
Oleh: Nashrul Mu’minin*
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2025 mengejutkan: 72% kabupaten di Indonesia kini bergantung pada industri ekstraktif dan manufaktur skala besar.
Sementara itu, sektor unggulan lokal, seperti pertanian organik, pariwisata budaya, dan ekonomi kreatif justru terpinggirkan.
Kabupaten Bekasi—yang selama ini dikenal sebagai “kota industri”—kini menghadapi krisis identitas: lahan hijau menyusut 40% dalam lima tahun terakhir, udara tercemar timbal melebihi ambang batas WHO, dan upah buruh stagnan di angka UMK meski laba korporasi melonjak 300% (LBH Jakarta, 2025).
Namun, ini bukan hanya soal Bekasi. Ini tentang wajah baru kolonialisme ekonomi: kabupaten-kabupaten kita dijual sebagai “lahan industri murah” kepada korporasi, sedangkan masyarakat lokal hanya jadi penonton di tanahnya sendiri.
Lihatlah pola yang berulang: Pemda membuka keran investasi lebar-lebar dengan dalih “penyerapan tenaga kerja”. Namun, nyatanya 75% pekerja terampil di kawasan industri justru didatangkan dari luar daerah (Kemenaker, 2024).
Masyarakat asli hanya mendapat pekerjaan kasar dengan upah minim, sedangkan limbah B3 dan polusi menjadi warisan abadi untuk anak cucu mereka.
Di Situbondo, petani garam tradisional gulung tikar karena air laut tercemar limbah pabrik pengolahan nikel. Di Batang, nelayan kehilangan mata pencaharian karena sedimentasi proyek PLTU.
Kabupaten-kabupaten ini perlahan-lahan berubah menjadi “zona pengorbanan” demi pertumbuhan ekonomi nasional yang timpang.
Padahal, Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 sebenarnya memberikan amunisi untuk melawan: desa memiliki hak mengelola sumber daya alam secara mandiri.
Namun, dalam praktiknya, 67% Perdes tentang perlindungan lingkungan dibatalkan oleh Perda kabupaten yang lebih memilih investasi dibandingkan dengan kedaulatan ekologis (JKPP, 2025).
Di Brebes, Perdes Larangan Penambangan Pasir ditolak dengan alasan “menghambat pembangunan”. Di Kulon Progo, Perdes Tata Ruang Berbasis Ekologi dianggap “tidak sejalan dengan RPJMD”.
Inilah paradoks otonomi daerah: desa diberi hak, tetapi kabupaten memegang kunci kuasa.
BRIN mencatat hanya 12% kabupaten yang memiliki peta jalan ekonomi hijau hingga 2030. Selebihnya masih terjebak dalam logika “industri atau mati”.
Meski contoh dari daerah seperti Banyuwangi membuktikan sebaliknya: pariwisata budaya dan agroindustri kreatif menyumbang 35% PAD tanpa harus merusak lingkungan (Kemenparekraf, 2025).
Bahkan di Bekasi sendiri, gerakan “Bekasi Bukan Hanya Industri” yang digaungkan mahasiswa mulai menuai hasil: tiga kawasan bekas pabrik dikonversi menjadi pusat seni dan technopark UMKM.
Solusinya? Pertama, moratorium izin industri ekstraktif di kabupaten dengan daya dukung lingkungan kritis.
Kedua, alokasikan 20% dana otonomi khusus untuk pengembangan ekonomi sirkular berbasis komunitas.
Ketiga, ubah indikator keberhasilan pemda dari “nilai investasi” menjadi “koefisien pemerataan ekologis”.
Kita harus berani bertanya: ketika kabupaten-kabupaten ini sudah penuh pabrik dan tambang, apa yang akan kita wariskan? Lahan terkontaminasi atau peradaban yang lebih adil?
Jangan sampai nanti anak-anak kita hanya mengenal Bekasi dari cerita lama: “Dulu di sini sawah dan kebun, sekarang hanya deretan pabrik yang sesekali mengusir asap racun ke langit.”
*Content Writer Yogyakarta