Kabar Persyarikatan

Pernikahan Bukan Hierarki, Tapi Fungsi Saling Melindungi

Bandung — Kajian Gerakan Subuh Mengaji pada Senin (02/06/2025) menghadirkan Alimatul Qibtiyah, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, yang mengupas dinamika relasi suami-istri di tengah perubahan sosial.

Dalam paparannya, ia menyoroti fenomena krisis maskulinitas dan tren “bapak rumah tangga” yang meningkat akibat persaingan kerja yang didominasi perempuan, serta bagaimana hal ini memengaruhi harmoni keluarga.

Alimatul memaparkan data bahwa perempuan kini mendominasi lulusan terbaik dan tercepat di berbagai jenjang pendidikan. Di UIN Yogyakarta, misalnya, dari 18 lulusan terbaik, 13 di antaranya adalah perempuan.

“Ini menunjukkan bahwa perempuan semakin unggul dalam persaingan kerja, yang kadang memicu krisis maskulinitas pada suami, terutama jika penghasilan istri lebih tinggi,” ungkapnya.

Krisis ini, menurutnya, dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai upaya suami untuk “mengembalikan” maskulinitasnya.

Ia juga menyinggung tingginya angka perceraian, dengan gugat cerai oleh istri jauh melampaui cerai talak. Data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menunjukkan bahwa penyebab utama perceraian meliputi perselisihan terus-menerus, masalah ekonomi, dan KDRT.

“Banyak konflik berawal dari ketidaksetiaan atau miskomunikasi, seperti suami yang tidak memberi tahu aktivitasnya karena takut dianggap ‘takut istri’. Padahal, komunikasi adalah kunci keluarga sakinah,” jelasnya.

Kajian ini juga membahas dampak media sosial terhadap hubungan suami-istri. Prof. Alimatul mengutip survei di Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa 80% perceraian dipengaruhi oleh media sosial, seperti pertengkaran publik di kolom komentar atau keterlibatan pihak ketiga.

Ia menyoroti ketidakadilan dalam stigma sosial, seperti istilah “pelakor” (perebut laki-laki orang) yang hanya menyasar perempuan, sementara laki-laki pelaku perselingkuhan jarang diberi label serupa. “Ini mencerminkan bias patriarki yang masih kuat,” tegasnya.

Dalam konteks akhlak suami-istri, Alimatul menekankan pentingnya muasarah bil makruf (saling memberi kebaikan) dan taradin (saling rida).

Ia mengajak pasangan untuk memahami “bahan bakar cinta” masing-masing, seperti waktu berkualitas atau pelayanan kecil seperti membuatkan teh.

“Pernikahan bukan soal hierarki, tapi fungsi. Suami dan istri adalah pakaian satu sama lain, saling melindungi dan memperindah,” ujarnya, mengutip Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 187.

Menanggapi pertanyaan peserta tentang poligami, ia menjelaskan bahwa poligami dalam sejarah Islam, seperti pasca-Perang Uhud, adalah solusi sosial untuk melindungi janda dan anak yatim.

Namun, di era modern, dengan adanya lembaga sosial dan zakat, poligami tidak lagi relevan sebagai solusi. Ia juga menyinggung sikap Rasulullah yang menolak poligami untuk putrinya, Fatimah, sebagai bukti bahwa kebahagiaan istri adalah prioritas.

Kajian ini ditutup dengan pesan untuk membangun keluarga sakinah melalui kesetaraan dan komunikasi yang sehat.

Alimatul mengajak jemaah untuk mengadopsi pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam memahami ajaran Islam sehingga relasi suami-istri tidak lagi terjebak dalam hierarki patriarki, melainkan menjadi cerminan akhlak mulia yang membawa kebaikan bersama.***

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button