Kabar PersyarikatanKolom

Puncak Andong: Jejak Kaki, Rindu, dan Kopi Panas di Ketinggian 1.726 Mdpl

Oleh: Nashrul Mu’minin*

HARI itu, 15 Juli 2025, jam 06.15 pagi ketika sepatu trekking kami pertama kali menginjak tanah basah di basecamp Gunung Andong. Langit masih mengantuk, tapi mata kami sudah terjaga oleh semangat yang menggebu.

Perjalanan ini bukan sekadar pelarian dari liburan kuliah yang monoton atau jeda sejenak dari tumpukan kerjaan, melainkan semacam ritual—cara kami merayakan kebebasan yang sesungguhnya: menjadi kecil di hadapan alam yang megah.

Via Pendem yang kami pilih bukanlah rute termudah, tapi justru di situlah cerita dimulai. Setiap tanjakan terjal, setiap akar pohon yang menjulur seperti tangan penjaga hutan, seakan berbisik, “Kalian datang untuk mengerti, bukan hanya mendaki.”

Dan Andong memang guru yang murah hati. Di ketinggian 1726 mdpl, ia tak pelit menunjukkan keindahannya. Kabut yang tiba-tiba menyapu wajah kami seperti sapuan lukisan abstrak, suara jangkrik yang bersahutan dengan desau angin, dan sinar matahari yang menyelinap lewat dedaunan—semua itu adalah puisi yang tak bisa diulang di tempat lain.

Kami berhenti di setiap pelataran kecil, bukan karena lelah, tapi karena tak ingin terburu-buru. Ada momen ketika salah satu dari kami tiba-tiba diam, memandang jauh ke lembah, lalu berkata, “Di kota, kita sibuk mengumpulkan likes. Di sini, kita belajar mengumpulkan detik-detik yang benar-benar hidup.”

Di antara bebatuan vulkanik yang diam namun penuh cerita, kami belajar arti keteguhan. Batu-batu itu tak pernah mengeluh meski diterpa hujan atau panas terik, tetap pada tempatnya selama ribuan tahun. Kami yang kerap mengeluh karena deadline atau nilai ujian, tiba-tiba malu.

Andong mengingatkan: hidup bukan tentang seberapa cepat kita bergerak, tapi seberapa dalam kita berakar. Seperti batu yang menjadi fondasi gunung, kami pun mulai memahami bahwa konsistensi kecil—langkah demi langkah—pada akhirnya akan membawa kita ke puncak yang tak terduga.

Ketika kabut tebal menyelimuti puncak, dunia seolah menyusut hanya untuk kami berlima. Tak perlu kata-kata rumit; keheningan di ketinggian adalah bahasa yang paling jujur. Di kota, kami terbiasa bersaing untuk didengar, tapi di sini, kami justru menemukan kekuatan dalam kesunyian.

Angin yang berdesir di antara daun pinus seakan membisikkan rahasia: “Kalian tak perlu teriak untuk berarti.” Mungkin itu sebabnya kopi di ketinggian terasa lebih pahit namun lebih nikmat—karena ia diseduh dengan kesabaran dan disajikan tanpa pretensi.

Membuka toples berisi roti bakar dengan tangan kotor tanah adalah ritual tak terduga yang justru paling berkesan. Tak ada protokol makan ala restoran, tak ada sendok stainless yang mengkilap—hanya gigitan yang kadang berakhir dengan tawa karena selai menetes ke jaket.

Tapi di situlah magisnya: ketika teknologi dan tata krama dilucuti, yang tersisa adalah manusia dengan segala kekonyolan aslinya. Andong mengajarkan bahwa persahabatan sejati tak butuh filter

Puncak menjadi saksi bisu segala kegaduhan remaja kami. Kami duduk melingkar, berbagi roti bakar dan kopi panas yang terasa lebih nikmat daripada segelas boba termahal di mall. Tak ada sinyal, tak ada notifikasi email—yang ada hanya tawa yang terkikis oleh angin dan cerita-cerita konyol tentang dosen killer atau atasan yang suka merajuk.

Turun jam 14.43, kaki sudah pegal, tapi hati entah kenapa light. Mungkin karena Andong telah mengajarkan kami sesuatu: bahwa terkadang, untuk menemukan diri, kita harus benar-benar tersesat dulu di antara pepohonan dan batu-batu yang tak pernah meminta kita menjadi versi terbaik. Ia hanya meminta kita menjadi apa adanya—persis seperti alam yang tak pernah berbohong.

Perjalanan pulang diisi dengan istirahat di warung sederhana, menikmati gorengan yang rasanya seperti hadiah setelah bertarung dengan gravitasi. Kami pulang bukan dengan foto-foto instagramable saja, tapi dengan semacam pencerahan yang tak terucap: bahwa gunung-gunung seperti Andong adalah cermin.

Di sana, kami melihat betapa kecilnya masalah sehari-hari, betapa indahnya diam, dan betapa nikmatnya menjadi manusia biasa yang hanya punya kaki untuk mendaki dan mata untuk memandang. Liburan ini bukan sekadar rehat—ia adalah reset. Dan seperti kata teman saya sambil menyeruput kopi terakhir sebelum mobil menyala, “Kita tidak mendaki gunung. Gununglah yang mendaki kita.

*Content Writer Yogyakarta 

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button