Bandung – Menjadi narasumber dalam acara Gerakan Subuh Mengaji (GSM) Aisyiyah Jawa Barat bertema “LGBT: Fenomena dengan Agenda Melemahkan Ketahanan Negara”, dosen prodi Psikologi UM Bandung Irianti Usman menyoroti pemikiran Psikolog berkebangsaan Kanada Jhon Money.
Dalam pandangan John Money, gender netral berarti seseorang dapat memilih peran yang ingin dijalankan, baik sebagai laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan perasaannya. Menurutnya, gender adalah sebuah konstruksi sosial dan lingkungan sekitar memberikan peran tertentu kepada individu, terlepas dari jenis kelamin mereka. Dengan kata lain, secara biologis manusia memiliki gender netral.
“Konsep gender netral ini diadopsi oleh WHO dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk berbagai kepentingan. Misalnya, kelompok-kelompok politik menggunakan konsep ini untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kelompok feminisme Barat menggunakan konsep gender ini untuk memastikan peran laki-laki dan wanita adalah konstruksi sosial sehingga terlepas dari perbedaan kapasitas fisik dan mental,” tutur Irianti.
“Menurut paham ini, laki-laki dan wanita harus diberi kebebasan yang sama untuk memilih perannya, hak, serta kewajibannya. Bahkan proponent feminisme Barat bernama Susan B Anthony sampai menyarankan untuk menghilangkan lembaga yang disebut keluarga dan pernikahan sebagai salah satu penyebab terkekangnya wanita mengekspresikan dirinya,” ujar Irianti.
Dengan adanya wacana gender ini, tambah Irianti, wanita bisa menjadi apa saja dan sebebas yang diinginkannya tanpa campur tangan konstruksi masyarakat yang menginginkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan.
Berpikir ilmiah
Wacana gender juga dimanfaatkan oleh komunitas LGBTQ yang semakin meresahkan. Mereka mempercayai bahwa peran bukan ditentukan oleh perbedaan jenis kelamin. Masyarakatlah yang selama ini mempengaruhi apakah seseorang harus jadi perempuan atau laki-laki. Seorang laki-laki bisa mendeklarasikan dirinya sebagai perempuan jika perasaannya menginginkan demikian dan sebaliknya.
“Konsep non-binary dan gender netral yang menentang penggunaan istilah laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin dipropagandakan secara masif di sosial media dan diatur oleh organisasi yang sangat solid di seluruh dunia,” tegas dosen lulusan Ball State University, Muncie, Indiana, USA, ini.
“Selain itu, para kapitalis juga menggunakan konsep ini untuk menjual produk yang menguntungkan. Misalnya video porno dan industri farmasi yang menawarkan obat-obatan hormone blocker untuk mengubah hormon laki-laki dan perempuan sesuai gender yang diinginkannya. Kemudian alat seks dan gaya hidup baru yang ditargetkan kepada anggota komunitas LGBTQ,” ungkap Irianti yang juga Psikolog Pendidikan dan Psikologi Islam.
Oleh karena itu, melihat pemikiran tersebut dan untuk mencegah semakin masifnya gerakan LGBTQ, Irianti mengajak para orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya terbiasa berpikir ilmiah, berpikir sesuai dengan fitrah, berpikir menggunakan logika dasar, bersyukur, dan tidak dengan menggunakan logika nafsu.
“Jika gerakan masif ini tidak kita sadari dan waspadai, negara ini akan dilemahkan dengan mentalitas generasi mudanya yang tidak pandai bersyukur dan tidak terbiasa berpikir ilmiah. Mereka juga tidak akan mampu menggunakan logika dasar dalam mengambil keputusan serta jauh dari rasa tanggung jawab terhadap dirinya dan orang lain serta alam semesta,” imbuh Irianti.
“Negara ini akan dengan mudah dilemahkan dan dikontrol oleh pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan besar dari keseragaman cara berpikir dan gaya hidup yang ditawarkan wacana gender ini,” ucap Irianti.
Keluarga yang kuat
Irianti juga mengajak masyarakat untuk senantiasa membangun keluarga dengan kuat. Tidak kalah penting adalah menjalankan peran-peran keluarga dengan harmonis karena keluarga memiliki fungsi yang sangat penting. “Keluarga merupakan unit terkecil dalam sebuah masyarakat dan ketahanan keluarga sangat menentukan stabilitas dan keberlanjutan sebuah negara,” ucap Irianti.
Membangun keluarga yang kuat, kata Irianti, akan berbanding lurus dengan lahirnya individu-individu berkualitas dari keluarga tersebut. Mereka itu, lanjut Irianti, nantinya akan menjadi pilar penting dan berkontribusi positif kepada bangsa dan negara.
“Pada gilirannya individu tersebut akan berkontribusi positif pada negara. Selain itu, keluarga yang kuat dan stabil juga akan menciptakan individu yang produktif, sehat, dan berpendidikan. Jangan lupakan juga bahwa keluarga yang baik akan mendidik anggota keluarganya untuk menjaga nilai dan norma sosial,” tandas Irianti.
“Pendidikan dan pembentukan karakter dalam keluarga dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang baik sehingga tercipta generasi yang memiliki integritas, disiplin, dan rasa tanggung jawab,” pungkas Irianti.***(WZ/FA)