Kolom

Ada Apa Dengan Mahkamah Agung?

Oleh: M Rizal Fadillah

Kasus rencana penggusuran Panti Asuhan “Kuncup Harapan” Muhammadiyah di Bandung bermula dari keanehan Putusan Mahkamah Agung saat Mira Widyantini, MSc dimenangkan di tingkat Peninjauan Kembali (PK). Majelis Hakim Agung dipimpin Ketua Prof.Dr. Takdir Rahmadi, SH LLM dengan Anggota I Gusti Agung Sumanatha, SH MH dan Sudrajat Dimyathi, SH, MH.
Hal yang wajar sebenarnya jika PK itu bisa dikabul atau tidak, akan tetapi sebagai upaya hukum luar biasa semestinya dasar putusan itu mesti “luar biasa” bukan biasa biasa.

Pertimbangan “luar biasa” terlebih bila dikaitkan dengan telah dimenangkannya pihak Panti Asuhan di tingkat PN, PT, bahkan Mahkamah Agung. Status tanah dan bangunan Panti Asuhan telah tereksekusi menjadi milik dan dikuasai Muhammadiyah. Atan tetapi aneh dengan pertimbangan hukum “biasa” tanpa novum, Mira Widyantini, MSc dimenangkan dan berlanjut pelaksanaan eksekusi.
Eksekusi atas eksekusi.

Disadari bahwa otoritas penuh Hakim Agung untuk mempertimbangkan. Namun putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan Mahkamah Agung tanpa novum adalah masalah yang perlu dikaji lebih dalam pada dunia hukum. Apalagi sejak PN, PT dan MA Panti Asuhan lah yang menang secara hukum. Tiba tiba hanya dengan “penafsiran” berbeda dikalahkan. Soal sah jual beli dengan dasar kebohongan bahwa sertifikat hilang, padahal tidak, serta kebohongan tidak memiliki istri, padahal punya.

Memang siapapun tak bisa masuk mengkritisi pertimbangan dan isi putusan PK dari MA. Tapi keanehan dan kejanggalan bisa terjadi. Meski coba ditepis, tapi bisa muncul bayangan akan kedekatan. Mira Widyantini, MSc adalah puteri dari Mantan Ketua Mahkamah Agung. Pasti Majelis Hakim akan menepis dengan sebutan “tidak relevan”. Disini hebatnta tak ada lagi lembaga eksaminasi.
Majelis ini adalah “dewa pemutus” superior.

Di negara anglo saxon dimana Yurispuridensi dihargai rasanya sulit dan masuk akal jika ada Putusan MA dibatalkan oleh Putusan MA lagi. Betapa “bodoh” nya Majelis Hakim Agung terdahulu. Apalagi tanpa bukti baru. Di Indonesia pun Yurisprudensi itu dihargai sebagai wujud konsistensi dan mencegah disparitas penetapan hukum. Sebab jika demikian maka berakibat pada rusaknya rasa keadilan dan kepastian hukum.

Untung saja pihak Muhammadiyah masih menemukan “kesalahan” dari putusan hukum PK yaitu kasus pidana yang terindikasi. Ada dugaan kuat terjadi delik “menyuruh memasukkan keterangan palsu pada akta otentik” Pasal 266 KUHP sehingga masih berjuang menembus putusan PK aneh ini.

Di samping itu ada juga keanehan pada “aanmaning” pasca penetapan eksekusi. Ternyata ada pemohon eksekusi baru yang bukan pihak. Ada pemohon eksekusi selain Mira Widyanti, MSc. Untuk ini Muhammadiyah melakukan gugatan perlawanan terhadap penetapan eksekusi. Semestinya langkah bijak dan adil Pengadilan menunda dahulu eksekusi paksa.

Kasus Panti Asuhan Kuncup Harapan Muhammadiyah di Bandung ini merupakan permasalahan hukum dan sosial yang menjadi perhatian semua pihak baik di tingkat lokal maupun nasional. Mengingat Muhammadiyah juga bergerak di ruang mondial, maka akan berimbas pada perhatian internasional.

Muhammadiyah terus berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Jihad di bidang hukum untuk menyelamatkan anak anak Panti Asuhan.

*) Pemerhati Politik dan Hukum

Bandung, 11 Maret 2020

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button