
Bandung — Ibadah kurban pada Idul Adha tak jarang sering dihadapkan pada sorotan kampanye hak asasi hewan dan veganisme.
Sebagian pihak memandang penyembelihan hewan sebagai tindakan kejam, memicu pertanyaan apakah seorang Muslim boleh memilih untuk tidak mengonsumsi daging kurban.
Dalam Islam, kehalalan daging hewan telah jelas, namun seseorang diperbolehkan tidak memakan daging kurban selama tidak didasari keyakinan yang keliru, seperti menganggap penyembelihan itu haram atau kurang mulia.
Kehalalan daging hewan dalam Islam ditegaskan oleh Al-Qur’an dan kesepakatan ulama. Dalam Surah Al-Maidah ayat 1, Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji. Dihalalkan bagimu hewan ternak.”
Ayat ini menegaskan bahwa hewan ternak seperti sapi, kambing, dan unta halal untuk dikonsumsi. Dalam Surah An-Nahl ayat 5, Allah berfirman, “Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya untukmu; padanya terdapat kehangatan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan.”
Ayat ini semakin memperjelas bahwa memakan daging hewan ternak adalah bagian dari kehalalan yang diberikan Allah. Surah Ghafir ayat 79 juga menyebutkan, “Allah-lah yang menjadikan hewan ternak untukmu, sebagian untuk ditunggangi dan sebagian untuk dimakan.”
Menurut Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, kehalalan daging hewan termasuk dalam hal-hal yang maklum min ad-din bid-darurah (diketahui secara pasti dalam agama), dan kesepakatan ulama (ijma) memperkuat hal ini.
Namun, keyakinan yang menganggap penyembelihan hewan sebagai tindakan haram atau kejam bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam Surah An-Nahl ayat 116, Allah berfirman, “Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang diucapkan lidahmu dengan dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan atas nama Allah.”
Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM DKI Jakarta Nur Fajri Romadhon menegaskan bahwa menganggap halal sebagai haram dapat merusak akidah, bahkan berpotensi mengarah pada kekufuran (naudzubillah min dzalik).
Dengan demikian, seseorang yang menolak daging kurban karena menganggap penyembelihan itu haram atau tidak bermoral telah keliru dalam keyakinannya.
Meski begitu, Islam memberikan ruang bagi seseorang untuk tidak mengonsumsi daging kurban, selama alasannya tidak bertentangan dengan syariat.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip dari hadis riwayat Bukhari dan Muslim, menyatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Aku berpuasa dan berbuka, aku tidur dan menikah, serta aku memakan daging.”
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi memakan daging, namun Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa memilih untuk tidak memakan daging atau tidak menikah adalah boleh (jaiz), asalkan tidak didasari motif yang salah. Misalnya, seseorang boleh tidak memakan daging karena alasan kesehatan atau preferensi pribadi.
Namun, jika motivasinya adalah keyakinan bahwa memakan daging kurang mulia atau bahwa penyembelihan adalah kejahatan, maka keyakinan ini keliru dan berpotensi melanggar syariat.
Nabi juga bersabda, “Barang siapa berpaling dari sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” Hadis ini menegaskan bahwa menolak sunnah, termasuk dengan alasan yang bertentangan dengan syariat, tidak dapat dibenarkan.
Pada intinya, Islam memperbolehkan seseorang untuk tidak memakan daging kurban, misalnya karena alasan kesehatan atau selera, selama tidak disertai keyakinan bahwa penyembelihan itu haram atau tidak bermoral.
Kehalalan daging telah ditegaskan oleh Al-Qur’an dan praktik Nabi, menjadikannya bagian integral dari ajaran Islam.***
Sumber: muhammadiyah.or.id.