Oleh: Ace Somantri*
SETIAP menjelang dan akhir tahun akademik, sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dipenuhi dengan selebaran, flyer, spanduk, dan baliho yang dipasang di berbagai lokasi strategis. Beragam desain digunakan, mulai dari gaya klasik konvensional hingga desain yang unik dan menarik perhatian. Hampir di setiap sudut keramaian, terutama di sekitar sekolah, terpampang spanduk berisi informasi penerimaan peserta didik atau mahasiswa baru.
Rutinitas ini terus berulang setiap tahun. Institusi pendidikan secara aktif membentuk tim khusus untuk menyelenggarakan penerimaan peserta didik baru maupun mahasiswa baru. Berbagai penawaran menarik kerap disampaikan untuk menarik minat calon peserta didik.
Fenomena ini juga dimanfaatkan oleh beberapa sekolah menengah sebagai peluang untuk menggalang dana kegiatan. Contohnya, beberapa sekolah menawarkan slot eksposur kepada perguruan tinggi dengan meminta biaya tertentu. Kampus yang berpartisipasi diberi kesempatan untuk membuka stan informasi dan memberikan presentasi di hadapan siswa. Strategi ini menjadi praktik umum yang menguntungkan kedua belah pihak, baik sekolah maupun perguruan tinggi.
Fenomena tersebut telah berlangsung cukup lama dalam dunia pendidikan Indonesia. Persaingan untuk mendapatkan peserta didik atau mahasiswa di sekolah dan perguruan tinggi semakin ketat menjadi salah satu penyebab utamanya. Meski tidak sepenuhnya salah, praktik ini mencerminkan kondisi pendidikan yang secara tidak sadar menyerupai strategi pemasaran dalam industri barang. Institusi pendidikan mempromosikan layanan mereka layaknya sebuah produk kepada calon “konsumen.”
Pertanyaan pun muncul: apakah dunia pendidikan memang seharusnya seperti itu? Ataukah ada faktor lain yang mendorong praktik semacam ini? Harapan terbesar adalah agar dunia pendidikan tidak terjebak dalam pola seperti industri barang yang “diobral” hanya demi memenuhi kebutuhan pragmatis sesaat, seperti mencapai kuota mahasiswa, yang justru dapat merusak esensi pendidikan itu sendiri.
Jika pendekatan ini terus dilakukan, dampak buruknya akan terasa pada waktu tertentu. Kondisi tersebut bisa menjadi pemicu penyesalan yang mendalam. Dunia pendidikan yang seharusnya berfokus pada kualitas pembelajaran berubah menjadi ajang persaingan kuantitas semata. Upaya memperbaiki sistem ini menjadi penting agar pendidikan tetap berfungsi sebagaimana mestinya, yakni membangun generasi yang unggul dan berintegritas, bukan sekadar mengejar target jumlah.
Sebuah pernyataan menarik dari Menteri Diktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro belum lama ini menjadi viral ketika dia mengungkapkan bahwa “alumni perguruan Indonesia tidak bisa membaca.” Pernyataan ini didasarkan pada hasil dialog dan tanya jawab dengan ratusan CEO perusahaan dari berbagai sektor industri. Meski terdengar pahit, realitas di lapangan tampaknya membenarkan observasi tersebut.
Hal senada juga dikonfirmasi melalui diskusi dengan salah satu direksi perusahaan tambang yang mengungkapkan pengalamannya mengenai ketidakmampuan lulusan perguruan tinggi Indonesia dalam memahami dan menginterpretasi berbagai jenis laporan perusahaan. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri.
Dampak dari permasalahan ini sangat signifikan. Banyak perusahaan mengalami turbulensi akibat sumber daya manusia yang tidak genuine. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan industri dan dalam beberapa kasus berujung pada kebangkrutan perusahaan. Sementara itu, dalam satu dekade terakhir, perguruan tinggi juga menghadapi krisis serius dengan menurunnya minat calon mahasiswa yang sebagian disebabkan oleh tingginya angka pengangguran di kalangan lulusannya.
Fenomena pengangguran terdidik telah menjadi tren yang mengkhawatirkan di Indonesia. Banyak lulusan sarjana yang memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang magister hingga doktoral sebagai alternatif untuk menghindari status pengangguran. Pilihan ini umumnya hanya tersedia bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial dan kapasitas akademik yang memadai. Sementara itu, lulusan yang tidak memiliki privilese tersebut tetap terjebak dalam status pengangguran terdidik.
Berdasarkan data BPS pada Agustus 2024, tercatat sebanyak 842.378 jiwa lulusan pendidikan tinggi dari jenjang sarjana hingga doktor yang masih menganggur. Angka ini menjadi cerminan nyata dari tantangan serius yang dihadapi sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Kondisi ini semakin memprihatinkan mengingat besarnya investasi finansial yang telah dikeluarkan untuk menempuh pendidikan tinggi. Biaya pendidikan yang mahal seharusnya dapat memberikan jaminan masa depan yang lebih baik bagi para lulusannya.
Ironisnya, seluruh pemangku kepentingan dunia pendidikan tinggi seolah-olah mengabaikan fenomena kritis ini. Fokus utama mereka hanya tertuju pada kelancaran operasional dan pemasukan finansial dengan prioritas utama memenuhi kuota target mahasiswa.
Ketika menghadapi penurunan jumlah mahasiswa, solusi yang diambil cenderung bersifat jangka pendek. Misalnya, penundaan tunjangan kinerja hingga penundaan gaji bulanan dengan dalih ketiadaan dana dari peserta didik. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya upaya serius untuk meningkatkan kualitas lulusan agar mampu bersaing dalam dinamika dunia yang semakin kompetitif.
Para penyelenggara dan pengelola pendidikan lebih sibuk dengan kegiatan promosi dan memberikan janji-janji pelayanan yang muluk-muluk. Namun, dalam implementasinya sering mengecewakan peserta didik atau mahasiswa. Hal yang lebih memprihatinkan, peserta didik dan mahasiswa cenderung pasif menerima kondisi yang ada. Hanya sesekali menggerutu di belakang ketika mengalami kekecewaan tanpa berani menyuarakan hak-hak mereka secara terbuka.
Sebuah ironi dalam dunia pendidikan tinggi terlihat ketika para pengelola pendidikan lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan semu yang hanya menghasilkan harapan palsu. Langkah-langkah taktis dan strategis yang diambil sering kali hanya berupa formalitas tanpa dibarengi kreativitas dan inovasi yang genuine dalam implementasinya.
Padahal, kesejahteraan sejati hanya dapat dicapai melalui produktivitas layanan pendidikan yang memuaskan dan menghasilkan lulusan berkualitas yang memberikan dampak positif bagi institusi. Pernyataan menteri mengenai rendahnya kemampuan membaca lulusan yang berakibat pada rendahnya penyerapan oleh industri hanyalah puncak dari permasalahan yang telah berlangsung lama.
Hal yang lebih memprihatinkan, perhatian khusus justru hanya diberikan kepada segelintir mahasiswa yang berhasil masuk perguruan tinggi luar negeri dengan standar mutu di atas rata-rata. Fenomena ini semakin mempertegas kesenjangan kualitas antara pendidikan tinggi dalam negeri dan perguruan tinggi luar negeri. Ini juga sekaligus menunjukkan minimnya upaya perbaikan terhadap masalah mendasar pendidikan.
Pernyataan tentang ketidakmampuan lulusan perguruan tinggi Indonesia dalam membaca dengan baik dan benar telah menjadi realitas yang tidak dapat dimungkiri. Sistem evaluasi yang ada saat ini hanya mengandalkan standarisasi mutu lulusan melalui ujian akhir semester dan ujian studi akhir pendidikan tanpa memperhatikan kualitas kompetensi yang sebenarnya.
Pelaksanaan tracer study bagi para lulusan pun cenderung superfisial. Hanya berfokus pada pencatatan status kerja tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan atau relevansi bidang usaha dengan kompetensi lulusan. Meskipun banyak lulusan yang terserap di dunia kerja, kualitas kerja mereka masih jauh di bawah standar industri profesional.
Lebih memprihatinkan lagi, tingkat penyerapan lulusan fresh graduate di industri profesional multinasional masih sangat rendah. Peluang kerja di sektor ini umumnya hanya terbuka bagi mereka yang memiliki keterampilan khusus yang didukung oleh sertifikasi internasional. Dalam konteks ini, ijazah sarjana seolah-olah hanya menjadi syarat administratif semata, bukan indikator utama kompetensi atau kemampuan profesional yang dibutuhkan industri.
Perlu dipahami bahwa ungkapan “tidak bisa membaca” dalam konteks kritik terhadap lulusan perguruan tinggi Indonesia memiliki makna yang lebih dalam. Istilah tersebut merujuk pada ketidakmampuan lulusan dalam memahami situasi dan dinamika. Mereka kesulitan dalam mencerna laporan-laporan hasil analisis dan audit profesional, terutama yang menggunakan bahasa asing atau format khusus.
Salah satu akar permasalahan terletak pada standardisasi pembelajaran yang terlalu sederhana, yakni output dan outcome hanya diukur melalui ujian tertulis dengan tingkat kesulitan di bawah standar industri. Bahkan, muncul fenomena “kelulusan berbasis belas kasihan” atau kadang disebut sebagai lulusan “ghafururohim”, yakni mahasiswa diluluskan semata-mata atas dasar pertimbangan kemanusiaan.
Kondisi ini berdampak langsung pada kualitas lulusan pendidikan di Indonesia yang mayoritas berada di bawah standar. Sistem akreditasi nasional yang ada pun lebih menitikberatkan pada audit standardisasi berbasis data-data portofolio administratif. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia dalam menghasilkan lulusan yang benar-benar kompeten.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar