
Oleh: Nashrul Mu’minin*
Setiap tahun, ribuan calon guru baru lahir dari kampus-kampus pendidikan. Mereka dibekali teori pedagogik, didorong menguasai kurikulum, dan dijanjikan masa depan sebagai pahlawan tanda jasa.
Namun, di tahun 2025 ini, apakah janji itu masih relevan? Atau justru profesi guru semakin terjepit antara beban administratif, tuntutan kompetensi, dan minimnya apresiasi?
Data terbaru menunjukkan, jumlah lulusan pendidikan profesi guru (PPG) terus meroket, tetapi lapangan kerja tak kunjung luas.
Sekolah negeri hanya menyerap sedikit karena kuota P3K yang tak sebanding dengan jumlah pelamar. Sementara sekolah swasta—dengan gaji tak jauh dari UMR—menjadi “pelarian” yang justru mempertajam ironi: mengajar dengan passion, tapi hidup pas-pasan
Masalahnya bukan hanya pada jumlah. Kualitas calon guru juga kerap dipertanyakan. Sistem PPG yang seharusnya menjadi “batu uji” kompetensi, justru dianggap sekadar formalitas. Banyak peserta mengaku, program ini terlalu teoretis dan kurang menyentuh realitas kelas yang dinamis.
Alih-alih menghasilkan guru kreatif, malah yang lahir adalah tenaga pengajar yang terjebak pada pola “rutinitas administrasi”. Padahal, di era digital ini, siswa butuh guru yang bisa menjadi fasilitator, bukan sekadar penyampai materi.
Tidak berhenti di situ. Guru yang sudah bertahun-tahun mengabdi pun menghadapi dilema serupa. Beban kurikulum yang terus berubah, tuntutan literasi digital, dan tekanan orang tua yang ingin anaknya “cepat pintar” membuat banyak guru kehilangan ruang untuk berinovasi.
Apalagi dengan maraknya kasus kekerasan terhadap guru—baik fisik maupun verbal—yang membuat profesi ini semakin tidak menarik bagi generasi muda.
Lalu, bagaimana solusinya? Pertama, pemerintah harus berani mengevaluasi ulang sistem PPG. Jangan hanya mengejar kuantitas, tapi perbaiki kualitas dengan magang yang lebih intensif di sekolah.
Kedua, berikan insentif yang manusiawi—baik untuk guru honorer maupun ASN—agar mereka tak perlu lagi mencari tambahan penghasilan di luar jam mengajar. Ketiga, kurangi beban administratif yang tak perlu dan beri ruang bagi guru untuk benar-benar fokus pada pembelajaran.
Guru adalah ujung tombak peradaban. Jika kita terus membiarkan profesi ini stagnan—atau bahkan terpuruk—maka jangan heran jika generasi mendatang hanya akan menjadi produk sistem pendidikan yang setengah hati.
Tahun 2025 harus menjadi titik balik: saatnya guru tidak hanya dihormati dalam pidato, tetapi juga dalam kebijakan yang nyata.
Reformasi pendidikan guru harus melibatkan suara para guru itu sendiri. Terlalu lama kebijakan dibuat dari balik meja birokrasi tanpa mendengar realitas di lapangan.
Padahal, siapa yang lebih tahu kebutuhan siswa dan tantangan kelas selain guru? Pemerintah dan perguruan tinggi perlu membangun ekosistem kolaboratif, di mana masukan dari guru menjadi dasar pengambilan keputusan, bukan hanya sekadar pelengkap formal dalam seminar atau FGD.
Perlu ada pergeseran paradigma dalam menilai kinerja guru. Selama ini, keberhasilan guru sering diukur dari angka, laporan, dan dokumen yang rapi. Padahal, banyak proses pembelajaran bermakna yang tak bisa diukur lewat indikator administratif.
Pemerintah harus berani mengembangkan sistem evaluasi yang lebih holistik, yang menilai kreativitas, empati, dan kemampuan guru dalam membangun karakter siswa—bukan sekadar kemampuan menyusun rpp sesuai template.
Institusi pendidikan guru harus memperbarui kurikulum mereka agar lebih relevan dengan kebutuhan abad ke-21. Teknologi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Namun banyak calon guru yang masih gagap digital karena tidak dibekali pelatihan yang konkret. Lebih ironis lagi, mereka belajar teknologi dari dosen yang sendiri belum terbiasa mengajar secara digital. Jika akar masalah ini tidak diselesaikan, kesenjangan digital antara guru dan siswa akan semakin lebar.
Masyarakat juga perlu diingatkan kembali akan peran vital guru. Jangan jadikan guru sebagai kambing hitam ketika anak gagal berprestasi, padahal dukungan dari rumah sangat minim.
Di sisi lain, glorifikasi guru juga harus diiringi dengan keberpihakan kebijakan yang konkret. Guru tak butuh pujian kosong di hari pendidikan nasional, mereka butuh jaminan kesejahteraan, perlindungan hukum, dan ruang berkarya. Tanpa itu semua, profesi guru akan terus dipandang sebagai pekerjaan penuh beban, namun minim penghargaan.
Guru bukan sekadar pengajar, tapi pelita peradaban. Namun, ketika gaji tak cukup menghidupi, kurikulum membelenggu kreativitas, dan sistem hanya memproduksi guru administratif, apa yang bisa kita harapkan dari pendidikan selanjutnya? Tahun 2025 harus menjadi titik balik—bukan hanya retorika, tapi aksi nyata.
*Content Writer Yogyakarta