Penulis: Muhammad Irsyad Khalid, Ketua PW IPM Jawa Barat
Kesehatan mental menjadi salah satu fokus utama kajian dalam ilmu psikologi. Karena secara epistemologis ilmu psikologi fokus membahas tentang proses mental di dalam diri seseorang.
Jika ditinjau secara nilai historisitas kajian tentang proses mental dalam sejarah perkembangan ilmu psikologi itu berubah sesuai dengan zaman yang sedang terjadi. Maka pada era VUCA pun fokus kajiannya pasti berbeda.
VUCA merupakan akronim dari votality ‘kegembiraan’, uncertainty ‘ketidakpastiaan’, complexity ’kerumitan’, dan ambiguity ‘kebingungan.’
Secara garis besar, era VUCA ini memuat transformasi setiap lini kehidupan yang begitu cepat berubah sesuai dengan kondisi zaman yang ada. Salah satu transformasi yang terjadi begitu cepat itu adalah kondisi mental manusia, dalam hal ini mental seorang remaja.
Merujuk pada hasil survei (Oktober 2022) Indonesia National Adolescent Mental Healh Survey (NAMHS), diperoleh data bahwa satu dari tiga remaja rentang usia 10-17 tahun di Indonesia merasakan gangguan kesehatan mental, jika dikonversikan pada populasi ada sebanyak 15,5 juta remaja yang mengalami gangguan Kesehatan mental.
Hal ini menjadi isu penting bagi kita selaku penggerak solusi transformatif untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan gangguan Kesehatan mental yang dialami oleh remaja di Indonesia.
Data tersebut meningkat ketika pandemi Covid-19, sebelum pandemi hadir diperoleh data satu dari dua puluh remaja mengalami gangguan kesehatan mental yang terus akan terjadi setiap tahun.
Dengan demikian, kedepannya bisa terjadi tren pertumbuhan remaja dengan gangguan mental akan terus meningkat, jikalau tak ada tindakan preventif dari setiap masing-masing pihak yang seharusnya bisa berperan juga bertanggungjawab.
Jika dilihat dari sarana-prasarana fasilitas kesehatan jiwa di Indonesia tercatat hanya ada 33 rumah sakit jiwa yang tersebar di seluruh provinsi.
Akan tetapi, masih ada 8 provinsi yang masih belum memliki rumah sakit jiwa. Hal tersebut menjadi indikator bahwasannya pemerintah belum sepenuhnya sadar akan pentingnya kesehatan jiwa pada masyarakat luas.
Walaupun ada fasilitas kesehatan jiwa di setiap daerahnya, tidak semua orang datang untuk bisa berkonsultasi, salah satu hambatannya pun dari biaya yang cukup mahal untuk bisa mendapatkan hal tersebut.
Selain daripada biayanya yang cukup mahal, masyarakat Indonesia masih banyak mengkonsumsi stigma jika dirinya berkonsultasi ke psikolog ataupun psikiater pertanda dia adalah seorang ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). Padahal pada dasarnya setiap manusia itu rentan mengalami gangguan kesehatan mental, bukan berarti kita itu gila.
Era VUCA: Antara Mengendalikan atau Dikendalikan
Votality, uncertainty, complexity, dan ambiguity menjadi unsur yang mewarnai karakteristik zaman sekarang biasa juga disebut dengan rapid age ‘zaman serba cepat.’
Votality; menjadi unsur yang membuat remaja zaman sekarang merasakan perubahan yang holistik maupun spesifik dengan mudah. Uncertainty; menjadi unsur yang membuat remaja itu cenderung mengambang diatas perasaan-perasaan yang tak pasti.
Complexity; menjadi unsur yang membuat remaja itu merasakan perasaaan yang campur aduk, karena setiap detak juga detik perubahan yang saling berikatan juga berkaitan. Ambiguity; menjadi unsur yang membuat remaja merasakan kebingungan atas segala perubahan yang hadir juga mengalir.
Jika melihat fenomena yang hadir dalam kehidupan, salah satunya perubahan cepat yang terjadi dalam sektor teknologi, menjadi unsur pendukung bahwa era VUCA ini adalah fase zaman yang begitu dinamis.
Kemajuan teknologi pun memiliki dampak positif juga negatif dalam dinamika dunia kesehatan mental. Positifnya, banyak bermunculan akses-akses fasilitas kesehatan mental digital yang mudah diakses, negatifnya banyak informasi non-filtrasi tentang kesehatan mental yang disebarluaskan melalui platform-platform digital.
Jika melihat data dari survey yang dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada tahun 2015 menghasilkan kesimpulan data bahwa remaja usia 15 tahun itu sudah berselancar di dunia digital sedari umur mereka 10 tahun dengan rata-rata menghabiskan waktunya itu 29 jam per minggu.
Angka yang cukup fantastis jika melihat pada data tersebut, yang seharusnya remaja berumur 15 tahun bisa mengekplorasi dirinya lebih banyak dibanding harus mermesraan dengan dunia digital dengan durasi yang begitu lama.
Terlebih, rata-rata usia tersebut mereka masih riskan untuk berselancar di dunia digital terlalu lama, sebab fungsi control dalam dirinya belum cukup kokoh untuk menghindari hal-hal yang dapat mengancam kesehatan mentalnya.
Maka di era VUCA ini ada jawaban yang menjadi pilihan untuk para remaja; mereka ingin mengendalikan atau dikendalikan oleh keadaan mentalnya sendiri.
Terlebih keahdiran media sosial yang menjadi second home atau bahkan primary home bagi para remaja, membuat para remaja begitu bebas mengekspresikan diri di media sosial, tanpa terkecuali.
Banyak juga kasus-kasus perundungan online yang menjadi perhatian kita bersama dilansir dari survey yang diselenggarakan oleh UNICEF sebanyak 2.777 orang muda Indonesia rentang usia 14-24 tahun 45% dari mereka pernah mengalami cyberbulyying.
Dampak yang dihadirkan dari kasus-kasus cyberbullying itu bisa terbilang lebih parah jika dibandingkan dengan bullying yang terjadi secara langsung. Terlebih, rekam jejak digital atas cyberbullying itu tak hanya dilihat oleh sepasang mata, tapi jutaan pasang mata bisa melihat diri kita sedang mengalami cyberbulyying, hal itulah yang menjadi parameter bahwa dampak dari cyberbullying itu sangatlah buruk bagi korban.
Selain cyberbullying, media sosial pun menjadi medium remaja saat ini untuk membandingkan diri dengan orang lain. Jika melihat teori Festinger ada yang disebut dengan social comparison yang menjelaskan bahwa manusia tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri secara mandiri, tetapi hanya bisa mendefinisikan dirinya ketika melihat orang lain.
Jika melihat fenomena-fenomena diatas maka dapat diketahui benang merah atas segala persoalan yang hadir di era VUCA adalah diri kita yang mengendalikan atau dikendalikan.
Kita bisa menjadi buih di lautan lepas yang terombang-ambing atau kita bisa menjadi kapal pesiar yang kuat menaklukan segala gelombang lautan. Lalu bagaimana kita bisa menjadi kapar pesiar di era VUCA?
Kebahagiaan Kunci Stabilitas Mental Menghadapi Era VUCA
Di era VUCA yang segalanya tak dapat kita prediksi dengan tepat juga segala perubahan yang begitu cepat menjadi tantangan kita bisa menjaga kesehatan mental agar terus memberikan energi-energi positif dalam menjalani kehidupan.
Jika kita tinjau bersama, salah satu unsur pendukung atas terjaganya kesehatan mental adalah kebahagiaan.
Banyak yang meneliti tentang hubungan antara kebahagiaan dengan stabilitas kesehatan mental, hampir semua pemelitian itu mengklaim bahwa benar adanya hubungan antara keduanya.
Mencari parameter kebahagiaan memanglah sangat rumit, setiap orang memiliki caranya tersendiri untuk bisa bahagia.
Penulis mengingat perkataan filsuf Yunani Aristoteles yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu bisa mendapatkan kebahagiaan lebih jauh daripada sebatas berdiri diatas tembok-tembok kebahagiaan fisik. Betul apa yang dikatakan oleh Arisoteles bahwasannya kebahagiaan bukan hanya diraih dengan hal-hal materialistik yang hanya bisa dinikmati oleh unsur indrawi, lebih dari itu kebahagiaan muncul atas perasaan senang dan tenang dalam menjalani kehidupan.
Merujuk pada The International Journal of Indian Psychology: Effects of Happiness on Mental Health disebutkan bahwa kebahagiaan berperan penting dalam treatment pada orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Dalam psikologi positif pun salah satu pembahasan utamanya itu adalah tentang kebahagiaan yang memang termasuk pada katergori emosi positif.
Karena secara mekanisme kebahagiaan akan menghasilkan keadaan jiwa yang menyenangkan, hadirnya emosi-emosi positif,dan sikap-sikap positif yang ditujukkan untuk diri sendiri juga orang lain.
Dengan demikian, untuk bisa menjaga stabilitas mental di era VUCA kita harus memastikan terlebih dahulu bahwasannya kebahagiaan lahir-batin telah kita raih dalam genggaman. Tanpa mendahulukan kebahagiaan, mental statement yang hadir pun akan tak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri kita.
Peer to Peer Counseling: Medium Curhat Antar Remaja
Penulis telah membeberkan secara rinci juga jelas dalam bagian awal tulisan, bahwasannya banyak remaja yang jarang mengakses fasilitas-fasilitas kesehatan jiwa yang seharusnya bisa dijamah oleh para remaja.
Dengan banyaknya hambatan seperti biaya yang mahal, stigma masyarakat tentang fasilitas kesehatan jiwa, juga sulitnya dukungan keluarga untuk bisa mengakses fasilitas Kesehatan jiwa.
Dengan demikian harus ada alternatif solusi yang bisa menjadi jalan untuk para remaja mengeluarkan segala “sampah” dalam dirinya agar senantiasa tidak membusuk dalam pikiran.
Solusi yang penulis tawarkan yaitu adanya peer to peer counseling ‘konseling teman sebaya’ di setiap sekolah juga kampus di Indonesia agar senantiasa bisa menjadikan para remaja itu sadar akan kebutuhan untuk mengeluarkan segala beban pikiran dengan katarsis yang biasa disebut dengan “curhat”.
Metode ini bisa memudahkan para praktisi psikolog untuk bisa meminimalisir terjadinya gangguan kesehetaan mental di kalangan remaja.
Peer to peer counseling bisa menjadi medium bagi para remaja mengeluarkan beban pikiran mereka dengan cara “curhat” dengan teman-teman sebaya.
Di dalam metode ini bukan berarti “teman curhat” itu bebas mendengarkan juga memberikan masukan semaunya, tetapi dalam hal tekhnisnya tetap ada praktisi konseling profesional yang mendampinginya.
Jadi, “teman curhat” yang akan mendengarkan segala permasalahan temannya akan tetap dibimbing oleh praktisi konseling profesional.
Adapun secara teknis bisa dibuatkan sebuah “bilik curhat” di setiap sekolah juga kampus dengan didesain untuk anak muda.
Setidaknya dengan adanya peer to peer counseling para remaja bisa merasakan bagaimana bercerita mengeluarkan segala beban pikiran dalam upaya menjaga resistansi mental di era VUCA.
Selain itu pun, metode ini sangat berpotensi membuat para remaja merasakan sensasi konseling yang terasa saling mendukung sesama.
Adapun kekurangan dari metode ini itu dalam tatanan praktikalnya yang memang harus terus dikontrol oleh praktisi konseling professional agar tidak adanya malfungsi dari para “temen curhat” yang ditugaskan untuk bisa mendengarkan segala macam persoalan dari para remaja yang memutuskan untuk melakukan konseling.
Menjadi Insan Muthmainnah dengan Peer to Peer Counseling
Tujuan dari hadirnya peer to peer counseling adalah saling mendukung juga menolong dalam kebaikan.
Metode ini mengajarkan bahwasannya peduli terhadap sesama adalah bentuk keimaman sosial yang harus terus dirawat juga dipertahankan untuk bisa dilakukan.
Mau bagaimanapun kita pada dasarnya adalah homo socius ‘makhluk sosial’ yang sangat membutuhkan peran orang lain dalam membangun pilar-pilar kehidupan. (‘Utsman:1985) Sebagaimana yang tercantum dalam penggalan ayat Qur’an surat Al-Maidah ayat 2:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Menurut Imam Ibnu Qayyim mendefinisikan kata al-birru dalam ayat tersebut bermakna satu kata yang memuat berbagai macam kebaikan juga kesempurnaan. Peer to peer counseling memuat nilai-nilai kebersamaan yang bisa menjadi jalan untuk menemukan jiwa yang muthmainnah.
Al-Kasyani menginterpretasikan bahwa yag disebut dengan jiwa muthmainnah adalah jiwa yang sudah dioles oleh kesempurnaan nur kalbu, yang artinya terbebas dari segala perangai yang tercela. (Mulyadi,2017) Sebagaimana disebutkan dalam QS. Asy-Syams ayat 9-10 :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ﴿ ٩﴾ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا ﴿ ١٠﴾
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10).”
Dari ayat di atas kita bisa memahami secara literal juga esensial bahwasannya menjaga kesehatan jiwa (mental) adalah kewajiban bagi setiap insan yang bernyawa. Untuk mendapatkan jiwa yang tenang kita pun butuh pula ikhtiar taktikal agar kesehatan jiwa kita terus terjaga dari kondisi-kondisi yang tak diharapkan. Kesucian jiwa itu tergantung pada apa yang kita pikirkan juga lakukan, peer to peer counseling adalah salah satu jalan untuk menemukan jiwa yang suci. Kesucian jiwa dalah hak hamba untuk bisa diwujudkan dan menjaganya adalah kewajiban hamba yang harus terus dilakukan.
Penulis ingin menutup tulisan ini dengan perkataan Jalaluddin Rumi,
Jika kau dapat mengusir dirimu sekali saja,
Yang Maharahasia akan terkuak bagimu.
Wajah sang misteri, yang bersembunyi di balik alam semesta
Akan tampak pada cermin pemahamanmu*