Kabar PersyarikatanKolom

Saatnya Kader Muhammadiyah Bicara, Bukan Hanya Membaca

Oleh: Nashrul Mu’minin*

HARI Ahad ini, seperti biasa, aku duduk di depan layar laptop, membuka tab kosong dan membiarkannya menantang pikiranku untuk menulis. Ahad produktif, begitu aku menyebutnya.

Di saat sebagian memilih istirahat atau liburan, aku memilih menulis, menyalurkan keresahan dan menyaring hiruk-pikuk realita menjadi gagasan.

Ini bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk jihad intelektual. Karena di tengah derasnya isu politik yang menyapu negeri, diam adalah kemewahan yang tidak seharusnya dimiliki seorang kader Muhammadiyah.

Aku sering bertanya pada diri sendiri—dan kadang pada layar kosong itu—“Di mana suara kita?” Bukan suara yang sekadar memekakkan telinga publik, tetapi suara yang jernih, cerdas, dan berlandaskan nilai Islam.

Hari-hari ini, kita menyaksikan tinta demokrasi mengalir deras: pilkada, tarik-menarik kekuasaan, gaduh politik identitas, dan bahkan isu pelanggaran etika oleh pejabat tinggi negara.

Tetapi generasi yang mengaku kader, justru memilih diam, menyimak, dan terjebak dalam sikap netral semu. Seolah-olah netralitas adalah jalan aman, padahal kadang ia hanya bentuk lain dari ketakutan dan ketidakberdayaan.

Kita tak bisa terus bersembunyi di balik nama besar Muhammadiyah, berharap gelombang perubahan terjadi tanpa kontribusi nyata. Perkumpulan ini bukan sekadar label dalam Kartu Tanda Anggota atau nama di bio Instagram.

Muhammadiyah adalah gerakan, dan kadernya adalah bahan bakar. Maka ketika negeri kita dihantam disinformasi, politik kotor, dan krisis kepercayaan, diam berarti ikut membiarkan kezaliman merajalela. Di sinilah urgensi literasi politik muncul, bukan sebagai mata kuliah pilihan, tetapi sebagai kebutuhan zaman.

Kader Muhammadiyah hari ini sering terjebak dalam ilusi aman: aktif di kegiatan, ikut pengajian, posting kutipan tokoh. Tapi ketika gelombang politik busuk menyebar di lini masa, hanya sedikit yang berani menulis tanggapan, membedah data, atau sekadar mempertanyakan.

Literasi politik kita tak cukup hanya memahami perbedaan legislatif dan eksekutif, atau menghafal nama-nama capres. Literasi politik berarti peka, kritis, dan berani menyuarakan ketika etika dilanggar, ketika konstitusi diinjak, dan ketika rakyat dikhianati oleh elitnya.

Lantas, bagaimana kita menjembatani kondisi ini? Salah satunya adalah dengan menanamkan kesadaran sejak dini bahwa menjadi kader bukanlah beban struktural, tetapi mandat ideologis. Gerakan produktif seperti Ahad Menulis harus menjadi tren, bukan pengecualian.

Ketika dunia sibuk membuat konten tanpa substansi, kita harus jadi pihak yang menawarkan gagasan—yang bukan hanya bisa menulis narasi, tapi juga menyusun alternatif. Seorang kader tak cukup menjadi penonton yang baik. Ia harus menjadi sutradara yang tahu bagaimana mengarahkan perubahan ke jalan yang benar.

Solusinya bukan sekadar ajakan abstrak, tetapi kerja konkret. Kita perlu ekosistem kader yang mendukung produktivitas literasi—dari menulis opini, membuat podcast, sampai turun ke lapangan melakukan edukasi politik berbasis nilai Islam.

Maka, kegiatan menulis tidak lagi menjadi hal yang “keren” sendiri, tetapi menjadi habit yang menular. Tulisan yang kita hasilkan hari ini bisa menjadi lentera untuk mereka yang tersesat dalam gelapnya politik uang, hoaks, dan fanatisme buta. Apalagi ketika kita membekali tulisan itu dengan dalil, data, dan dedikasi.

Tujuan akhirnya sederhana, tapi mendalam: agar kita tidak mewarisi kekosongan. Supaya di masa depan, tak ada lagi kader yang hanya pintar menyusun proposal kegiatan, tapi gagap ketika ditanya soal keadilan sosial atau demokrasi substansial.

Kita ingin kader yang tak hanya piawai menyampaikan kultum, tapi juga lantang ketika menghadapi ketidakadilan sosial. Inilah makna sejati dari “berkemajuan”: bukan hanya soal teknologi atau tampilan, tetapi keberanian moral dan intelektual.

Implementasi dari semua ini bisa dimulai dari hal kecil: rutinitas produktif. Hari ini aku menulis, esok aku membagikan. Lusa, aku berdiskusi. Dari tulisan menjadi wacana, dari wacana menjadi gerakan. Jangan tunggu momentum besar untuk berkontribusi.

Justru di masa-masa sepi perhatianlah kader diuji. Apakah kita tetap berkarya ketika tak ada yang menonton? Apakah kita tetap menyuarakan ketika tak ada yang menyukai? Inilah waktu untuk membuktikan bahwa aktivisme tak selalu butuh panggung—kadang cukup meja kerja dan ketulusan.

Selain itu, mari identifikasi kesenjangan yang selama ini menghambat. Banyak kader punya potensi menulis, tapi tidak punya ruang aktualisasi. Banyak yang paham isu, tapi tidak percaya diri bersuara. Kesenjangan inilah yang perlu dijembatani oleh organisasi.

Lazismu bisa membuka ruang publikasi kader, IPM bisa mengadakan pelatihan jurnalistik kritis, dan Tapak Suci bisa menyebar semangat melalui narasi perjuangan. Kita bukan kekurangan kader, kita hanya kekurangan sistem yang memberi tempat bagi mereka untuk unjuk gigi dengan nilai.

Kesenjangan lainnya adalah antara idealisme dan kenyataan. Banyak kader kita tahu pentingnya berpolitik sehat, tapi ketika pemilu datang, mereka memilih diam atau ikut arus pragmatis. Kita harus hadir di ruang-ruang kosong itu.

Bukan untuk menggantikan partai politik, tapi menjadi pengingat bahwa politik bukan hanya soal menang-kalah, tapi juga soal nilai. Kita perlu memperjuangkan politik yang beradab, dengan literasi dan nilai-nilai Islam sebagai senjatanya.

Maka mari kita akhiri kebiasaan nyaman di balik nama besar. Mari kita tulis, bicara, bergerak. Hari Ahad ini dan hari-hari berikutnya, bukan waktunya kader hanya menonton. Buktikan bahwa tinta yang sudah tumpah tidak sia-sia.

Bahwa generasi ini, generasi kita, adalah generasi yang bangkit—bukan karena provokasi, tetapi karena kesadaran. Kesadaran bahwa Islam memanggil kita untuk menjadi saksi kebenaran, dan Muhammadiyah membentuk kita untuk tak gentar berkata benar, meski di tengah badai.

Inilah jihadku hari ini: menulis. Dan besok, mungkin kamu yang bersuara. Lalu kita bersama, membangun arus baru: kader Muhammadiyah yang tak sekadar menghafal Khittah, tapi menghidupkannya. Sebab sejarah tidak pernah ditulis oleh mereka yang diam.

*Content Writer Yogyakarta

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button