Oleh: Mursin MK
Masjid masjid Muhammadiyah biasa dikenal dengan nama At Taqwa. Di daerah Sumatera, seperti di Sumatera Utara, masjid Muhammadiyah umumnya diberi nama masjid At Taqwa. Berbeda di Jawa Barat, bukan At Taqwa saja sebagai nama masjid Muhammadiyah, melainkan juga nama lainnya.
Di antaranya menggunakan nama masjid Mujahidin atau Al Mujahidin. Penggunaan nama ini di antaranya disematkan pada Masjid Raya Mujahidin di Kota Bandung. Kedua, Masjid Al Mujahidin, Kukusan, Depok, Jabar.
Kedua Masjid Mujahidin ini merupakan amal usaha Muhammadiyah di Bandung dan Depok. Keberadaannya menjadi saksi perkembangan Muhammadiyah di lingkungan masing masing. Seakan-akan menunjukkan bahwa Muhammadiyah tanpa masjid tak ada perjuangannya. Terutama dalam aktivitas ibadah dan dakwah warga dan jamaah Muhammadiyah yang berada di daerah tersebut.
Persamaannya
Kedua masjid Mujahidin itu memiliki persamaan dan perbedaan yang unik dan menarik hingga saat ini. Bagi pengamat masjid tentu menjadi perhatian, baik dari sisi bangunan fisik maupun arsitekturnya.
Apalagi bila meneropong lebih jauh, tentang aktivitas yang berlangsung di dalamnya. Keduanya dapat menjadi contoh bagi masjid-masjid Muhammadiyah lainnya. Minimal tentang bagaimana masjid itu dibangun dan dimakmurkannya. Persamaannya antara lain:
Pertama, sama-sama masjid kebanggaan Muhammadiyah di daerahnya. Warga Muhammadiyah di kedua daerah itu merasa bangga memiliki masjid yang representatif untuk melaksanakan ibadahnya. Mereka bisa beribadah dengan tenang dan khusyuk dalam masjid.
Tidak hanya saat salat lima waktu, Jumat, dan taraweh Ramadhan. Melainkan juga ketika mereka melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Suasananya sedemikian mendukung dan menambah kualitas ketenangan dan kekhusyukkan dalam beribadah.
Apalagi didukung dengan lingkungan alam masing-masing. Di Bandung yang udaranya dingin dan di Kukusan, Depok, dengan lingkungan yang sejuk di waktu malam hari. Ruangan masjid yang luas juga mendukung suasana tenang dan khusyuk.
Ditambah penataan ruang yang eksotik dan artistik yang khas tanpa kaligrafi yang biasa menghiasi masjid-masjid pada umumnya. Lukisan dan hiasan tak dijumpai pada kedua masjid ini.
Kedua, sama-sama menjadi amal usaha Muhammadiyah sehingga tata cara ibadah dan kegiatan lainnya harus menyesuaikan dengan tradisi dan tuntunan persyarikatan. Walau jamaah yang beribadah di dalamnya dari beragam identitas paham dan aliran, namun mereka mengikuti dan mematuhi tuntunan Muhammadiyah dalam beribadah salat lima waktu, Jumat, dan Taraweh Ramadhan.
Tak ada kunut dan zikir bersama dalam salat lima waktu. Azan hanya sekali saat salat Jumat. Salat Taraweh sebelas rakaat diawali dua rakaat salat iftitah. Tidak ada Bilal dalam salat Taraweh. Tidak ada beduk yang dipasang di teras masjid karena sudah ada azan melalui pengeras suara. Tidak ada pembacaan selawat jelang azan. Pun tidak ada bacaan tarhim atau salat sebelum salat subuh.
Di Muhammadiyah pun waktu Subuh ditambah 8 menit dari waktu Subuh yang biasa dan pada umumnya.
Ketiga, sama-sama dikelola secara profesional dengan laporan keuangan secara jelas disampaikan pada saat jelang azan Jumat. Pemasukan dan pengeluaran tercatat dengan rapih dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menambah kepercayaan jamaah dan masyarakat yang memakmurkan masjid.
Hanya saja yang belum dilakukan laporan keuangan secara tertulis yang ditempelkan di Mading masjid. Ini menjadi penting dalam memperkuat amanah dan transparansi keuangan masjid. Sebab masalah keuangan ini sensitif apalagi di lingkungan Muhammadiyah yang dikenal memiliki manajemen yang baik dan transparan. Karena itulah Muhammadiyah menjadi maju dan berkembang di mana-mana di Indonesia dan dunia.
Transparansi keuangan ini menjadi penting sebagaimana yang dilakukan Madjid Muhammadiyah Jogokaryan yang menerapkan sistim saldo nol. Walau hal itu belum dapat ditiru oleh masjid-masjid Muhammadiyah lainnya.
Keempat, sama-sama diberi nama Mujahidin yang berarti para pejuang yang pantang menyerah dan gagah berani. Umumnya masjid-masjid Muhammadiyah diberi nama At Taqwa dan menjadi ciri khas persyarikatan. Namun, dengan nama Mujahidin sebagai kenangan dan peringatan bahwa masjid itu tidak terlepas dari perjuangan warga dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terkenal namanya dalam sejarah persyarikatan di Jawa Barat.
Tokoh yang berkaitan dengan pembangunan Masjid Raya Mujahidin Bandung yaitu KH Sulaeman Faruq selaku Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat. Tokoh yang berhubungan dengan pembangunan Masjid Mujahidin Kukusan, Depok, yakni KH M Usman, Ketua PD Muhammadiyah Depok Jawa Barat. Kedua tokoh ini dikenal luas jasa dan perjuangannya dalam Muhammadiyah di daerahnya masing-masing dan layak mendapatkan penghargaan.
Kelima, kedua bangunan fisik masjid itu sama-sama tidak menggunakan kubah sebagaimana masjid-masjid pada umumnya di Indonesia. Tidak menggunakan kubah ini tidak berarti sama dengan tempat ibadah Nasrani dan lainnya. Tetap ada bedanya. Mana ada rumah ibadah agama lainnya yang mengarah ke kiblat, yakni Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah Al Mukarramah, Saudi Arabia?
Kedua Masjid Mujahidin tanpa kubah ini dibangun oleh pembangun, insinyur, dan arsitektur muslim Indonesia, di antaranya dari ITB yang cenderung membangun masjid tanpa kubah. Hal ini bisa dilihat pula pada bangunan fisik Masjid Salman ITB, Masjid Istiqomah Bandung, dan Masjid Ukhuwah Islamiyah (UI) Depok. Ini merupakan buah karya dan peradaban ummat Islam khas Indonesia.
Perbedaannya
Selain persamaan juga ada beberapa perbedaannya. Adapun perbedaannya bukan hanya berkaitan dengan bangunan fisik, lokasi, dan pengelolaannya, melainkan aktivitas yang dilaksanakan di dalamnya. Perbedaan ini bukan untuk membandingkan keduanya mana yang baik dan buruk, atau yang besar atau kecil, apalagi banyak sedikit jamaahnya.
Semua ini memerlukan riset atau survei khusus. Tapi, perbedaannya berdasarkan pengalaman beribadah dan beraktivitas di dalamnya, antara lain:
Pertama, Masjid Mujahidin Bandung bangunannya lebih luas terdiri dari dua lantai. Adapun tempat yang digunakan untuk ibadah salat lima waktu, Jumat, Taraweh Ramadhan, dan iktikaf bertempat di lantai dua. Di lantai bawah untuk aula dan kantor. Tempat wudu ada di dua lantai. Tidak ada menara yang dibangun. Di sekitarnya ada bangunan untuk rumah imam dan kantor-kantor Muhammadiyah dan ortomnya.
Sedangkan Masjid Mujahidin Kukusan, Depok, bangunannya lebih kecil, dan juga dua lantai, tetapi tidak penuh menutupi lantai bawah. Lantai bawah dan sebagian lantai dua dijadikan tempat salat, termasuk iktikaf.
Di lantai dua ada dibuatkan ruang kantor dan lainnya. Di sekitar masjid tidak ada bangunan lagi. Kantor Muhammadiyah dan ortomnya jadi satu di Lantau dua. Termasuk untuk kantor remaja masjidnya.
Kedua, pengelola atau DKM Masjid Mujahidin Bandung dibentuk oleh PWM Jawa Barat. Periodenya sama dengan PWM. Ketuanya dipilih dan ditetapkan dari salah satu pengurus PWM Jawa Barat atau mantan pengurus yang dikenal sebagai ustaz, ulama, mubalig, atau khatib di masjid tersebut. Disediakan kantor sekretariat dan staf yang membantunya setiap hari dan mendapatkan mukafaah atau transfortasi.
Adapun pengelola atau DKM Masjid Mujahidin Kukusan, Depok, dibentuk dan disahkan oleh PRM Kukusan dengan periode yang sama. Ketuanya juga dipilih dari pengurus atau anggota Muhammadiyah ranting setempat yang biasa menjadi jamaah masjid sehari hari. Ia juga ustaz, mubalig, dan khatib di masjid. Tinggalnya dekat masjid dan tidak berkantor setiap hari. Ia juga tidak mendapat mukafaah apa apa kecuali staf yang bekerja di masjid.
Ketiga, Masjid Mujahidin Bandung adalah masjid raya. Berlokasi di Kota Bandung, ibu kota Jawa Barat, di lingkungan elite dan jamaah yang datang dari mana-mana. Saat salat Jumat dan Taraweh Ramadhan tidak jarang Jamaat yang membawa mobil.
Hal ini membuat infaknya cukup besar dalam memakmurkan masjid. Infak ini digunakan untuk kegiatan masjid termasuk kesejahteraan para asatiz yang terlibat dalam dakwah dan memakmurkan masjid. Berbeda dengan Masjid Mujahidin Kukusan, Depok, hanya sebuah masjid Jami yang berlokasi di perkampungan di Kota Depok bagian utara.
Namun, jamaahnya selalu ramai terutama pada saat salat Jumat dan Taraweh di bulan Ramadhan. Pemasukkan infaknya, meskipun tidak sebesar Masjid Mujahidin Bandung, namun dapat memberikan kesejahteraan para asatiz yang terlibat dalam kegiatan ibadah dakwah di dalamnya. Yang menarik pada saat Pandemi covid-19 tahun 2020 sehingga tidak ada sholat Jumat, namun pengurus tetap mengirim kafalah khatib yang tidak bisa bertugas karena lockdown di rumahnya. Wallahu ‘alam.***