Bandung – Dosen program studi Bioteknologi Luthfia Hastiani Muharram mengatakan bahwa dominasi sampah saat ini masih dari sampah makanan yang mencapai hingga 40,79 persen. Sisanya adalah sampah plastik, kain, logam, kayu, karet, kulit, kaca, kertas, dan sebagainya.
”Setiap hari kita beraktivitas dan menghasilkan sampah sehingga sampah menumpuk, sampai seperti saat ini yang terjadi di Kota Bandung (karena kasus terbakarnya TPA Sarimukti),” tutur Luthfia saat menjadi pemateri dalam diskusi Mimbar Iqra UM Bandung edisi kelima di lantai 4 kampus ini pada Selasa (10/10/2023).
Luthfia menyampaikan bahwa sering kali masyarakat berpikir persoalan sampah sudah selesai saat membuang sampah tanpa memikirkan bagaimana dampak selanjutnya.
Buang dan selesai begitu saja. Akhirnya sampah tersebut berbalik kepada manusia, menjadi penyebab terjadinya kebakaran, banjir, dan sebagainya.
Luthfia memberikan istilah bahwa saat ini lautan seperti daratan karena banyak sampah di sana. Sementara itu, daratan juga seakan-akan menjadi lautan karena banyaknya sampah yang menumpuk, apalagi kalau sudah musim hujan.
”Sampah ini kadang-kadang kita anggap sebagai hal sepele, tetapi sebetulnya tidak bisa dibuat remeh. Kenapa? Pada 2005 terjadi ledakan dan longsor gunung sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, yang menewaskan 157 orang, dan ada dua kampung yang hilang karena tertimbun longsoran sampah. Itu sampah siapa? Mungkin saja ada sampah dari kita,” ungkap Luthfia.
Oleh karena itu, Luthfia mengingatkan agar masyarakat peduli terhadap sampah dengan tidak mencampur sampah karena tumpukan sampah yang tercampur akan menghasilkan gas metan yang sifatnya panas dan mudah terbakar.
Kalau terpercik api sedikit saja, kata Luthfia, itu akan berbahaya karena di bawahnya ada akumulasi gas metan yang sifat pembakarannya—secara kimia—di atas gas LPG.
Ada sampah merana, ada sampah bahagia. Sampah merana itu karena sampah organiknya ibarat berkeringat sebab tertutup oleh sampah plastik sehingga sumpek dan menghasilkan keringat bau serta gas yang panas.
Namun, kalau sampah organik itu disimpan dan dibuang ke tanah atau ke tempat yang sesuai maka dia akan terdekomposisi secara aerob. Dia mendapatkan udara yang cukup untuk menguraikan material organiknya sehingga terurai dengan baik, tidak menghasilkan bau tidak sedap, panas, bahkan ledakan.
Kata Luthfia, sampah organik itu punya fitrahnya sendiri. Artinya, sampah harus ditempatkan di tempat yang semestinya. Sesuatu yang ditempatkan sesuai dengan tempatnya tidak akan menimbulkan masalah.
Kalau sampah tersebut disimpan ke tanah, sampahnya akan menjadi pupuk organik yang akan memberikan kehidupan untuk tumbuhan.
”Kalau sampah organik dibuang di mana saja, bercampur dengan sampah lain, tidak akan memberikan kehidupan, tetapi itu akan menimbulkan banyak masalah. Mengolah sampah organik itu sangat mudah, tinggal dikembalikan saja ke bumi atau tanah,” imbuh Luthfia.
Luthfia berkesimpulan bahwa mengelola sampah organik sama dengan menuntaskan 50 persen permasalahan sampah. Menuntaskan sampah organik akan efektif jika berbasis komunitas.
Luthfia memaparkan hasil penelitian terkait sampah organik dari skala lab hingga lapangan (komunitas). Komunitas memiliki kesamaan visi, lokasi, dan hobi. Menyelesaikan masalah sampah dalam lingkup komunitas sama artinya dengan menuntaskan masalah dari sumbernya.
”Teknologi terbaik untuk mengurai sampah adalah teknologi yang mudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Lanjutkan budaya iqra, membaca fenomena, mencerahkan semesta, untuk sama-sama memberikan solusi terbaik,” pungkas Luthfia.
Mimbar Iqra UM Bandung edisi kelima ini mengangkat tema “Inovasi Pengelolaan Sampah Organik Berbasis Komunitas.” Puluhan mahasiswa UM Bandung dari program studi Bioteknologi dan Ekonomi Syariah hadir mengikuti kegiatan ini.
Hadir juga penggagas Mimbar Iqra Roni Tabroni. Lalu ada Wakil Rektor I UM Bandung Hendar Riyadi yang memberikan closing statement terkait tema dalam perspektif Islam. (FA)