Oleh: Furqon Ukonk
^Hoyong ninggal heula rarai na” ( ingin lihat dulu wajahnya). Sambil menangis dengan suara rendah berurai air mata keluar dari kelopak matanya. Keluar dari hati yang paling dalam seakan akan belum ikhlas melepaskan kepergianya. Tapi tetap keranda itu sudah terlanjur diangkat untuk dimakamkan oleh warga sekitar ke pemakaman Astana anyar. Beliau memang datang terlambat belum sempat melihat jenazah yang sudah disholatkan. Tangisan beliau adalah tangisan hamba Allah yang sholeh memberi isyarat betapa berat melepas persahabatan yang sudah lama dijalin.
Itulah sepenggal kisah yang saya dapat saksikan ketika Almarhum K.H. Hambali Ahmad hendak di makamkan. Di tengah gang dicegat oleh seorang tokoh ulama besar pula yang bernama K.H.iping Zenal Abidin. Rasa penasaran yang membuat beliau meminta untuk dibukakan sebentar jenazah yang sudah dibungkus kain kafan.
K.H .Iping Zenal Abidin, walaupun saya belum pernah belajar pada beliau tapi setidaknya saya pernah menyaksikan, mendengar cerita dari guru yang lain, atau pernah membaca buku hasil karyanya. Bahkan Dr. Kuntowijoyo dalam sebuah buku dengan judul Dakwah Islam untuk perubahan sosial beliau mengutip sosok K.H.Iping Zenal Abidin merubah pemikiran dari Dakwah struktural (komisi Fatwa nya DI TII) ke Dakwah kultural, emang Kyai yang satu ini terkenal dengan kesantunan di samping luas dengan ilmu Hadistnya. Pernah suatu hari saya mendengar ucapan beliau, ^ upami adzan teu kengeng di haleungkeun, da Adzan mah ngageuing upami ngageuing kedah tegas” ( kalau adzan jangan sampai di cengkokan karena Adzan itu memanggil harus tegas ). Makanya beliau kalau menjadi Imam tak pernah terdengar lantunan nada atau qiroah yang sering kita dengar dari anak anak muda milineal sekarang, tetapi dengan tidak menggunakan lantunan lagu ketika membaca ayat suci Alquran tidak mengurangi rasa serta kekhusuan dalam sholat.
Banyak para Ulama atau Kyai dengan keluasan Ilmunya tetapi kelebihan K.H.Iping Zenal Abidin adalah dengan ‘Adabnya, cara bicara yang santun, lembut selalu membungkukan badan walau lawan bicara secara usia atau ilmu di bawah dirinya. Bagaimana kita bisa melihat cara beliau kalau menunjuk bukan jari telunjuk yang biasa kita gunakan, tetapi beliau menggunakan ibu jarinya, memang benar seorang yang berilmu itu semakin tinggi semakin menunduk seperti ilmu padi.
Kedua ulama tersebut antara KH. Hambali Ahmad dan K.H.Iping Zenal Abidin memang sudah lama bersahabat. Persahabatan mereka berdua bukan karena Nasab, bukan karena harta dan ilmu mereka miliki, tetapi persahabatan yang diikat oleh Tali Allah yaitu Alquran yang membuat mereka, para Nabi, para syuhada iri. Dalam Hadits Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan nabi, tetapi para nabi dan syuhada cemburu terhadap mereka.”
Ada sahabat yang bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasul? Semoga kami bisa turut mencintai mereka.”
Rasulullah pun menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut, dan mereka tidak sedih di saat manusia sedih.”.
Kisah persahabatan dua tokoh ulama Jawa Barat patut kita Tauladani, keikhlasan, kelembutan dalam menyampaikan Ajaran Islam, keadaban yang diperlihatkan tak pernah silau akan jabatan dengan hiruk pikuknya kehidupan politik, mereka bersahabat bukan hanya di dunia tapi bersahabat sampai surga…
MasyaAlloh, Abah Iping kakek buyut saya, baru sekarang baca cerita dari selain keluarga, mudah-mudahan beliau diberikan tempat terbaik di sisi Alloh.