahaman dan penghayatan atas kandungan maknanya.
Pemuda negarawan
Para kader PWPM Jabar sebaiknya menyimak dengan saksama pencerahan dari Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat menyampaikan “opening remark”, ketika membuka acara muktamar ke-18 PP PM di Balikpapan tahun lalu. Dalam pandangannya, kata negarawan atau kenegarawanan yang dalam literasi Arab disebut “al-futuwwah”, berasal dari akar kata “al-fata”, artinya pemuda, satria, atau kesatriaan, yakni mereka yang lebih mengutamakan kepentingan umum, rakyat, dan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Lebih lanjut Haedar Nashir menjelaskan, jika ingin menjadi negarawan atau pemuda negarawan yang berbasis “al-fata”, ada tiga substansi penting. Pertama, religiusitas. Ini hal pokok yang akan melahirkan kesalehan dan etika serta kebaikan hidup, termasuk jiwa jujur dan menjaga marwah. Sifat al-futuwwah dilukiskan dalam Al-Quran sebagai “innahum fityatun aamanuu birabbihim wa zidnaahum huda”, yakni para pemuda yang diberi petunjuk Allah dan di dalamnya bersemi iman yang mencerahkan dirinya dan lingkungannya.
Kedua, kemandirian. Mengutip kata-kata masyhur dari Ali bin Abi Thalib, seorang pemuda itu “laisal fataa man yakuulu haadza abii, innal fataa man yakuulu haa ana dza”, pemuda itu bukanlah yang mengatakan “inilah bapakku”, tetapi mereka yang mengatakan “inilah aku”.
Ketiga, kecerdasan. Seorang pemuda harus memiliki karakteristik sebagai seorang yang cerdas. Dengan kecerdasannya, dia mengeksplorasi berbagai ragam pemikiran yang secara latar belakang berbeda, baik agama, budaya, ideologi, dan pandangan politik sekalipun. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran “alladzina yastamiunal qaula fayattabiuna ahsana” yang artinya mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Dalam ungkapan lain dengan intelektualitasnya seorang pemuda secara eklektik menyeleksi mana yang terbaik dan menggunakan pemikiran itu untuk mencerahkan kehidupan, pungkas Haedar Nashir.
Apa yang diuraikan oleh Ketum PP Muhammadiyah di atas merupakan pencerahan yang sangat penting untuk memperkaya “knowledge and literation” kader muda Muhammadiyah. Namun, rumusan dan konsep saja masih belum cukup. Pemuda membutuhkan tokoh panutan sebagai role model. Harus ada sosok “negarawan” yang bisa memberi inspirasi sekaligus representasi di mana pikiran, perkataan, dan perbuatan menyatu.
Untuk itu, belajarlah dari keteladanan yang ditunjukkan Buya Syafii Maarif–Allahu yarham–guru bangsa dan negarawan yang pernah menjadi Ketum PP Muhammadiyah. Eksplorasi gagasan besarnya tentang pluralisme, toleransi moderatisme, keadilan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Yang kini menjadi warisan abadi bagi Muhammadiyah, umat, dan bangsa.
“Breeding” perkaderan
Sebagai Ortom, PM adalah bagian dari upaya Persyarikatan mempersiapkan kader-kader penerus di masa yang akan datang. Sebuah tahapan “breeding” perkaderan, persemaian bibit-bibit (unggul) kader yang berada di anak tangga tertinggi menuju puncak pengkhidmatan di Muhammadiyah.
Para kader PM tentu saja telah menjalani serangkaian “intensive training” melalui berbagai forum perkaderan, baik utama maupun fungsional. Dalam bahasa lain, telah mengalami proses ideologisasi yang terencana dan sistematis. Tidak keliru jika gambaran para aktivis PM adalah kader dengan komitmen moral yang tinggi dan jiwa militansi. Selain punya kapasitas intelektual, kompetensi keagamaan dan leadership.
Kader PM adalah prospek yang akan menjadi aksis penggerak roda organisasi di semua hirarki Persyarikatan, termasuk di akar rumput. Di tengah defisit kader yang terjadi di berbagai cabang dan ranting tampilnya kaum muda yang telah terasah hasil “breeding” perkaderan di ortom adalah sebuah penantian.
Akhirul kalam, tunas-tunas muda adalah sumber energi dalam pengembangan dan akselerasi Persyarikatan. Keikhlasan sebagai fondasi utama dalam berkiprah adalah ruhnya. Seorang aktivis hadir bukan untuk tujuan kepentingan mobilitas personal. Sehingga segala cara ditempuh termasuk menerabas norma dan aturan. Sebagai kader sebuah gerakan dakwah, singkirkanlah pikiran dan sikap pragmatis dan oportunis dalam berorganisasi.
Ingatlah selalu pesan ayahanda Haedar Nashir, “Jangan bermuhammadiyah secara instrumental, tetap menjaga pijakan pola pikir sebagai kader dengan landasan nilai-nilai dasar Muhammadiyah. Tempuhlah jalan lurus dalam bermuhammadiyah. Jauhi hal hal yang dapat mencederai kehormatan dan kepercayaan Muhammadiyah. Wallahu ‘alam bishawab.
*Ketua PCM Ciawi – Tasikmalaya