
Salat Tarawih memiliki perjalanan sejarah panjang, terutama di Masjid Nabawi, Madinah. Salah satu pertanyaan yang sering muncul, apakah benar Khalifah Umar bin Khattab yang pertama kali menetapkan jumlah rakaat Tarawih menjadi 20?
Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri sumber-sumber sejarah yang kredibel dan memahami bagaimana praktik ibadah ini berkembang dari masa ke masa.
Pada zaman Rasulullah SAW, salat tarawih dikerjakan sebanyak 11 rakaat, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah RA. Jumlah ini terdiri atas 8 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. Inilah praktik yang berlangsung di Masjid Nabawi pada masa Rasulullah.
Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah pada tahun 14 H/635 M, ia menertibkan pelaksanaan tarawih berjamaah di masjid. Umar memerintahkan agar salat ini tetap dilaksanakan sebanyak 11 rakaat, mengikuti sunnah Rasulullah. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Umar pernah mengubah jumlah rakaat menjadi 20.
Dua khalifah setelahnya, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, juga tidak tercatat mengubah jumlah rakaat tersebut. Ini menguatkan dugaan bahwa selama masa Khulafa Rasyidin, tarawih di Masjid Nabawi tetap berjumlah 11 rakaat.
Namun, ada pendapat berbeda dari Ibnu Al-Mulaqqin, seorang ulama hadis, yang menyebutkan bahwa Umar awalnya menetapkan 11 rakaat, lalu mengubahnya menjadi 20. Bahkan, pada masa akhir pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, jumlahnya bertambah menjadi 36 rakaat.
Sayangnya, Ibnu Al-Mulaqqin tidak menyertakan bukti riwayat yang jelas mengenai perubahan jumlah rakaat oleh Umar. Riwayat yang ada hanya menunjukkan bahwa beberapa sahabat di masa Umar melaksanakan tarawih 20 rakaat secara pribadi, bukan sebagai aturan resmi yang diberlakukan di Masjid Nabawi.
Sejarah mencatat bahwa tarawih 11 rakaat terus dilakukan di Madinah hingga masa Muawiyah (wafat 60 H/680 M). Perubahan terjadi menjelang akhir pemerintahannya, beberapa tahun sebelum Perang Al-Ḥarrah (63 H/683 M), ketika jumlah rakaat tarawih di Madinah bertambah menjadi 36. Sejak saat itu, praktik di Masjid Nabawi menjadi 39 rakaat (termasuk 3 rakaat witir) dan ini berlangsung hingga abad ke-4 H.
Ketika Dinasti Fatimiyah beraliran Syiah menguasai Hijaz pada abad ke-4 H, jumlah rakaat tarawih dikurangi menjadi 20. Praktik ini bertahan hingga abad ke-8 H, sebelum kemudian Imam Al-Iraqi (wafat 806 H/1403 M) mengembalikannya menjadi 39 rakaat, dengan pembagian 20 rakaat di awal malam dan 16 rakaat menjelang Subuh.
Kondisi ini bertahan hingga tahun 1344 H/1926 M. Saat Dinasti Saudi mengambil alih kekuasaan di Jazirah Arab, jumlah rakaat Tarawih di Masjid Nabawi ditetapkan menjadi 20 rakaat, seperti yang berlaku hingga hari ini.
Perubahan-perubahan ini menunjukkan bagaimana dinamika sejarah dan pengaruh politik-religius memengaruhi praktik ibadah di Madinah. Namun, jika merujuk pada teladan yang paling otentik, Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan bahwa praktik Rasulullah SAW dengan 11 rakaat adalah yang utama. Sebagaimana sabda beliau, “Salatlah sebagaimana kamu melihat aku salat,” ajaran Nabi tetap menjadi pedoman yang paling kuat.
Jadi, apakah benar Umar bin Khattab menetapkan tarawih 20 rakaat? Berdasarkan riwayat yang ada, tidak ditemukan bukti sahih yang mendukung klaim tersebut. Yang jelas, Umar menertibkan salat tarawih berjamaah dengan 11 rakaat, sedangkan jumlah 20 rakaat baru muncul jauh setelah masa Khulafa Rasyidin.***