Kolom

Berbekal Untuk Mudik

Oleh: Usep Supriatna

Suasana menjelang hari Raya Idul Fitri tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni ketika belum terjadi wabah pandemi Covid-19 di tanah air sejak tahun yang lalu dan setelah larangan mudik yang diberlakukan tahun ini. Pemandangan orang berjejal-jejalan di stasiun kereta, terminal bis dan bandara, serta antrean panjang kemacetan kendaraan dijalan raya, merupakan pemandangan yang lumrah kita saksikan menjelang lebaran ketika pandemi belum mendera.

Penderitaan, perjuangan dan pengorbanan yang dialami oleh para pemudik, dinikmati sebagai sebuah konsekuensi dari keinginan yang tertunda selama satu tahun, yaitu bertemu sanak family di kampung kelahirannya. Bahkan Kelelahan dan kepenatan itu pun tidak membuat mereka surut untuk berbuat yang sama pada tahun-tahun berikutnya. Pulang kampung atau mudik itu, juga bukan sekedar kerinduan berjumpa dengan sanak family, tetapi juga sebagai momen untuk mengenang kembali masa-masa kecil dan saat-saat bersekolah.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang cukup kreatif dalam mengemas budaya. Bahkan bukan hanya mengemas tapi juga mencari titik temu nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai religius (baca : keislaman). Lebaran adalah salah satunya, dimana hari Raya Iedul Fitri yang dipadu dengan tradisi budaya, sehingga diberbagai tempat punya tradisi yang unik dalam merayakan hari lebaran.
Tradisi mudik merupakan peristiwa yang tidak bisa dilepaskan dari lebaran. Jika ditelusuri, kegiatan mudik ini tidak lepas pula dari proses urbanisasi, dimana banyak para perantau dari suatu daerah yang mengadu nasib, mengais rejeki di kota-kota besar.

Momentum hari raya inilah sangat mereka nanti-nantikan. Bukan hanya keinginan untuk melepas segala kepenatan yang mereka rasakan ketika hidup di kota, tapi sekaligus juga kesempatan untuk melepas kerinduan bersua dengan orang tua dan atau sanak family di kampung kelahirannya. Bahkan di saat mudik itu juga sekaligus digunakan untuk kegiatan reuni bersama teman-teman sepermainan atau teman ketika mereka sekolah.

Jika kita menilisik lebih dalam, tradisi mudik juga memiliki makna transendental. Mudik adalah salah satu proses penguatan kembali kesadaran kemanusiaan, dimana manusia secara fitrah tidak bisa lepas dari sifat primordialnya. Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, naluri primordialisme tidak bisa lenyap sekalipun manusia sudah tersentuh oleh alam kemodernan. Jalaluddin Rumi, seorang penyair Perisa, mengibaratkan manusia laksana seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Sehingga, lengkingan pilu suara seruling bambu itu menggambarkan jeritan rindu manusia untuk selalu ingin kembali kepada “rumpun sejatinya”.

Rumpun sejati manusia, bukan hanya sekedar tempat kelahiran di kampung halamannya. Rumpun sejati manusia adalah “tempat luhur” yang penuh keabadian, yang letaknya bukan di alam dunia yang rendah. Namun, agar kita layak untuk kembali berada di tempat yang luhur maka kesucian diri harus dikembalikan (‘Idul Fithri) melalui laku dan perbuatan yang dijiwai nilai keimanan dan amal shaleh.
“𝑩𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒂𝒑 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒖𝒎𝒑𝒂𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑻𝒖𝒉𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒉𝒆𝒏𝒅𝒂𝒌𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒋𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒎𝒂𝒍 𝒔𝒂𝒍𝒆𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒑𝒆𝒓𝒔𝒆𝒌𝒖𝒕𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒖𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑻𝒖𝒉𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Keunggulan manusia dari makhluk lainnya terletak pada kemampuannya untuk memberi makna dan menetapkan tujuan dari kehidupannya. Memberi makna hidup adalah proses pembentukan kualitas hidup, sedangkan tujuan hidup menunjukkan arah, rujukan, dasar pijakan dan sekaligus hasil yang ingin diraih.

Manusia, akan mencapai kesempurnaannya spriritualnya apabila mampu memberikan makna dan menetapkan tujuan terhadap hidup yang dijalaninya. Jika tidak, manusia takkan pernah bisa menyempurnakan kemanusiaannya. Ia hanyalah robot berdaging yang hidup di bumi dengan segala aktivitas yang bernilai relatif dan dijalankannya hari demi hari, sekedar menunggu waktu saat kematiannya.

Upaya untuk memberi makna dan menetapkan tujuan hidupnya bisa tercapai apabila manusia mengarahkan perhatiannya pada prinsip-prinsip primordialnya, yaitu memiliki semangat untuk “pulang kembali” pada awal dari keberadaannya. Allah Swt selalu mengingatkkan pada kita bahwa manusia harus mempunyai misi dan kesadaran bahwa ia berada dalam sebuah perjalanan atau perantauan yang pasti kan tiba pada titik permulaannya, yaitu pangkuan Allah Swt. Dia berfirman, “𝑾𝒂𝒉𝒂𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂, 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒖𝒔𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒚𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝑻𝒖𝒉𝒂𝒏𝒎𝒖, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒑𝒂𝒔𝒕𝒊 𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒎𝒖𝒊-𝑵𝒚𝒂” (QS. Al-Insyiqaq : 5).

Firman Allah diatas memberi isyarat pada kita bahwa setiap manusia itu harus mempunyai misi dan kesadaran bahwa dirinya sedang berada dalam sebuah perjalanan atau perantauan yang pasti akan kembali ke tempat ia mulai perjalanan, sebagaimana seseorang yang sedang ditimpa musibah, selalu berkata, “𝑰𝒏𝒏𝒂 𝒍𝒊𝒍𝒍𝒂𝒉𝒊 𝒘𝒂 𝒊𝒏𝒏𝒂 𝒊𝒍𝒂𝒊𝒉𝒊 𝒓𝒂𝒋𝒊’𝒖𝒏, sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya”.

Kembali kepada Allah berarti kembali ke tempat asal, kampung halaman tempat beristirahat dan menikmati seluruh jerih payah yang diusahakannya Selama di perantauan, semangat untuk pulang kembali, adalah kerinduan untuk bertemu dan melihat wajah kekasihnya dengan hati yang tulus, total dan pasrah. Orang yang dilanda kerinduan dan cinta yang bergelora di relung kalbunya, dipastikan akan selalu gelisah jika kerinduannya tidak ditumpahkan ketika perjumpaan dengan kekasihnya. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝑴𝒖𝒅𝒊𝒌 𝑯𝒂𝒌𝒊𝒌𝒊 𝒌𝒆 𝑹𝒂𝒃𝒃𝒖𝒍 ‘𝑰𝒛𝒛𝒂𝒕𝒊..

𝑾𝒂𝒍𝒍𝒂𝒉𝒖’𝒂𝒍𝒂𝒎.

𝑻𝒂𝒒𝒂𝒃𝒃𝒂𝒍𝒍𝒂𝒉𝒖 𝒎𝒊𝒏𝒏𝒂 𝒘𝒂𝒎𝒊𝒏𝒌𝒖𝒎. 𝑱𝒂’𝒂𝒍𝒂𝒍𝒍𝒂𝒉𝒖 𝒎𝒊𝒏𝒏𝒂𝒍 𝒂𝒊𝒅𝒊𝒏 𝒘𝒂𝒍 𝒇𝒂𝒊𝒛𝒊𝒏. 𝑲𝒖𝒍𝒍𝒖 𝑨𝒂𝒎𝒊𝒏 𝒘𝒂 𝒏𝒂𝒉𝒏𝒊 𝒃𝒊𝒌𝒂𝒉𝒊𝒓𝒊𝒏.

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button