Oleh: Moch Fadlani Salam (LPH-KHT PW Muhammadiyah Jabar)
Bandung – Kader itu adalah mereka para penerus atau pelanjut. Tanpa kader, ruh gerakan tidak akan memiliki rasa atau bahkan bisa hilang dari peredaran. Organisasinya ada, namun pergerakannya tidak ada. Dari sisi jumlah, mungkin kader relatif sedikit dibandingkan dengan anggota, simpatisan, atau jamaah, karena kader merupakan inti dari jamaah, maka di sinilah betapa pentingnya sosok kader dalam sebuah organisasi.
Kader bisa diperoleh dari dua proses. Pertama, secara alamiah/non formal. Kedua, secara formal yang kita kenal dengan perkaderan berjenjang dan terstruktur sesuai jenjang.
Proses pengkaderan alamiah/non formal ini adalah mereka secara kebetulan saja mau dan sukarela menjadi kader karena faktor hidayah. Ada di antara mereka tidak berlatar belakang pendidikan kader, secara biologis atau genetik orang tuanya pun bukan jamaah Muhammadiyah. Namun, karena mereka mendapatkan pencerahan dan terus bergesekan dengan para kader, seperti ikut kajian dan kegiatan-kegiatan, mereka tertarik ikut dan akhirnya berkenan menjadi calon kader.
Jumlah mereka yang seperti ini biasanya juga tidak banyak. Namun, begitu sulitnya mendapatkan kader yang alamiah seperti ini. Berbeda dengan seorang pemuda atau anak-anak yang memang sudah sejak kecil diproyeksikan menjadi calon kader, selain mereka ini adalah kader biologis, orang tuanya menjadi jamaah inti persyarikatan Muhamamdiyah.
Calon kader yang seperti ini tinggal dipoles tambahan, yaitu melewati proses perkaderan formal, diyakini mereka akan menjadi kader penerus persyarikatan. Karena posisinya yang sangat strategis dan jumlahnya relatif tidak banyak, sehingga ketika ada kabar meninggalnya seorang kader, menjadi kabar yang sangat memprihatinkan bagi persyarikatan Muhammadiyah.
Persyarikatan seperti merasa begitu kehilangan. Menjadi persoalan klasik di mana pun dan kapan pun bahwa kader pengganti dari generasi yang saat ini adalah suatu perkara yang sangat penting untuk dicarikan jalan keluarnya. Bagi keberlangsungan dakwah Muhammadiyah sungguh betapa sangat diperlukan kader yang militan. Militan adalah “bersemangat tinggi” dan penuh gairah.
Selain itu, militan juga bisa diartikan sebagai orang yang mencintai sesuatu dengan penuh pengabdian. Orang yang punya sikap militan biasanya tidak mengenal gampang menyerah dan putus asa. Maka dari itu, kader militan di persyarikatan adalah kader muslim dengan penuh gairah. Ia berkeyakinan mantap dalam akidah dan tekadnya seperti seorang mujahid. Ia bersemangat dalam menjalankan setiap tugas atau amanah yang diberikan oleh persyarikatan.
Dia bermuamalah duniawiahnya sesuai dengan adab dan ketentuan berdasarkan sunah Rasulullah SAW. Karakteristik khusus ini penting dimiliki oleh kader militan dalam menghadapi terpaan dan goncangan dalam hatinya. Karena begitu banyaknya gerakan di luar sana yang bisa mempengaruhinya sehingga dikhawatirkan menjadikan hatinya goncang dalam bermuhammadiyah.
AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) merupakan bagian dari dakwah Muhammadiyah juga tentu wajib diisi oleh para kader yang militan. Terlebih lagi mereka para kader militan di sini yaitu kaum Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Mereka mesti jadi simbol mobilitas dan kelincahan pergerakannya sangat dinantikan. Ia harus siap diposisikan di mana pun.
Teringat ketika Nabi Muhammad SAW masih muda yang memiliki sikap berani dalam hal kebenaran. Demikian juga Ibrahim muda yang saat itu sangat tegas dan berani dalam menegakkan kebeneraan dengan memporakporandakan berhala.
Dalam hal ini sosok pemuda harus berbekal tauhid yang kokoh, pendiriannya kuat, orientasinya jauh ke depan, dan tidak minder (melempem) ketika mendapatkan masukan dan terpaan ujian mengenai dirinya. Di pundak para kaderlah tongkat estafet akan diteruskan. Dengan demikian, hal yang perlu dibangkitkan perihal kesadaran para AMM adalah bahwa peran dan fungsi mereka sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna AUM. Mereka harus mampu menempatkan dirinya sebagai bagian dari penggerak dakwah amar makruf nahi mungkar di persyarikatan Muhammadiyah.
Hal yang sangat krusial menjadi bahan introspeksi dan muhasabah sampai hari ini yang hasilnya masih minim, yaitu proses perkaderan. Sejauh ini disadari atau tidak, masih jauh dari hasil yang diharapkan. Perkaderan yang terstruktur, terskema, dan terdesain belum begitu dapat dilaksanakan dengan efektif. Sepertinya, ada beberapa problem mendasar yang berkaitan dengan kaderasi ini.
Pertama, masih lemahnya sistem mekanisme perkaderan secara ide konseptual, praktik operasional, dan program tindak lanjutnya. Kedua, minimnya komunikasi antara pimpinan, baik di angkatan muda, maupun dengan Muhammadiyah di setiap level. Ketiga, masih lemahnya koordinasi, sinkronisasi, dan berkolaborasi, antara pimpinan Muhammadiyah dengan angkatan muda. Hal itu yang kemudian berkaitan erat dengan rekomendasi model perkaderan yang efektif, komprehensif, dan utuh yang melibatkan seluruh elemen Muhammadiyah dalam mewujudkan kader yang militan.
Menjadi problem klasik hari ini, di mana gerak dan napas kader belum ideal sejalan dan belum sevisi dan semisi sebagaimana yang diharapkan persyarikatan. Seolah-olah mereka masih belum totalitas menyatu dalam pergerakan Muhammadiyah, masih tengok kanan kiri, masih terasa kental dengan nuansa meloncat dan atau merapat ke sana kemari.
Padahal, harapan akhir dari sebuah perkaderan baik alamiah/non formal maupun formal, agar terwujud kader militan bagi pergerakan di persyarikatan Muhammadiyah. Barangkali kondisi yang dialami oleh Muhammadiyah hari ini tidak jauh berbeda dengan kondisi AMM-nya di beberapa daerah.
Selain tantangan faktor eksternal, misalnya adanya pergerakan lain yang ada disekitarnya, ada juga faktor internal yang kaitannya dengan kebutuhan privasi dalam dirinya menyangkut pekerjaan atau keluarga. Bila pendekatan dan perhatian kepada mereka tepat, akan sangat berbeda hasil yang didapatkan, dibandingkan dengan upaya apa adanya apalagi dibiarkan saja.
Upaya dan perhatian kepada mereka para kader ini, selain berupa pendekatan dan perhatian program menarik yang kolaboratif, juga dengan langkah taktis dan strategis yang terstruktur dalam bentuk perkaderan formal pun sudah seharusnya ditempuh. Kader-kader yang ada sekarang ini, bila diperhatikan dalam bentuk program untuk memberdayakan daya fikrahnya dan daya juangnya, dalam rangka menggali potensi mereka dan memberikan peluang yang cocok sesuai dengan usaha mereka, dan berikan kepercayaan kepada mereka.
Insyaallah selalu ada jalan alternatif untuk menumbuhkembangkan berbagai potensi dan kompetensinya sehingga mereka merasakan kenyamanan dan dapat istiqomah dalam menjalankan amanah secara kolektif di rumah besar bernama Muhammadiyah. Wallahu a’lam.***