Kolom

Ijtihad: Distingsi Muhammadiyah dan Salafi

Oleh : Yandi, ketua PCM Ciawi Tasikmalaya

Perdebatan  masalah  khilafiyah  tentang  hukum  musik dan tafsir  surat  Asy-Syu’ara sebagai surat “para pemusik”  memicu polemik  dan kegaduhan. 

Resistensi yang ditunjukkan  oleh kelompok Salafi  terhadap  pendapat  ulama Muhammadiyah  ustadz. Adi Hidayat (UAH)  dilakukan secara agresif  dan cenderung “overdosis” dengan  menuduh  UAH sebagai ustadz subhat, bahkan  secara gegabah  menganggapnya telah melakukan perbuatan  “kufur”.

Namun warga Muhammadiyah sebagai kaum terdidik   bisa berpikir  rasional   tidak terpancing dengan  hujatan dan berbagai  statement yang merendahkan.  Reaksi yang tegas hanya  datang dari kalangan anak muda yaitu KOKAM  yang membuat pernyataan sikap  untuk mengawal UAH ulama  yang dicintainya.  

Sejatinya  perdebatan tersebut  bisa  disikapi  secara lebih wise tidak perlu  reaksioner. Penulis  melihat UAH telah berusaha memberikan  semacam  “preliminary knowledge”,  dengan memberi  pemahaman awal kepada jamaah sebelum  sampai pada konklusi hukumnya.

Bagi  warga Muhammadiyah semuanya sudah jelas, seni atau dalam hal ini musik berdasarkan putusan tarjih  hukumnya  mubah, dengan syarat tidak membawa kearah  potensi kemungkaran. Begitu juga dengan perbedaan  kata ” syi’ir ” dalam bahasa Arab  dan syair dalam bahasa Indonesia  yang secara definisi  sudah dijelaskan UAH .

Perkara  ada pihak yang tidak setuju, boleh  saja.  Yang tidak boleh itu melakukan truth claim,  merasa paling benar  sendiri dan  mentahdzir  pihak lain yang tidak sependapat.

Muhammadiyah dan Ijtihad

Dalam sebuah hadist  diriwayatkan,   Muadz Bin Jabal  diutus oleh Rasulullah saw  untuk berdakwah  menyebarkan ajaran Islam ke negeri  Yaman.

Lalu Muadz ditanya oleh Nabi saw , bagaimana akan memutuskan hukum jika tidak ditemukan  ketetapan dalam alquran maupun hadist.  Muadz menjawab : “ajtahidu bira’yi wala aluw”, artinya : aku mencurahkan daya sekuat mungkin untuk berijtihad”.

Dialog  masyhur  diatas secara  eksplisit  menegaskan  tentang  legitimasi yang diberikan Nabi SAW kepada Muadz bin Jabal untuk berijtihad yaitu mengerahkan semua potensi kemampuan  akal pikiran dan penalaran  dalam memutuskan sebuah hukum,  jika tidak ditemukan ketentuan yang  pasti ( qath’iy)  di dalam Alquran  maupun sunnah.

Legitimasi yang diberikan  Rasul SAW kepada Muadz bin Jabal 14 abad silam  resonansinya  menggema  di Muhammadiyah. Secara faktual  historis  tercermin  dari   etos  ijtihad  yang  ditunjukan oleh kyai Dahlan.

Perintah  menyantuni anak yatim, feeding,  secara  jelas  dinyatakan dalam  surat alma’un. Namun  pilihan untuk mem-breakdown  surat almaun menjadi  panti asuhan,  sekolah dan rumah sakit,  adalah  hasil  pemikiran  mendalam  atau ijtihad kyai Dahlan dalam merespon kondisi sosial umat Islam  yang ketika itu  terkungkung dalam belenggu kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

Apa yang dilakukan oleh kyai Dahlan  mengindikasikan  semangat  Ijtihad  yang ” genuine”  dalam   upaya  memahami  Alquran.

 Bendahara Umum PP.Muhammadiyah, Hilman Latief  mengomentari : ” Al Qur’an  itu memang turun  untuk orang-orang yang berpikir kuat. Seperti kyai Dahlan yang mampu menerjemahkannya secara dalam,” ungkapnya.

Sepeninggal   kyai Dahlan  pintu ijtihad  di Muhammadiyah   tetap  terbuka.  Pemikiran, karya dan aksi nyatanya menjadi sumber inspirasi dan motivasi generasi berikutnya. 

Para ulama,  para ustadz, kaum  intelektual, dan seluruh warga Muhammadiyah  terus merawat dan  melanjutkan  ” best practise ” yang diwariskan oleh kyai Dahlan .

Dalam muktamar ke 48  di Solo tahun 2022 lalu,  Muhammadiyah  mentanfidzkan sebuah  rumusan  penting yang diberi nama  “Risalah Islam Berkemajuan” (RIB). Apa yang dimaksud dengan konsep Islam berkemajuan,  dalam RIB dijelaskan secara elaboratif.

Islam berkemajuan  merupakan  sebuah cara pandang bahwa Islam  adalah agama universal  yang mengajarkan  kehidupan yang maju dan menuntut umatnya  untuk mewujudkan kemajuan itu dalam semua aspek kehidupan pada tataran pribadi, masyarakat, umat, bangsa dan kemanusiaan universal. 

Ada lima karakter yang menjadi ciri Islam  berkemajuan. Salah satunya “ihyaul ijtihad wa at -tajdid”,  menghidupkan  ijtihad dan  tajdid.

Menarik mendiskusikan Muhammadiyah dan Salafi   karena keduanya  memiliki persinggungan  pada  semangat kembali kepada Al quran dan sunnah. Akan tetapi  bagaimana  cara kembalinya,  menjadi  titik persimpangan  yang  membuat  jalan keduanya berbeda.

Kembali kepada Alquran dan sunnah  di Muhammadiyah dibutuhkan  pendekatan atau perspektif yaitu   akal pikiran,  ilmu pengetahuan  dan ijtihad  guna merespon berbagai persoalan dan tantangan kontemporer yang dihadapi umat Islam.

Dalam   muktamar tarjih ke-24 tahun 2000 Muhammadiyah  secara  resmi  mengadopsi  tiga metode  epistemologi yang diperkenalkan oleh Muhammad Abed Aljabiri pemikir Islam asal Maroko yaitu nalar bayani, burhani dan irfani ( BBI).

Nash- nash  dalam Alquran memiliki karakter tersendiri  ada yang dikategorikan sebagai ayat muhkamat , ada yang musyabihat,  ada yang qath’iy ada yang zanni, demikian pula hadist.

Teks kitab suci itu terbatas yang dalam bahasa ushul fikih disebut “al nushus mutanahiah”, sedangkan  fenomena dan persoalan  baru  terus muncul dan  berkembang ,”wa al-waqa’i ghairu muthanahiah”.  Inilah yang     membuka  peluang  bagi Muhammadiyah ( dan umat muslim lainnya)   untuk  berijtihad  menggunakan  piranti akliyah bernama nalar BBI.

Nalar BBI  menjadi mindset bagi Muhammadiyah,  metode berpikir ini  digunakan dalam membaca  teks, termasuk  hadist tentang perintah berpuasa, “shumu li ru’yatii wa afthiru li ru’yatihi”.  Kata melihat ( rukyat ) dalam hadits ini ditafsirkan  secara  burhani  dengan  pendekatan  ilmu hisab atau astronomi bukan melihat  dengan mata telanjang.  Ilmu bisa pula yang  digunakan untuk jadwal sholat. Sehingga seorang muadzin tidak perlu melihat matahari keluar.

Tekstualisme Salafi

Tekstualisme   adalah   paham,  cara pandang  dan pola  berpikir  yang  terpaku pada aspek lahiriah  dalam memahami sebuah teks, nash atau dalil. Bagi Salafi kembali pada Alquran dan sunnah  diartikan  secara harfiah,  apa adanya.  Bunyi  tekstual  nash atau hadits ditelan mentah-mentah tanpa “intervensi”  akal dan penalaran.  Kaidahnyà adalah ayat di tafsir dengan ayat, ayat  ditafsirkan dengan sunnah, titik! 

Tidak ada perspektif  atau pendekatan  ilmu pengetahuan  atau ijtihad untuk menyingkap  luasnya  kandungan Alquran  dengan ilmu pengetahuan atau ijtihad seperti Muhammadiyah.

Pelembagaan pemahaman  tekstual  kelompok Salafi ini  membawa kepada  konservatisme  dalam  berpikir. Mereka mengunci rapat-rapat   pintu ijtihad dan menutup diri dari semua elemen  yang dianggap bukan dari  tradisi Islam. Bahkan  falsafah dan tasawuf   yang merupakan khasanah  turats  ditolak sebagaimana penolakan  mereka pada disiplin keilmuwan modern seperti  social sciences dan  humanities.

Sikap teguh Salafi  pada teks nampak ketika membaca  surat Annisa ayat 59 yang berisi  perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul dan taat kepada pemimpin atau ulil amri.  Tidak jadi soal ulil amri atau pemerintahannya otoriter,  represif dan korup , asal tidak melarang beribadah, bagi Salafi harus  tetap ditaati  tidak boleh melakukan  kritik  apalagi demonstrasi, karena itu sama saja  menentang nash.

Cara berpikir  tekstual   yang menjadi identitas  kelompok Salafi   berkorelasi dengan sebuah  hadist  yang berbunyi ”  man fassara  Alquran bi ra’yihi fahuwa maq’adun minannar, artinya barang siapa yang menafsirkan Alquran dengan akalnya maka tempat duduknya di neraka.

Di Muhammadiyah hadist diatas  secara praksis tidak dipakai karena  bertolak belakang ( ta’arud) dengan  nash  tentang  signifikansi  penggunakan akal dan pikiran yang tersebar di berbagai tempat dalam Alquran berbentuk  frase ” afala taqilun,  afala yatadabbarun, afala tatafakkarun ” dan seterusnya.

Tekstualisme Salafi juga merembet pada imajinasi untuk  me-rewind  eksemplar  Islam pada  tiga generasi  awal, hadir  di jaman modern ini. Dengan  cara melakukan  purifikasi   atau tajrid dalam  semua aspek kehidupan keagamaan  maupun urusan  muamalah duniawiyah.

Sedangkan bagi  Muhammadiyah  tajrid  hanya  menyentuh  dimensi akidah dan aspek  ibadah,  urusan muamalah  duniawiyah itu sepenuhnya wilayah ijtihadiyah. Sebagaimana  “diskresi” dari Nabi SAW  melalui hadist,   antum a’lamu bi umuri dunyakum, kalian lebih paham  dalam hal urusan dunia kalian.  Bentuk  negara  murni wilayah muamalah duniawiyah, tidak perlu  “tajrid” dengan memaksakan  khilafah.

Negara Pancasila bagi Muhammadiyah  sudah final sebagai  “Dar al-hdi wa al-syahadah” yang  berarti negara tempat melakukan kesepakatan dan persaksian. Itulah visi kebangsaan Muhammadiyah. Dalam Islam tidak ada format tunggal dalam urusan bentuk negara, bisa  republik  bisa kerajaan.

Penutup

Dari paparan  diatas  terdapat  satu variabel  yang menjadi  “akar tunjang” sumber  ketegangan  yaitu : ijtihad. Inilah  faktor distingsi  yang menyebabkan “perseteruan” Muhammadiyah  dan Salafi. Cara pandang keagamaan  yang tekstual, rigid dan dogmatis  berimplikasi  pada  matinya piranti akliyah, kreatifitas  berpikir, dan tertutupnya pintu  ijtihad dalam kelompok Salafi. 

Derivasi selanjutnya adalah  “short mindedness”  atau pola pikir ” sumbu pendek”  merasa benar sendiri dan mudah memberi stigma pada orang lain yang berbeda pendapat.

Sejatinya sungguh elegan bagi para ustadz Salafi sebelum  berdebat  di ruang publik atau di media sosial membaca ulang beberapa kosa  kata  Qurani yang sering  mereka sampaikan diantaranya, Qaulan karima, Qaulan syadida, dan Qaulan layyina.

Dengan  trilogi metode ijtihad bayani,  burhani, dan irfani ( BBI)  kembali  menegaskan,  meminjam ungkapan Ketua Umum PP. Muhammadiyah Haedar Nashir, bahwa Muhammadiyah  ingin memandu  kehidupan keagamaan umat dengan spirit yang mencerahkan, mencerdaskan dan berkeadaban.

Tidak hanya berkutat pada ” sunnah yaumiyah” tentang bagaimana  cara Nabi SAW  makan dan berpakaian,  tapi memiliki tugas ” sunnah” yang lain yaitu sebagai,  syuhada ‘ala al-nas, menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah dengan meninggalkan jejak kebaikan sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW  dengan membangun peradaban Islam di Madinah. 

Kemudian Haedar Nashir menambahkan,  jika Muhammadiyah terjebak pada isu-isu pinggiran dan perdebatan  yang bersifat fikih dan ikhtilafiyah maka  Muhammadiyah akan kehilangan peluang dan  kesempatan untuk membangun peradaban.

Wallahu ‘alam bishawab.

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button