Tidak ada ruang untuk jumawa di Muhammadiyah. Perhelatan Muktamar menjadi penanda siapa kita sesungguhnya.
Di tengah lautan manusia yang sedang bergembira, datang dari berbagai pelosok tanah air bahkan mancanegara, dengan perjuangan yang terkadang di luar nalar, saya merasa tak ada apa-apanya.
Setiap ruas jalan masuk ke Kota Solo, baik darat maupun udara, menjadi saksi kehadiran insan-insan tulus yang merayakan kebahagiaannya menghadiri ritual organisasi yang sangat massif.
Tidak ada yang memaksa orang dengan jumlah jutaan itu untuk bersusah payah menghadiri kegiatan Muktamar.
Jika memilih untuk nyaman, mungkin diam di rumah lebih baik, toh seluruh rangkaian kegiatan itu dapat disaksikan secara lengkap melalui TVMU dan berbagai saluran lain.
Akan tetapi, di Solo kita dapat melihat bagaimana semua nuansa kegembiraan justru ditemukan di tengah kepadatan.
Suasana yang begitu crowded tidak menyurutkan semangat kader dan simpatisan Muhammadiyah untuk tetap hadir dan tenggelam dalam lautan massa walaupun penuh peluh.
Semua usia ada, anak-anak, remaja, dewasa, bahkan yang sangat senior sekalipun. Mereka terdiri dari orang biasa, berpangkat, pejabat pemerintahan, pengusaha, berpendidikan tinggi, apapun status sosialnya, menikmati suasana kebahagiaan dengan senyuman.
Stadion Manahan menjadi saksi bagaimana lautan manusia Muhammadiyah ini memiliki semangat tinggi. Lambaian tangan bapak Presiden, ketua DPR RI, dan pejabat tinggi lainnya, seolah apresiasi dari perjuangan mereka.
Para penggembira yang ada di dalam dan luar stadion, semua bergembira. Mereka semua senang hadir di tempat yang hanya menampung sebagian kecil dari kader yang datang ke Solo. Padatnya manusia, cuaca yang kurang bersahabat, susahnya akses masuk, tidak mengganggu kegembiraan.
Uniknya, walaupun Muktamar memiliki agenda, salah satunya, pemilihan pengurus di tingkat paling tinggi, namun mereka yang hadir dari berbagai pelosok dan memadati Solo bukanlah pendukung dari salah satu kubu tertentu.
Mereka hadir untuk membuktikan semangat dan kecintaannya terhadap persyarikatan. Siapapun yang akan terpilih, tidak akan menyurutkan semangat bermuhammadiyah.
Warga Muhammadiyah percaya, sistem yang terbangun sudah sangat mapan, kepemimpinan bersifat kolektif kolegial, keikhlasan para elitnya, siapapun mereka, tidak akan mengecewakan kader-kader di akar rumput.
Situasi ini selalu ditemukan di Muktamar-Muktamar sebelumnya dan akan kita temukan kembali di Muktamar selanjutnya.
Untuk bisa sampai ke Solo, para kader dan simpatisan ini datang dengan berbagai cara mulai dari menggunakan pesawat, kapal laut, kereta, kendaraan secara berombongan, kendaraan pribadi, hingga bersepeda.
Tidak sedikit orang yang sengaja menabung beberapa tahun lamanya untuk mengumpulkan uang demi hadir di arena Muktamar.
Bahkan TVMU secara khusus menghadirkan talkshow seorang ibu kader Aisyiyah dari Sumatera Utara berusia 79 tahun yang hadir ke Muktamar di Solo menggunakan kendaraan umum seorang diri.
Atau ada pula H. Zamroni AS, warga Muhammadiyah dari Bantul yang sudah berusia 99 tahun namun masih semangat hadir ke arena Muktamar walaupun menggunakan kursi roda.
Semangat mereka luar biasa, sulit dipahami dengan nalar biasa. Kisah perjuangan serupa banyak juga ditemukan, dan cukup mengharukan.
Pilihan diksi “penggembira” memang cukup unik. Kata ini sudah merasuk pada diri para kader yang jauh-jauh hadir dengan susah payah hanya untuk bergembira.
Semua yang hadir dari berbagai daerah saling menyapa satu sama lain, saling tersenyum, sangat terasa nuansa persaudaraannya dengan kental.
Ketika ibu-ibu dengan seragam ‘Aisyiyah turun dari bus yang masih cukup jauh dari area Manahan, dibawah rintik-rintik hujan, jalan becek, sulit berjalan karena banyak sekali orang di lokasi, mereka justru bersama-sama menyanyikan theme song Muktamar secara dengan semangat.
Mereka saling tertawa dan sesekali tepuk tangan. Tidak ada raut kecewa dan merasa menyesal hadir di tempat yang tidak nyaman secara fisik ini. Menjadi penggembira memang harus memiliki jiwa gembira dari dalam, ini kuncinya.
Menyaksikan ratusan bahkan ribuan relawan dan panitia yang tersebar di berbagai tempat merupakan fenomena lain.
Selain dosen, profesional, mahasiswa, bahkan pelajar dan masyarakat yang turut mensukseskan kegiatan akbar ini.
Mereka sudah tersenyum sejak awal, hingga detik-detik meninggalkan Solo, saya melihat panitia yang kelelahan ini tetap melakukan yang terbaik.
Ada kabar beberapa relawan yang terpaksa dievakuasi ke Unit Gawat Darurat (UGD) karena pekerjaan yang terlalu menguras tenaga dan tentu saja kurang istirahat.
Satu langkah melewati gerbang Edutorium, sulit berkata-kata. Pantas saja banyak yang memuji. Kemegahannya sulit tertandingi, konon dianggap nomor satu di Jawa Tengah.
Adi Hidayat ketika kegiatan tabligh Akbar pra Muktamar dinyatakan, ini adalah gedung termegah yang pernah diinjaknya.
Di antara banyak suara yang mengaguminya, dibalik angka 386 milyar, ada rasa bangga, ini milik Muhammadiyah, dibangun menggunakan dana persyarikatan, bukan yang lain.
Disaat perhelatan Muktamar berlangsung, gedung ini diisi orang-orang penting. Mereka merupakan para aktivis sosial mulai Pimpinan Pusat hingga wilayah dan daerah. Mereka orang-orang pilihan, para pengabdi di tempatnya masing-masing.
Kini gedung kebanggaan ini menjadi salah satu penanda raksana Muhammadiyah yang mandiri dan piawai dalam melahirkan amal usaha.
Di detik-detik penutupan, Wakil Presiden menyampaikan puja-puji dan apresiasi terhadap kiprah para pejuang Muhammadiyah yang sangat ikhlas dalam membangun negeri lewat persyarikatan ini.
Edutorium merupakan satu diantara ribuan bahkan puluhan ribu amal usaha di berbagai bidang yang tersebar di seantero negeri bahkan mancanegara.
Hingga perhelatan berakhir Muktamar berjalan tanpa cacat. Semua orang menjadi saksi jika Muktamar Muhammadiyah memanglah sejuk, seperti judul headline Kompas tahun 2015 saat Muktamar 47 di Makassar yang menuliskan “Muktamar Muhammadiyah Sejuk”.
Bagi teman-teman wartawan, tidak ada ruang untuk memposisikan adagiumnya yaitu “bad news in a good news.” Kendati bukan berarti tanpa cela, perhelatan akbar ini menginformasikan karakter para aktivisnya yang tidak senang berebut jabatan hingga harus berbuat cela di forum yang terhormat ini.
Menjadi pengurus dari Pimpinan Pusat tentu menggiurkan, tetapi bagaimana meraihnya, tidak bisa dilakukan secara instan.
Pun untuk menjadi Ketua Umum, pada kenyataannya bukanlah segalanya, bahkan Haedar Nashir menyebutnya “sejengkal dimajukan dan seinci dinaikkan,” mengisyaratkan bahwa kepemimpinan di Muhammadiyah bersifat kolektif kolegial.
Para pimpinan Muhammadiyah bukan lah bos, mereka merupakan para pejuang, pendakwah, aktivis sosial, dan penggerak peradaban.
Mereka tetap egaliter, tidak jumawa, tawadhu, dan tetap akrab dengan siapapun. Dan untungnya, di Muhammadiyah, berada di posisi manapun dirasa sama pentingnya, karena kita merupakan barisan kader yang siap kapan saja untuk mengabdi dan bergerak untuk kemanusiaan universal.
Mereka yang ada di posisi pimpinan hanya sebagian kecil orang yang diberi amanah untuk mengelola organisasi mewakili kader-kader yang tersebar di seantero negeri.
Mereka yang diwakili terdiri dari para profesional, para pendakwah, para penggerak di pelosok tanah air, dan mereka-mereka yang terus bersentuhan dengan akar rumput untuk memberikan pelayanan agama, sosial dan kemanusiaan tanpa pamrih.
Mereka hanya berharap, di tangan siapa pun, Muhammadiyah semakin maju, semakin memberikan kemanfaatan bagi negeri dan peradaban, sehingga mereka bisa berjumpa lagi di Muktamar berikutnya dengan gembira. Itu saja….
*Penulis: Roni Tabroni