Salah satu hikmah terbesar yang dapat kita petik dari peristiwa Idul Adha atau Hari Raya Kurban adalah keikhlasan dalam beramal (al-Ikhlaasu fil-Amal). Ikhlas artinya menghadapkan (melakukan) ibadah hanya untuk mencari ridha Allah (taujiihul ibaadah libtighaai mardhaatillaah),> atau ada pula yang mengartikan ikhlas adalah meninggalkan riya dalam ketaatan (tarkurriyaa fiththaati). Perintah untuk ikhlas seperti firman Allah Swt. dalam Surat Al-Bayyinah ayat 5 (Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.) dan Al-Anam ayat 162 (Katakanlah Muhammad,Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam.).
Ibadah kurban merupakan pendidikan keikhlasan dalam beramal. Niat kurban itu hanya untuk dan demi menuju ridha Allah semata. Pelaksanaan kurban tidak boleh disertai kepentingan lain, selain lillaahi rabbil’aalamin. Syi’ar kurban bukan ajang pamer kekayaan dan kemewahan, melainkan kebanggaan dan keunggulan beribadah yang ditujukan hanya untuk Allah Yang Maha Kaya, sebagaimana bunyi do’a: “Warzuqnaa wa anta khairur-raaziqiin, Ya Allah, beri kami rezeki, sebab Engkau adalah sebaik-baik Pemberi Rezeki.” (QS. Al-Maidah: 114).
Allah ingin menanamkan pembelajaran motivasi pada kita semua, agar melepaskan baju kepentingan apapun, di luar kepentingan Tauhidullah semata. Hal ini tercermin dalam do’a kurban: Bismillaahi Walloohu Akbar, Alloohumma minka walaka, Alloohumma Taqobbal Minnii. (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah! Ini dari-Mu dan hanya untuk-Mu. Ya Allah! Terimalah kurban ini dariku). Terlebih diperkuat dengan firman-Nya: Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka. (QS. Al-Hajj: 34).
Seorang Muslim yang berkurban berarti ia telah melakukan sebuah latihan beramal yang diliputi oleh rasa ikhlas. Ikhlas dalam beramal merupakan salah satu kunci dalam beribadah kurban, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Allah Swt. berfirman: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. Ash-Shaffaat: 102).
Dalam mimpinya, Ibrahim mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail. Ketika sampai di Mina, Ibrahim menginap dan bermimpi lagi dengan mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah, malamnya di Mina, Ibrahim bermimpi lagi dengan mimpi yang tidak berbeda pula. Ibrahim kemudian mengajak putranya, Ismail, berjalan meninggalkan tempat tinggalnya, Mina. Baru saja Ibrahim berjalan meninggalkan rumah, setan menggoda Siti Hajar: Hai Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail?. Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau diapakan anakku? Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah Swt. tersebut. Setibanya di Jabal Kurban, sekitar 200 meter dari tempat tinggalnya, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Rencana itu pun berubah drastis, sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat Ash-Shaffaat ayat 103-107: Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan Kami panggillah Dia: “Hai Ibrahim, Kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Teladan Nabi Ibrahim a.s. adalah sebuah contoh yang sangat monumental yang patut ditiru oleh umat Islam sepanjang zaman. Perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. serta anak beliau Nabi Ismail a.s. yang menaklukkan godaan setan sangatlah pantas untuk dicontoh. Bujukan setan tidak mempan, karena Nabi Ibrahim dan Ismail memiliki keikhlasan yang luar biasa.
Kalau bukan karena kecintaan kepada Allah Swt. dan keyakinan yang mendalam atas keagungan dan kebesaran serta rahmat-Nya, maka mustahil seseorang mampu mengorbankan sesuatu yang berharga yang merupakan milik satu-satuya. Inilah puncak kecintaan dan ketulusan kepada Allah, yang sekaligus merupakan bukti nyata Nabi Ibrahim a.s. yang telah benar-benar lulus menghadapi ujian yang sangat serius dari Allah.
Kenyataan ini menjadi contoh teladan pula bagi manusia yang secara fitrah cenderung kepada penghambaan diri hanya kepada Allah, yang dimanifestasikan dalam bentuk ibadah. Dikarenakan untuk kepentingan beribadah, manusia itu diciptakan oleh Allah, dan dengan jiwa keibadahan itulah manusia mampu mencapai kesucian jiwa, sebagaimana terdapat dalam Surat Az-Dzaariyat ayat 56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(Penulis, bendahara PDM Kota Tasikmalaya)