Semakin majunya zaman, semakin canggih pula berbagai aktivitas manusia, tak terkecuali dalam hal aktivitas perdagangan. Dewasa ini, mulai muncul mata uang baru yang disebut cryptocureency. Cryptocureency atau mata uang kripto secara sederhana dapat diartikan sebagai mata uang virtual. Namun, bagaimana Muhammadiyah dalam memandang hukum dari penggunaan cryptocureency ini?
Untuk mengetahui itu, pertama-tama kita harus mengetahui kriteria dan aturan main dari fiqih muamalah yang disyariatkan agama Islam, mulai dari asas hingga karakteristiknya. Asas muamalah dalam berdagang yang diatur dalam Agama Islam ada tiga, yakni historitas, holistisitas, dan prinsip kerelaan.
Historitas berarti rekam sejarah. Jadi historitas memiliki arti sebagai sebuah praktik mauamalah yang berjalan secara berkelanjutan (kontinum) dari waktu ke waktu. Dilakukan sudah sedari dahulu sampai sekarang, dan pernah dilakukan oleh Rasullulah. Bukan sebuah hal yang ujug-ujug muncul.
Holistisitas berarti bahwa praktik muamalah adalah bagian dari ibadah dan keyakinan akidah yang wujudnya berupa praktik muamalah yang di dalamnya lekat dengan nilai-nilai akhlak. Sedangkan asas yang terakhir adalah adanya prinsip kerelaan antara pembeli dan pedagang. Diantara keduanya harus ada komitmen, kesepakatan bersama, dan tidak ada bentuk kedzaliman seperti masyir, gharar,dharar, dan riba.
Selain asas, perlu juga mengetahui karakteristik dari muamalah ini. Adapaun karakteristik tersebut meliputi:
- Boleh, selama tidak ada dalil yang melarang
- Memperhatikan illat hukum dan kemaslahatan
- Memperhatikan urf dan adat
- Harmonisasi antara ketentuan fiqih dan qanun
- Keseimbangan antara hak privat dan publik
Dalam Islam, untuk menentukan hukum sebuah perdagangan, dikenal kaidah fiqhiyah yang berbunyi: “hukum atas segala sesuatu adalah cabang dari deskripsinya.” Jika menilik dari kaidah fiqhiyah tersebut, maka dapat dipahami bahwa hukum adalah cabang dari deskripsi, yang berarti hendaknya kita mengetahui dan memahami secara mendalam terlebih dahulu aturan main atau prinsip tentang barang (deskripsi) yang dijadikan alat jual sebelum menentukan hukumnya.
Kembali ke pengertian awal, cryptocureency sebenarnya termasuk dalam bagian muamalah juga, dan pada dasarnya semua urusan muamalah adalah boleh selagi tidak ada dalil yang melarangnya.
Sampai hari ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang cryptocurrency sebagai sesuatu yang haram. Hal ini berdasar pada masih ditemukannya unsur-unsur yang dilarang dalam muamalah Islam di dalam sistem block chain yang diterapkan pada cryptocureency ini, seperti gharar, dharar, dan qimar (maysir).
Selain itu, cryptocureency menjadi haram pula karena tidak memenuhi syarat si’lah secara syar’i, yakni: ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli. Kesemua hal inilah yang kemudian menjadikan cryptocureency sebagai barang yang haram.
Namun, jika unsur-unsur tersebut bisa dihilangkan, maka hukumnya pun bisa berubah, sebagaimana kaidah fiqhiyah yang tertera dalam Islam. Perubahan ini mungkin saja bisa terjadi mengingat kemajuan teknologi dan zaman sekarang ini memungkinkan segalanya untuk terjadi.
Ceramah dari H. Sofyan Hakim, M.Ag, pada Selasa, 4 Januari 2022 di Gerakan Shubuh Mengaji (GSM) Aisyiah Jawa Barat