Oleh: Dachlan Ramli
Suatu ketika KH. Hambali Ahmad sakit dan dirawat di RSMB. Beliau meminta perawat memanggilkan Binroh (Pembina Kerohanian) RSMB menemuinya. Pak Agus Kusnadi (Kepala Binroh, saat itu) menyuruh saya untuk menemuinya. Sungguh saya enggan menemuinya, namun karena perintah atasan terpaksa saya pun pergi menemuinya di Gedung Multazam, lantai dua.
Setibanya di ruang rawat beliau, “Bapa Binroh tea nya?” tanya beliau. Padahal saya ini muridnya waktu di PGA dulu. “Sumuhun bapa”, jawab saya sambil gemetar, karena takut ditanya. “Ke, bapa teh bade tumaros, dupi istinja bapa kedah kumaha?, naha didieu atanapi diditu? (sambil nunjuk dengan jari telunjuknya), jalaran bapa teh nuju nganggo kateter”.
Mendadak badan saya terasa panas dingin, (seorang murid lemah ditanya oleh gurunya yang mumpuni). “Ah bapa mah naros teh…” saya tak bisa melanjutkan. “Iiih leres bapa naros, kedah kumaha? pan bapa teh kedah shalat, sedengkeun shalat mah kedah susuci heula” beliau melanjutkan.
Sungguh, benar-benar saya tidak bisa menjawab, selain tidak memiliki ilmunya, juga pasti beliau sedang mengajari saya sebagai tenaga Binroh RSMB untuk mecari jawaban atas banyak persoalan ibadah yang dihadapi orang-orang yang sedang sakit.
Beliau adalah guru saya ketika belajar di PGAN (sekarang MAN Cijerah), selain itu juga saya sering belajar langsung dengan cara “sorogan” di Pesantren Tegalega, Pesantren Muhammadiyah yang beliau pimpin.
Pertanyaan beliau (di atas), sungguh menggugah untuk didiskusikan terutama bagi Majlis Tarjih Muhammadiyah, karena sampai saat ini saya masih belum mendapat jawaban yang memuaskan.
Contoh lain; ketrika saya sebagai Binroh RSMB, dihadapkan pada pemulasaraan jenazah yang berpenyakit menular (AIDS; misalnya), bagaimana caranya menurut ajaran agama Islam (Al Quran dan As Sunnah). Dan masih banyak persoalan-persoalan lainnya yang mesti mendapat jawaban Al Quran dan As Sunnah.
Penulis, Imam Masjid Raya Mujahidin Bandung