Universitas Muhammadiyah Bandung menyelenggarakan Baitul Arqam bagi Dosen dan karyawan baru, di Kitri Hotel Bandung (10-12/8). Baitul arqom ini merupakan kegiatan kedua setelah satu tahun yang lalu diselenggarakan pertama kali secara masif untuk seluruh karyawan, staf dan Dosen UM Bandung. Baitul arqam kali ini mengambil tema “mengenal, mengabdi dan menjadi Muhammadiyah dengan berilmu Amaliyah dan beramal ilmiah”, kegiatan ini diikuti oleh 23 peserta yang terdiri dari 21 dosen baru dan dua orang staf perpustakaan. Baitul Arqam ini dibuka oleh Ketua PW Muhammadiyah Jawa barat, Dr. Zulkarnaen, SH., MH., sementara yang bertindak sebagai instruktur berasal dari Universitas Hamka (Uhamka).
Menurut Muhammad Dwi Fajri, selaku ketua pelaksana sekaligus instruktur mengatakan bahwa, keharusan adanya Baitul Arqam di PTM secara umum dilandaskan pada dua alasan. Pertama, secara normatif dan institusional bahwa Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) mesti memastikan siapapun yang terlibat dalam pengelolaan AUM. Dalam konteks ini, pimpinan AUM harus mengetahui siapa yang masuk dan terlibat di dalamnya. Baik dari ideologis, maupun akademis. Baitul Arqam ini adalah salah satu media untuk mengetahui sekaligus memberitahu dan mensosialisasikan tentang basis ideologi perjuangan AUM, beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya kepada semua pihak yang ada di AUM atau yang hendak bergabung di AUM.
Kedua, secara historis-individual-subjektif, dari sisi peserta, bahwa siapapun yang bergabung dengan AUM mesti beradaptasi dengan kultur-budaya AUM dan Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui Baitul Arqam ini, peserta diharapkan dapat memahami AUM dan Persyarikatan Muhammadiyah. Bahkan, seandainya tidak ada Baitul Arqam pun, setiap peserta sudah seharusnya berusaha beradaptasi secara mandiri. Namun demikian, mengandalkan kemandirian tentu tidak akan semaksimal dan semassif melalui pengorganisasian sebagaimana yang terlaksana selama ini.
Selain itu, menurut Fajri yang merupakan dosen tetap UHAMKA mengungkapkan, ada banyak alasan mengapa pengkaderan ini menjadi penting. Pertama, persoalan perkaderan ini belum menjadi kesadaran kolektif dan massif Pimpinan Amal Usaha Muhammadiyah. Memang harus kita akui bahwa ada juga Pimpinan AUM yang memiliki kesadaran perkaderan, namun yang tidak memiliki juga masih ada. Ketidaksadaran akan penting perkaderan yang salah satunya melalui Baitul Arqam ini, akan berdampak buruk bagi pengelolaan AUM maupun budaya AUM.
Kedua, Perkaderan masih dianggap terpisah dari Beramal Usaha, dalam konteks Pendidikan, masih dianggap terpisah dengan Pendidikan. Padahal dasar kehadiran Amal Usaha Muhammadiyah di semua aspek tidak lepas dan tidak terpisah dari aspek dakwah, tidak tepisah dari aspek beramal usaha. Kalau itu amal usaha Pendidikan, maka tidak ada pemisahan antara perkaderan dengan kependidikan. Jadi, Pendidikan dan perkaderan menyatu-padu. Fajri menegaskan, bila amal usaha tersebut ialah Pendidikan, maka siapapun yang ada di dalamnya harus memiliki kesadaran sebagai bagian dari perpanjangan tangan dakwah Muhammadiyah atau menjadi fasilitator dakwah Muhammadiyah yang akan mengantarkan pada tujuan Muhammadiyah yaitu Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (agungtw)