Yogyakarta – Kehadiran Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) menjadi topik diskusi yang membuka ruang untuk dijadikan bahan riset ke depan. Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Susiknan Azhari, secara konsep, KHGT memang menarik, apalagi jika dikaji dengan beragam pendekatan.
“Bagi pihak yang belum bisa menerima tentu saja perlu dihargai dan sebaiknya tetap membuka diri untuk mewujudkan unifikasi,” ujar Susiknan pada Jumat (12/07/2024). Ia mengingatkan agar perbedaan pandangan mengenai kalender tidak menyebabkan konflik hingga berurusan dengan aparat hukum. “Mari tebarkan energi positif agar umat tidak bercerai-berai,” tambahnya seperti dikutip dari laman muhammadiyah.or.id.
Susiknan menjelaskan bahwa keengganan menerima konsep KHGT lebih didominasi oleh kuatnya paham rukyat literal dan matlak lokal. Hal ini, katanya, pernah disampaikan oleh Nidhal Guessoum dalam SARAS (Southeast Asia-Regional Astronomy Seminar) tahun 1442/2021 di Malaysia.
Susiknan mengungkapkan bahwa berbagai kitab turats mendukung konsep KHGT, terutama prinsip, syarat, dan parameter yang digunakan. “Konsep KHGT memiliki basis epistemologi yang kokoh terutama konsep Ittihadu al-matali. Banyak literatur fikih yang mendukung ini seperti Radd Al-Mukhtar ala Dur Al-Mukhtar karya Ibnu Abidin, Bidayatu Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid karya Ibnu Rusyd, dan Tanwir Al-Absar wa Jami’ Al-Bihar karya Muhammad bin Abdillah At-Turmurtasyi,” jelas Susiknan.
Mengenai perdebatan seputar hisab rukyat, Susiknan mengajak untuk menuju integrasi antara keduanya demi kemaslahatan umum dibandingkan kepentingan pribadi dan organisasi. “Indonesia, dengan penduduk muslim terbesar di dunia, perlu menjadi teladan dalam mengimplementasikan Kalender Hijriah Global Tunggal dengan prinsip satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia,” tegasnya.
Susiknan juga mengakui bahwa Kalender Hijriah Global Tunggal adalah sebuah produk ijtihad yang tidak lepas dari kekurangan. “Namun, sepanjang pembacaan saya, konsep KHGT merupakan konsep yang terbaik dan solutif. Adapun kriteria yang digunakan tetap terbuka untuk diperbaiki, seperti disebutkan dalam rekomendasi Istanbul 1437/2016,” ujarnya.
Menurutnya, kegiatan rukyat tetap perlu diberikan ruang untuk dilakukan secara profesional, berkelanjutan, dan bertanggung jawab. “Semua ini dilakukan untuk memadukan pesan nas dan sains. Dengan demikian, ke depan akan diperoleh kriteria yang lebih autentik,” jelas Susiknan. Susiknan juga mengingatkan bahwa unifikasi merupakan proses panjang. “Kehadiran KHGT tidak serta merta seperti membalikkan tangan. Perbedaan tentu masih akan terjadi, seperti dalam unifikasi kalender miladiah yang memerlukan waktu berabad-abad,” katanya.
Saat ditanya mengapa KHGT yang dipilih, Susiknan menjawab bahwa umat Islam yang kini menyebar di seluruh penjuru dunia memerlukan kalender hijriah yang mapan untuk memberi kepastian. “Hal ini penting karena ketika terjadi perbedaan dalam memulai Idul Fitri, negara hanya memberi cuti satu hari kepada kaum muslimin, yang tentu saja menyulitkan mereka melaksanakan salat Id dan lain sebagainya,” tambahnya.
“Kehadiran KHGT melalui proses panjang untuk mewujudkan solidaritas tingkat global sesuai pesan al-Qur’an dan as-Sunah. Ini juga merupakan upaya membangun peradaban Islam yang lebih baik dan memberi contoh akan pentingnya sistem waktu yang lama terlupakan. Oleh karena itu, memahami KHGT tidak cukup dengan satu pendekatan semata,” jelas Susiknan.
Susiknan menegaskan bahwa KHGT harus dilihat dengan berbagai pendekatan untuk kepentingan bersama dengan memahami Prinsip, Syarat, dan Parameter (PSP) sehingga akan nampak nilai kemaslahatannya bagi kehidupan umat Islam sedunia. “Saat ini, Islam berkembang pesat di Amerika dan Eropa sehingga keberadaan KHGT menjadi jembatan mengenalkan Islam di tingkat global,” katanya.
“Wajah Islam yang ramah dan sangat menghargai ilmu pengetahuan tergambar dalam konsep KHGT. Ini adalah peluang bagi para mubalig tingkat nasional, regional, bahkan internasional untuk menjelaskan pentingnya KHGT,” pungkas Susiknan.
Sejarah mencatat bahwa Islam berkontribusi positif dalam pengembangan sains modern, sebagaimana dikemukakan oleh para pengkaji sains Islam seperti Mehdi Nakosteen, Abdel Hamid Sabra, dan Raghib As-Sirjani. Bahkan menurut penelitian Agus Purwanto, dalam Al-Quran, ayat-ayat bernuansa sains lebih banyak dibandingkan ayat-ayat yang bernuansa hukum.
“Dengan demikian, penerimaan terhadap konsep KHGT merupakan langkah strategis untuk mewujudkan tatanan kehidupan dunia yang lebih baik dan berwawasan ke depan,” tutup Susiknan Azhari.***