Oleh : M. Irsyad Khalid
Konsep kekuasaan menurut Foucault memberikan perspektif yang berbeda dari konsep-konsep kekuasaan yang lainnya. Baik itu dari sudut pandang Marxis ataupun Weberian.
Menurut Foucault, kekuasaan tidak dipahami sebagai suatu kepemilikan seperti properti, tidak juga dipahami sebagai suatu yang negatif ataupun represif, juga bukan sebagai fungsi dominasi dari suatu kelas, melainkan sesuatu yang positif dan produktif.
Lantas apa arti sesungguhnya kekuasaan itu menurut Foucault?
Kekuasaan adalah sesuatu yang mesti dipandang sebagai relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan yang mempunyai ruang lingkup strategis.
Untuk memahami kekuasaan Foucault bukan dengan pertanyaan apa kekuasaan itu? siapa yang memiliki kekuasaan? darimana asalnya kekuasaan itu? Bukan dengan pertanyaan tersebut.
Namun, untuk memahaminya harus dengan pertanyaan bagaimana kekuasaan beroperasi? atau dengan cara apa kekuasaan dioperasikan.
Kekuasaan itu mesti dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi.
Intinya dari kekuasaan menurut Foucault ada tiga: kekuasaan adalah sistem itu sendiri, kekuasaan itu tersebar dimana-mana, dan kekuasaan itu terletak pada suatu relasi.
Misal, ketika ada hubungan pemerintah dengan rakyat, kita selalu berpikir secara umum bahwa pemerintah memiliki kekuasaan terhadap rakyatnya dan bahkan bisa melakukan apa pun terhadap rakyat.
Akan tetapi dalam pemikiran Michel Foucault tidak seperti itu, bahwa kekuasaan terletak pada hubungan atau relasi antara pemerintah dengan rakyatnya.
Lantas, bagaimana hubungannya antara kekuasaan dengan pengetahuan? Tentunya ada salah satu statement dari Foucault, bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
Sebetulnya Foucault bukan orang pertama yang mengatakan hal itu, sebelumnya juga ada pemikir modern yakni Francis Bacon yang mengatakan hal yang serupa.
Pertama yang perlu kita renungkan adalah, apa yang dimaksud dengan kebenaran mutlak? dan yang lebih penting adalah apakah kita memiliki kebenaran mutlak itu? Jika konsep kebenaran mutlak itu disingkirkan, lalu apa artinya pengetahuan?
Selama ini penunjang dari kebenaran mutlak adalah pengetahuan. Pengetahuan adalah sesuatu yang diputuskan oleh sekelompok orang, digunakan oleh sekelompok minoritas kuat untuk memaksakan gagasan mereka tentang apa yang benar pada mayoritas.
Jadi pihak yang mengkonstruksi kebenaran itu adalah pihak yang minoritas, hasil dari konstruksi ini seringkali dipaksakan dan ditujukan pada sekelompok besar, sehingga pengetahuan itu bisa menjadi instrumen untuk menentukan kebenaran Pengetahuan itu tiada lain adalah kekuasaan.
Dalam instrumen sejarah, ada adagium yang mengatakan sejarah dituliskan oleh pemenang, dan ini benar adanya.
Ketika Hitler berkuasa dia bisa membuat narasi sejarah tentang yahudi yang sangat buruk dan diterima oleh masyarakat jerman pada saat itu.
Lebih jauh lagi, kekuasaan menentukan apa yang salah dan benar, yang normal dan tidak normal, yang dosa dan tidak dosa, yang gila dan tidak gila.
Contoh lainnya yaitu sebelum abad 17 dan sebelum Ratu Victoria berkuasa di Inggris. Orang bisa bebas berbicara soal seksualitas juga bebas mengungkap kehidupan pribadi seksualnya dimuka publik.
Namun, ketika Ratu Victoria berkuasa perbincangan tentang seksualitas ini dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan abnormal.
Dari sini terlihat jelas bahwa kekuasaanlah yang bisa menentukan mana yang salah dan benar, mana yang normal dan tidak normal.
Contoh lainnya lagi, dalam revolusi Perancis, ada seorang bangsawan bernama Marquis de Sade. Beliau dianggap sebagai orang gila dan tidak normal, karena menulis buku yang bernuansa seksualitas, termasuk novel-novel yang dia tulis pun isinya tentang seks.
Akan tetapi bagi masyarakat Perancis, tulisan Marquis de Sade dianggap sebagai perlawanan terhadap rezim yang berkuasa.
Selain itu juga, Marquis de Sade dianggap sebagai pahlawan revolusi Prancis karena dia membela revolusi tahun 1789. Artinya penentuan Marquis de Sade ini sebagai orang normal atau tidak, itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa dan siapa yang menentukan.
Adapun contoh yang relevan di Indonesia adalah stigma rambut gondrong bagi laki-laki. Dimana lelaki yang berambut gondrong dianggap buruk sedangkan yang berambut pendek/rapi dianggap baik.
Pada era Soekarno, orang yang berambut panjang dianggap kebarat-baratan, sehingga Soekarno pun mengatakan kepada orang yang gondrong sebagai sebuah sikap anti revolusioner.
Akan tetapi di era Soekarno ini masih mending dicap anti revolusioner. Lebih parah lagi di zaman Soeharto, pada zaman inilah orang yang berambut gondrong mendapat tindakan yang keji dari pihak pemerintah.
Bagaimana tidak, mereka yang berambut gondrong dianggap tidak sama sekali mencerminkan kepribadian bangsa, oleh karena itu dilarang dan legitimasi dalam bentuk aturan.
Tidak hanya itu, pemerintahan Soeharto membentuk BAKOPERAGON (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Bahkan pada saat itu ada razia besar-besaran di jalanan oleh pihak militer, untuk mencukur bagi siapapun yang berambut gondrong kala itu.