Kolom Kader Muhammadiyah Jawa Barat

Foto Haedar yang Sedang Viral

Oleh: Roni Tabroni

Bagi sebagian orang, apa yang tampak dalam gambar tentang Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir (duduk di stasiun dan dipinggirnya ada dus) tentu cukup mengagetkan. Tapi sesungguhnya di Muhammadiyah hal itu biasa-biasa saja.

Walaupun Muhammadiyah dikelompokkan sebagai organisasi masyarakat perkotaan, namun warga Muhammadiyah tidak ngebos. Jika ada yang perlente, bukan berarti orang Muhammadiyah harus elitis.

Foto yang senada juga pernah menyebar di media sosial tentang Buya Syafi’i Maarif yang sedang berada di kereta dan bercampur dengan penumpang lainnya yang notabene rakyat biasa.

Atau misalnya foto Buya Syafi’i ketika sedang duduk di kursi antrian yang konon dalam caption orang yang menyebarkan katanya itu PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Foto itu viral, tetapi mungkin bagi Buya, tidak merasakan ada yang aneh.

Publik melihat dari kacamata luar bahwa sangat kasihan mantan Ketua Umum Muhammadiyah dan sekaligus tokoh bangsa harus berderet dengan rakyat jelata. Padahal beliau bisa diprioritaskan untuk hal itu. Jika layanan itu dilakukan, mungkin tidak akan ada yang protes. Tapi beliau memilih untuk sabar dan menjalaninya.

Pun apa yang terjadi pada Pak Haedar Nashir. Mungkin kita yang heboh, tetapi dirinya merasa biasa saja. Mengelola Ormas dengan seabreg amal usaha yang tidak tertandingi di tanah air bahkan sampai mancanegara, bagi beliau menjalaninya tidak perlu berlebihan.

Tidak ada pengawalan, membawa barang-barang yang bagi orang lain mungkin memalukan. Beliau melakukannya seperti tanpa beban. Begitulah pria kelahiran Ciparay Bandung ini menjalani hidup.

Yang aneh di Muhammadiyah justru ketika kader-kader yang masih di bawah sudah hidup mewah. Angkatan muda yang sudah glamor dan berpesta di balik jubah kebesaran Muhammadiyah. Menjadi kader bau kencur tapi sudah sombong dan menengadahkan kepala.

Bersentuhan dengan dunia luar yang baru dikenalnya, seperti dewa yang serba tahu. Hanya pernah mengikuti pengkaderan yang formalitas kemudian merasa paling berhak dengan persyarikatan. “Dijualnya” Muhammadiyah untuk keuntungan pribadi. “Dijajakannya” Muhammadiyah untuk ditukar dengan pundi-pundi rupiah dan kekuasaan.

Muhammadiyah sebagai organisasi perkotaan bukan berarti harus melangit. Lihat AR. Fahrudin yang begitu humanis dan hidup sederhana. Disaat tokoh-tokoh lain sulit dekat dengan penguasa Orde Baru, AR. Fahrudin justru sangat dekat dengan Soeharto. Namun apakah Pak AR harus sombong dan memanfaatkan kedekatannya untuk kepentingan pribadi? Sama sekali tidak. Bahkan beliau tetap dikenal sebagai penjual bensin dengan ikon motor bututnya.

Sangat berbeda dengan kader-kader muda kini yang baru saja mencium dunia politik. Banyak di antara mereka yang berlaga sok politisi yang serba hebat. Pamer kekuasaan dan kepemilikan dunia yang baru saja didapatnya. Melakukan politisasi di tubuh Muhammadiyah dengan alasan-alasan irrasional. Merasa sok hebat karena orang lain diam dan tidak melakukan perlawanan.

Gaya hidup kader-kader karbitan ini belagu sok pejabat. Melakukan pertemuan hanya bisa dilakukan jika di restoran mewah atau kafe ternama. Keluar-masuk hotel hanya untuk lobi-lobi (baca, membual).

Tradisi literasi yang dipancangkan Ahmad Dahlan kini terkalahkan dengan budaya tutur dan membusa. Saling menggunjing dan menjatuhkan teman seperjuangan. Parahnya mengangkat lawan karena lebih realistis secara materi, kemudian menginjak kawan sepersyarikatan hanya karena tidak ada prospektif untuk karir kekuasaan dan minim rupiah.

Potret kader persyarikatan yang seperti ini dulu mungkin hanya ada di cakrawala, namun kini ada di depan mata. Bagi mereka yang tidak merasa jangan sampai marah. Karena tulisan singkat ini mungkin tidak ada guna. Lebih baik dicuekin karena penulisnya pun tidak berharap semua ini terjadi.

Bandung, 24 Agustus 2018

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button