Oleh: Muhsin MK
Pertanyaan satu ini bisa satu atau banyak jawabannya. Jawabannya bisa seragam atau berbeda beda. Bergantung pemikiran dan perasaan para penjawabnya. Bisa pula bergantung pada posisi dan jabatan penjawab yang diembannya. Apalagi bagi kader struktural dan kultural Muhammadiyah akan berbeda lagi pendapatnya.
Bisa pula ada yang mengatakan. Ah ini pertanyaan mengada-ada. Pertanyaan yang tidak mutu. Itu tidak penting dijawab. Di Muhammadiyah tidak perlu dipertanyakan lagi masalah itu. Jawabannya sudah jelas. Ada dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Muhammadiyah. Namun demikian, pertanyaan ini perlu dijawab agar para jamaah Muhammadiyah paham posisinya masing-masing.
Inikah yang punya?
Pertama, Muhammadiyah dapat dikatakan punya KH Ahmad Dahlan. Walau jawaban ini tidak semua orang setuju, sebab Persyarikatan Muhammadiyah yang mendirikan adalah KH Ahmad Dahlan. Ibarat sebuah bangunan rumah, beliau yang membangunnya. Namun, setelah bangunan berdiri kokoh, apakah pembangunnya yang menempati dan menggunakannya?
Ternyata, setelah KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, dibentuk pengurusnya. Lalu, pengurus itu yang menempati dan mengurusi Muhammadiyah. Setelah KH Ahmad Dahlan wafat, pengurus lainnyalah yang mengurusi Muhammadiyah.
Kedua, kalau demikian yang punya Muhammadiyah adalah pengurusnya. Tentunya, tapi tidak juga. Sudah berapa orang pengurus Muhammadiyah dari masa ke masa yang berganti karena wafat atau sudah uzur dan tidak dipilih lagi. Mereka tidak lagi mengurusi Muhammadiyah. Mereka pun hanya hadir dalam acara acara persyarikatan. Itu pun kalau mereka diundang. Bahkan mereka yang diundang pun belum tentu bisa hadir.
Ketiga, lantas yang punya Muhammadiyah siapa? Ya yang memilih pengurus Muhammadiyah. Siapa lagi kalau bukan jamaah atau anggota Muhammadiyah. Jamaah dan anggota ini yang menjadi tulang punggung persyarikatan dalam mengembangkan dan membesarkan organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Tanpa dukungan, keikhlasan, dan pengorbanan mereka, Muhammadiyah tidak akan maju seperti sekarang ini.
Tapi kan anggota dan jamaah Muhammadiyah juga tidak bisa memiliki. Kenapa? Sebab tidak punya surat resmi atau Surat Hak Milik (SHM), baik tanah, bangunan, apalagi untuk mengurus organisasi dan AUM tersebut. Dengan demikian Muhammadiyah bukan punya jamaah dan anggotanya. Memang anggota Muhammadiyah ada di seluruh Indonesia. Namun, tetap saja mereka bukan pemilik atau yang punya persyarikatan.
Keempat, kalau demikian, Muhammadiyah bukanlah punya siapa-siapa apalagi yang mengaku sebagai anggota, pimpinan, mantan, dan pekerja di AUM-nya. Dapatlah dikatakan, persyarikatan ini milik yang menggerakkan, KH Ahmad Dahlan dan pengikutnya untuk mendirikan dan mengembangkannya hingga akhir zaman.
Hal ini karena tidak ada siapa pun yang merasa paling berjasa dalam Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan sendiri saja tidak pernah mengatakan dialah yang paling berjasa. Anak keturunannya juga tidak pernah menyatakan Muhammadiyah itu punya dan miliki mereka.
Hanya sejarahlah yang menyebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan pendirinya. Negara Republik Indonesia mengakui jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, beliau ditetapkan dan diakui sebagai pahlawan nasional. Begitu pula istrinya, Nyai Walidah Dahlan, pendiri Aisyiyah, juga mendapatkan pengakuan yang sama.
Beberapa penerus perjuangannya dalam Muhammadiyah dan negara Indonesia juga diakui jasa-jasanya dan ada yang diakui sebagai pahlawan nasional. Namun, semuanya tidak pernah mengakui bahwa persyarikatan adalah milik mereka.
Demikian pulalah para pengurus dan anggota Muhammadiyah dari masa ke masa di seluruh Indonesia. Mereka tidak ada yang mengakui Muhammadiyah punya mereka. Jika ada di antara mereka yang mengakui bahwa dia yang punya pasti diragukan bukti bukti otentiknya.
Di beberapa daerah ada yang terjadi, pribadi dan keluarga mengakui AUM milik mereka. Tentu mereka tidak bisa menggunakan nama Muhammadiyah sebagai merek yang sudah paten dan dilindungi hukum negara.
Bila dia digugat tentu akan kalah di pengadilan. Apalagi bukti bukti kepemilikan dan tanahnya atas nama Muhammadiyah.
Pasti ada yang punya
KH Ahmad Dahlan secara pribadi bisa saja mengakui bahwa dirinyalah yang punya Muhammadiyah. Tapi, beliau tidak pernah menyatakan demikian. Bahkan yang beliau katakan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”.
Namun, pesan beliau dewasa ini tidak berjalan sepenuhnya. Karena tidak mungkin yang bekerja menjadi guru, dosen, dan karyawan di AUM pada semua unit tidak dibayar. Untuk mereka wajar mendapatkan penghidupan dari Muhammadiyah.
Hanya saja mereka berada dalam lingkungan Muhammadiyah punya hak dan kewajiban. Haknya berkaitan penghidupan perlu dipenuhi dengan baik. Namun, mereka memiliki kewajiban pengabdian dalam persyarikatan. Bekerja dengan ikhlas semata-mata beribadah kepada Allah dan membantu dalam menggerakkan dakwah dan perjuangan Muhammadiyah dengan serius dan sepenuh hati.
Orang yang sudah mengabdi dengan ikhlas bukan berarti tidak boleh menerima imbalan atau tidak menerima imbalan sama sekali. Hanya yang penting tidak meminta imbalan sebagaimana yang dilakukan para nabi, termasuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Tapi, Allah Mahaadil. Dalam ganimah dan fa’i atau rampasan dan pampasan perang ada bagiannya Rasulullah.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah memang tidak digaji dan mereka pun orang-orang yang ikhlas. Tidak akan meminta minta upah atau gaji. Mereka rata-rata punya pekerjaan sendiri. Namun, mereka yang mendapat tugas sebagai BPH di suatu AUM akan ada honorariumnya yang ditentukan AUM sesuai dengan aturan yang ditetapkan dan bukan karena mereka meminta.
Apakah dengan menerima imbalan dari tugasnya sebagai BPH mereka dikatakan tidak ikhlas. Justru itu makin memperkuat keikhlasan, pengorbanan, dan tanggung jawabnya. Bandingkan dengan imam-imam di Masjidil Haram yang dijamin urusan dunianya oleh kerajaan Saudi Arabia, apakah mereka diragukan keikhlasannya?
Justru keikhlasan mereka semakin kuat dalam beribadah menghadap Allah karena hati dan pikirannya tidak harus memikirkan hidup keluarga dan masa depannya. Kalau sekiranya diragukan keikhlasannya, berarti jamaah haji yang salat bersama mereka akan berpengaruh pula pada nilai ibadahnya.
Inilah yang punya
Dengan demikian, berarti Muhammadiyah itu punya hamba-hamba Allah yang ikhlas penuh pengabdian dan pengorbanan, baik yang menjadi pimpinan organisasi dan anggota persyarikatan, maupun yang sudah tidak aktif sama sekali dan telah meninggal dunia. Termasuk para pengelola, penggerak, dan pelaksana AUM di seluruh dunia.
Namun demikian, yang punya dan pemilik utama adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena Dialah yang menciptakan manusia, termasuk warga Muhammadiyah. Dia pula yang melimpahkan karunia dan rezeki yang berlimpah dan halal untuk mereka sehingga dapat bergiat menyebarkan dan membangun AUM di berbagai penjuru bumi.***