
Oleh: Ace Somantri*
BERBAGAI kebijakan dianggap kontroversi dari Gubernur Jawa Barat menyita perhatian publik. Sosok Gubernur yang terkenal KDM atau Kang Dedi Mulyadi pasca selesai menjadi Bupati Purwakarta, sebelumnya sempat viral kontroversi pembuatan patung tokoh-tokoh pewayangan.
Kemudian menjadi Anggota DPR RI dan aktif memposting kegiatan sosialnya di medsos, akhirnya menjadi “content creator” di platform digital Facebook dan Youtube. Pengikutnya terus bertambah banyak, pasalnya sikap kepekaan sosialnya membuat masyarakat kagum. Sepertinya tidak banyak rekayasa tipu-tipu dalam postingannya sehingga gaya komunikasinya mengalir seadanya dengan khas bahasa masyarakat biasa warga Jawa Barat etnis Sunda.
Sejak mencalonkan gubernur, bermodal suara follower media sosial yang cukup banyak dan ketulusan yang ditunjukan membuat dirinya meraih suara signifikan saat pemilihan Gubernur Jawa Barat. Tak ada yang berubah dari Kang Dedi, sifat dan sikapnya tetap peduli dan peka terhadap warga masyarakat.
Apalagi setelah terpilih menjadi gubernur, pembelaan kepada masyarakat dan lingkungan lebih memperkuat dan memperbesar kekuasaan digunakan untuk kepentingan warga. Dipastikan, setiap masalah yang muncul dan sulit diatasi oleh pihak terkait, oleh Kang Dedi Mulyadi selalu ada solusi penyelesaiannya.
Berbagai kebijakan dianggap kontroversi, sangat memukul pihak-pihak tertentu yang selama ini menikmatinya. Ketika kebijakan dimunculkan, banyak yang terganggu kenyamanannya. Seperti studi tour dan wisuda sekolah TK, Dasar, dan Menengah harus diubah model dan polanya, hal itu agar tidak membebani orang tua siswa.
Memang benar adanya, pendidikan Indonesia melalui pemerintah belum mampu sepenuhnya memberikan pelayanan pendidikan gratis yang maksimal. Tempat hiburan dan rumah-rumah pinggir kali atau bantaran sungai harus dibongkar karena melanggar aturan negara. Dan banyak kebijakan lainnya yang membuat masyarakat terpesona dengan gaya khasnya.
Dari gebrakan kebijakannya, Kang Dedi dikenal sangat populer dengan panggilan “Bapak Aing”, kata tersebut sebagai simbol pemimpin yang mempunyai sikap “kebapaan”, memiliki karakter orang tua penyayang penuh perhatian.
Benar adanya, sikap peduli dan peka terhadap warga masyarakat duafa dan tunadaksa. Kepeduliannya sudah berlangsung cukup lama. Dia lahir dalam kondisi keluarga secara ekonomi pas-pasan. Walaupun dia anak dari seorang prajurit, sosok ayahnya termasuk kepala keluarga yang benar-benar mengabdi pada bangsa dan negara.
Sosok Kang Dedi memang sulit dikendalikan oleh politisi, siapa pun mereka yang berupaya memainkan dan mempolitisasi kepentingan untuk diri pribadinya, akan mengalami kesulitan. Begitupun para “pemain lenong” dalam dunia birokrasi akan merasa tidak nyaman dengan tradisi yang dibuat oleh Kang Dedi Mulyadi.
Bagi pegawai negara yang berada di lingkungan pemerintah daerah Jawa Barat yang mencoba “bermain api anggaran” akan merasakan panasnya kebakaran akibat dari permainannya. Bahkan bukan hanya para pegawai negara, melainkan warga masyarakat atau komunitas seperti ormas kekaryaan dan keagamaan tidak dapat mengelabui dengan melanggar kaidah-kaidah kemasyarakatan.
Saatnya warga masyarakat mengubah diri, hindari mentradisikan perilaku melanggar peraturan. Kang Dedi tidak pandang bulu, siapa pun mereka yang melanggar akan diberikan pelajaran sesuai kadar pelanggarannya.
Sebagaimana kita lihat penggusuran warga yang tinggal di bantaran sungai, anak-anak remaja nakal, para pedagang yang menggunakan bahu jalan, serta yang lainnya semua ditertibkan dengan penuh keadaban. Apalagi daerah wilayah kekuasaan pemerintah daerah seperti sekolah negeri, pasar-pasar yang melanggar, trotoar jalan-jalan kotor, serta fasilitas kantor kotor sudah dipastikan kena teguran langsung. Bahkan, kepala sekolah yang tidak mengindahkan peraturan langsung dimutasi.
Sorotan publik kepada sosok Gubernur Jawa Barat kian hari semakin viral. Pola kerja Kang Dedi sebagai gubernur telah menyita perhatian warga masyarakat di luar Jawa Barat. Sikap kepeduliannya yang viral di media sosial telah menginspirasi banyak pihak. Termasuk kepala daerah lainnya. Seperti kebijakan pemutihan pajak bumi bangunan bagi masyarakat.
Bahkan Gubernur Jawa Tengah yang berkata nyinyir pun kepada Kang Dedi, justru mendapat balasan dari warganya sendiri. Bagi Kang Dedi, apa yang dikerjakan bukan asal-asalan. Segala kebijakannya berdasarkan hasil pemikiran dan kajian empiris, sekalipun ada hal yang kurang pun tetap diperbaiki dengan tangan terbuka.
Sikap keluwesan dan keterbukaan dengan pihak lain pun hal biasa bagi Kang Dedi, dia tidak merasa diri paling hebat. Berkolaborasi dan bersinergi dengan orang-orang yang tulus dan memiliki prestasi di bidangnya menjadi bagian dalam menjalankan kebijakannya, seperti penasehat gubernur yang nyentrik, seorang pengusaha dan mantan menteri, pun digandeng, Ibu Susi Pudjiastuti, bersedia tanpa harus dibayar.
Begitu juga sosok Mardigu Wowiek atau Boss Man diajak bicara untuk membenahi BUMD Jawa Barat. Termasuk mantan Bupati Banyumas diajak kerja sama menyelesaikan sampah di Jawa Barat.
Sangat berbeda jauh dengan model pencitraan yang masuk gorong-gorong. Rekam jejaknya sangat jauh berbeda. Ketulusan membawa kebaikan, sedangkan pencitraan akan merusak.
Kita lihat dengan seksama dan detail, apakah kebijakan Kang Dedi berhenti dalam suasana euforia viral, atau memang ada maksud dan tujuan memperbaiki. Dari fakta-fakta yang ada, hampir dipastikan semua kebijakannya memberi solusi pasti.
Dia jujur, tidak memaksakan diri merasa mampu. Seperti menggunakan bahasa Inggris, dia bilang tidak bisa dan akan menggunakan penerjemah. Berbeda dengan yang lain memaksakan diri seolah bisa, padahal tidak hingga membuat orang lain menertawai.
Begitupun asal usulnya pun jelas. Dia anak seorang prajurit pembela tanah air negara. Makanya jiwa nasionalisme relatif tidak diragukan. Kita juga melihat bagaimana dia anti penjajahan asing dalam hal sosial ekonomi.
Dia sangat menghormati leluhur nenek moyangnya sehingga ada beberapa tindakannya dianggap klenik berbau ritual kepercayaan dinamisme diluar ajaran Islam pada umumnya. Terlepas itu semua, hal itu merupakan wilayah privasi seorang Kang Dedi dalam beragama, yang paling penting saat dia sebagai pejabat negara menunaikan amanahnya dengan baik dan benar senantiasa membela kepentingan orang banyak.
Berbeda dengan yang sebelah, wawasan dan kemampuannya dipaksakan seolah-olah mampu dan bisa. Praktik blusukannya dipaksa dan didesain oleh tim khusus. Media mainstream pun menjadi bagian di dalamnya.
Sementara itu, Kang Dedi mengalir begitu saja tanpa rekayasa tipu daya. Media-media mainstream terindikasi ruangnya terbatas hingga kurang begitu termanfaatkan karena bisa jadi jika dimanfaatkan harus ada biaya yang dikeluarkan.
Selama ini yang dilakukan Kang Dedi benar-benar menggunakan media sosial yang gratis sebagai alat komunikasinya, bahkan mendulang uang cukup banyak melebihi gaji sebagai pejabat negara. Begitupun saat memberi uang kepada masyarakat bukan dari anggaran negara, melainkan uang hasil dari media sosialnya.
Solusi efisiensi Kang Dedi sangat inovatif, cara-caranya penuh kreativitas tinggi, melampaui seorang kreator seni yang kadang-kadang harus segalanya dengan uang. Tidak terbayangkan anggaran media informasi untuk iklan daerah Jawa Barat menyentuh ke angka 50 miliar, dapat diefisiensi hingga menjadi 3 miliar.
Luar biasa, sangat fantastis jumlahnya. Jarang sekali bahkan tidak ada pemerintah daerah yang mampu menurunkan biaya iklan hingga 90 persen lebih. Justru saat ini beberapa pejabat negara yang nyinyir dengan bahasa kritikannya berbalik arah kritik pada dirinya sendiri.
Apa pun alasannya, fakta sosial yang ada telah mengubah situasi kondisi wajah masyarakat Indonesia tertuju kepada sosok Kang Dedi sebagai pejabat negara yang egaliter dan populis. Sangat tidak berharap dengan viralnya berbagai aktivitas Kang Dedi bukan tipu daya muslihat yang jahat untuk jangka panjang.
Diharapkan masyarakat untuk terus memonitor berbagai tindakan dan kebijakan Kang Dedi. Di dunia ini, manusia pada dasarnya memiliki potensi kuat dengan sikap khilaf dan lupa.
Kang Dedi sebagai pejabat pun harus siap menerima kritik, saran, dan masukan berharga dari masyarakat. Sorotan publik hari ini pada umumnya melihat gerak langkah nyata yang dilakukan Kang Dedi Mulyadi sangat positif. Banyak kepala daerah di seluruh pelosok negeri yang mengagumi karakter pejabat sekelas Kang Dedi yang sulit ditemukan.
Pasalnya, pejabat negara selalu sok merasa seorang pejabat. Segalanya selalu dilayani bak raja. Padahla hal itu sebenarnya sudah usang. Apalagi hidup dari uang negara yang bersumber dari rakyat sangat ironis apabila bergaya ria dan pamer. Wallahu a’lam.*
*Wakil Ketuawa PWM Jawa Barat